Desain: Hilmi Abedillah

Judul Buku       : Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman, Esai-esai Kebangsaan.

Penulis             : KH. Salahuddin Wahid

Penerbit           : Pustaka Tebuireng

Tahun Terbit     : 2017

Tebal Buku       : xii + 281 hal,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peresensi          : Fitrianti Mariam Hakim*

Pancasila merupakan ideologi Negara yang fundamental. Ia sebagai dasar dan rujukan atas setiap permasalahan yang terjadi di Indonesia. Seperti yang kita ketahui Pancasila terdiri dari 5 sila. Yaitu, ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sering kita mendengar istilah Indonesia sebagai “Negara Pancasilais”, yaitu Negara yang berdasarkan Pancasila. Selanjutnya, istilah Pancasilais ini digunakan untuk menandai tokoh yang perilaku dan kinerjanya sesuai dengan Pancasila. Dengan demikian, apakah istilah Negara Pancasila menjadi tidak tepat?

Menurut KH. Salahuddin Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Sholah,  istilah itu tidak salah. Yang disebut Pancasialis bukan hanya perseorangan saja, melainkan juga organisasi, termasuk Negara. Negara Pancasila adalah Negara yang menunjukkan prinsip Pancasila dalam kebijakannya.

Di dalam buku “Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman” ini, Gus Sholah menjelaskan setiap sila Pancasila dibalut dengan perpaduan Keindonesiaan dan Keislaman. Dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bukti proses perpaduanitu. Dengan berdirinya Kementrian Agama tahun 1946 menjadi proses memadukan keindonesiaan dengan keislaman itu. Hal itulah yang tidak dilakukan oleh banyak Negara di Timur Tengah yang belum bisa menyelesaikan hubungan keislaman dengan kebangsaannya, sehingga ada tabrakan antara kepentingan agama dan negara.

Dilanjut dengan disahkannya sejumlah UU bernuansa Islam, seperti Undang-undang Perbankan Syariah, UU wakaf, UU Haji, UU Perkawinan, UU Zakat dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini menjadi bukti adanya proses memadukan keislaman dengan keindonesiaan di negeri ini.

Pada sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Sila ini menerangkan tentang Hak asasi Manusia (HAM).  Warga Negara dijamin dalam Pasal 28 UUD hasil amandemen, antara lain hak untuk hidup, hak memperoleh layanan kesehatan dan pendidikan, hak untuk berserikat dan menyatakan pendapat, hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya, dan lain sebagainya.

Sila ketiga, Pesatuan Indonesia. Menurut Gus Sholah untuk mewujudkan sila ketiga ini, kita memiliki banyak tantangan dan gangguan terhadap persatuan Indonesia. Karena pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan pendekatan keamanan dalam upaya menjaga persatuan Indonesia, sehingga banyak terjadi pelanggaran HAM. Juga disebabkan kemunculan kelompok-kelompok separatis pasca Orde Baru yang menggunakan strategi terorisme dan kelompok Islam lain yang memperjuangkan Negara berdasar Islam dan Khilafah Islamiyah. Menurut mereka, pancasila gagal mewujudkan cita-cita proklamasi. Dan faham yang salah ini telah diikuti okeh beberapa orang.

Pada sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. rumusan itu sangat ideal, tapi sering disalahgunakan. Sejarah menunjukkan bahwa Bung Karno pernah membubarkan DPR dan mengangkat anggota DPRGR dan MPRS, yang membuat lembaga itu tunduk pada BK. Pada era Soeharta, DPR juga dikendalikan Soeharto melalui Fraksi ABRI dan FKP. Juga pada era Demokrasi yang saat ini ditentukan oleh kekuatan dana, dari memilih ketua umum partai hingga ketua tingkat provinsi/kabupaten. Ini membawa masalah dalam kehidupan politik kita dan banyak penafsiran bahwasanya ini tidak sesuai dengan sila keempat dari Pancasila, sekalipun memunculkan pemimpin yang berprestasi amat baik.

Kemudian, sila yang kelima merupakan sila yang terpenting., karena akan membantu terwujudnya sila lainnya. Standar angka kemiskinan yang dipakai BPS, bukan standar bank Indonesia adalah mendekati 50%. Kemiskinan yang diderita di Indonesia ini, disebut dengan kemiskinan struktural, istilah ini dari Sritua Arief dan Adi Sasono tahun 1980-an.

Keterangan di atas adalah perpaduan Islam dengan ideologi Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Sengaja penulis mengutip keterangan di atas dari buku ini, karena untuk padu dengan Indonesia skala besarnya, Islam harus padu dengan dasar negara Indonesia dahulu. Hal ini bisa dibuktikan dengan sejarah rancangan UUD 1945, yang terdapat di dalam buku ini.

Lalu, sudah padukah Islam dengan Indonesia? Dan bagaimana perpaduan Keindonesiaan dan Keislaman itu?

Untuk memadukan Islam dan Indonesia itu Gus Sholeh menjelaskan, bukan masalah yang mudah. Gus Sholah mengutip keterangan dalam buku “Mengenal Lebih Dekat Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari” dijelaskan bahwasanya membutuhkan waktu puluhan tahun hal itu baru bisa berjalan, 40-50 tahun baru bisa.

Untuk mengetahui lebih jelasnya, bisa anda lihat didalam tulisan-tulisan karya Gus Sholah tentang Keindonesiaan dan Keislaman. Akan anda temukan banyak sekali perpaduan Islam dengan Indonesia, baik itu dalam sejarah kemerdekaan, substansi pemerintahan hingga lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan di Indonesia sejak dahulu. Seperti lembaga pesantren awalnya, dilanjut dengan pendidikan dasar, menengah dan atas, hingga perkuliahan.

Kondisi yang baik di Indonesia dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat pertentangan yang terjadi dalam perbedaan pemahaman mengenai Islam, patut disyukuri. Kondisi baik ini tidak terlepas dari keberhasilan dalam memadukan keagamaan (Islam) dan kebangsaan (Indonesia). Berikut juga dengan kondisi damai Indonesia yang kontras dengan konflik di negara-negara Timur Tengah, ini tercapai berkat adanya kesamaan pandangan dalam Pancasila.

Di dalam tulisannya yang berjudul “Merawat Harmoni Indonesia dan Islam”, Gus Sholah menuturkan bahwasanya tidak ada yang salah dengan negara Pancasila, tetapi kitalah yang belum berhasil mewujudkan negara Pancasila menjadi kenyataan secara sempurna.

Didukung dengan cover buku yang menarik, buku ini merupakan kumpulan dari berbagai tulisan KH. Salahuddin Wahid yang dimuat di berbagai media. Bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisannya menggunakan bahasa yang enak dibaca, jernih, mengalir, mudah untuk dipahami dan sistematis. Lembut dalam menyampaikan sanggahan, lugas berargumentasi, dan elegan dalam mengemukakan pendapat. Hal ini bisa dibuktikan pada tulisan Gus Sholah tentang “Hari Valentine”, yang ketika Istrinya Ibu Ny. Hj. Faridah meminta pendapat mengenai Hari Valentine melalui telepon.

Namun, ada beberapa tulisan Gus Sholah yang dikumpulkan, tidak dilengkapi dengan keterangan waktu pemuatan tulisan tersebut, sehingga membuat pembaca merasa sulit untuk menyingkronkan hal yang terjadi dengan masa yang ada, karena menurut penulis akan lebih susah bagi pembaca merefleksikan tulisan-tulisan yang disajikan tanpa mengetahui kapan tulisan itu ditulis.

Buku ini cocok untuk semua kalangan, karena di dalamnya terdapat banyak sejarah proses perkawinan atau perpaduan ataran Islam dan Indonesia, juga perjuangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam memadukan Islam dan Indonesia, yang kemudian diteruskan oleh cucunya KH. Salahuddin Wahid sesuai dengan yang tercermin di dalam buku ini.


*Mahasantri Putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari