Pasal 1
Menjelaskan bahwa Hakikat Cahaya adalah Allah SWT
Sesungguhnya sebutan cahaya untuk selain Allah hanyalah sebuah majaz (kiasan), tidak ada wujud yang sebenarnya. Perlu diketahui bahwasanya makna cahaya ada 3. Pertama, di kalangan orang awam. Kedua, di kalangan orang khusus. Ketiga, di kalangan orang khusus dari kalangan khusus (khawasil khawas).
Kemudian perlu juga diketahui tingkatan dan hakikat cahaya yang disandarkan terhadap kalangan orang khusus dari kalangan khusus (khawasil khawas) agar tersingkap atas anda, ketika telah tampak tingkatan-tingkatan cahaya, bahwa Allah SWT adalah nur tertinggi dan yang paling puncak. Dan tampaknya hakikatnya nur, bahwa Allah adalah nur hakiki, tidak ada sekutu baginya.
Cahaya menurut kalangan orang awam adalah merujuk kepada sesuatu yang tampak, sedangkan sesuatu yang tampak itu bersifat nisbi. Karena adakalanya sesuatu itu tampak di mata manusia dan tersembunyi di mata manusia lainnya. Oleh karena itu sesuatu itu tampak jika disandarkan dengan hal lain dan tidak tampak jika disandarkan dengan hal lain. Tampaknya sesuatu itu disandarkan pada sebuah pengetahuan. Paling kuat dan paling agungnya pengetahuan bagi kalangan orang awam adalah melalui panca Indera, diantaranya menggunakan indera penglihatan.
Segala sesuatu jika dikaitkan dengan Indera penglihatan terbagi menjadi 3 macam. Pertama, sesuatu yang tidak tampak dengan sendirinya sepertinya halnya benda-benda gelap. Kedua, sesuatu yang tampak dengan sendirinya tetapi tidak dapat menampakkan yang lain, seperti halnya benda-benda yang bersinar; bintang dan bara api jika tidak menyala. Dan ketiga, sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan menampakkan lainnya. Seperti halnya matahari, bulan, lampu, dan api yang menyala.
Nur cahaya digunakan untuk memberikan nama pada bagian yang ketiga dan adakalanya digunakan untuk benda-benda yang bersinar diatas permukaan benda-benda yang padat. Sehingga dikatakan “bumi bersinar” cahaya matahari bersinar atas permukaan bumi, cahaya lampu memancar atas dinding atau pakaian. Terkadang cahaya juga digunakan untuk benda yang bersinar dikarenakan benda tersebut memancarkan cahaya dengan sendirinya. Dapat disimpulkan bahwa cahaya adalah sebutan untuk sesuatu yang tampak dengan sendirinya maupun yang membuat tampak terhadap benda-benda lainnya seperti halnya matahari.Hal ini merupakan definisi dan hakikat cahaya menurut bagian yang pertama, yakni kalangan orang awam.
Setelah diketahui bahwasanya rahasia sebuah cahaya dan ruhnya merupakan ketampakkannya bagi sebuah pengetahuan (daya serap). Juga perlu diketahui bahwa pengetahuan (daya serap) juga membutuhkan adanya adanya cahaya dan adanya mata (hati) yang melihat. Karena meskipun cahaya itu tampak dan dapat membuat tampak namun hal itu tidak berlaku bagi orang yang buta. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwasanya ruh yang melihat sama halnya dengan nur yang tampak dalam kaitannya sebagai rukun yang harus ada ketika menyerap sesuatu. Bahkan kemudian ruh yang melihat lebih unggul kedudukannya dikarenakan dapat mengetahui dan mempunyai daya serap.
Adapun cahaya nur tidak dapat mengetahui dan tidak memberikan daya serap tetapi ia hanya menyimpan pengetahuan dan daya serap. Oleh karenanya nur cahaya lebih tepat digunakan untuk istilah cahaya yang melihat dibanding cahaya yang memberikan penglihatan. Para ulama mengunakan istilah nur cahaya untuk cahaya mata yang digunakan melihat, seperti ungkapan mereka tentang kelelawar; “cahaya matanya lemah” dan tentang orang rabun, “cahaya penglihatannya lemah,” dan tentang orang buta, ” ia kehilangan cahaya matanya”.
Terkait warna hitam di mata seseorang, sesungguhnya ia mengumpulkan dan menguatkan cahaya mata. Mengenai kelopak mata yang dengan hikmahnya diciptakan berwarna hitam dan mengelilingi mata agar memusatkan cahaya mata. Adapun mengenai warna putih berfungsi membiaskan cahaya dan melemahkan cahaya mata. Sehingga orang yang selalu memandang sesuatu yang putih dan bersinar terutama terhadap matahari, maka cahaya matanya akan melemah dan melenyapkan sebagaimana melenyapkan sesuatu yang lemah bila bersanding dengan sesuatu yang kuat.
Dengan keterangan di atas bahwa ruh yang dapat melihat disebut dengan cahaya bahkan ia lebih pantas menyandang istilah itu. Hal inilah makna yang kedua, makna yang berlaku bagi kalangan khusus.
Perlu diketahui juga bahwa cahaya penglihatan mata memiliki berbagai kelemahan. Dapat melihat benda lain tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri. Tidak dapat melihat benda yang jauh, tidak dapat melihat sesuatu yang di balik tirai. Ia hanya dapat melihat dhohirnya sesuatu tidak bagian dalamnya. Ia hanya dapat melihat yang maujud saja tidak keseluruhannya. Melihat sesuatu yang terbatas bukan sesuatu yang tidak terbatas. Sering malakukan kesalahan ketika melihat sesuatu sehingga sesuatu yang besar tampak kecil, sesuatu yang jauh tampak dekat, suatu yang diam tampak bergerak dan yang bergerak tampak diam.
Hal inilah merupakan tujuh macam kekurangan yang tidak bisa terpisah dari penglihatan mata lahiriyah. Oleh karenanya jika ada mata di antara beberapa penglihatan yang terlepas dari kekurangan itu, apakah tidak sepantasnya diberikan nama cahaya terhadapnya?
Ketahuilah bahwa dalam hati manusia terdapat mata yang memliki kesempurnaan seperti itu. Adakalanya disebut akal, ruh dan terkadang dengan nafs (jiwa) manusia. Ssebaiknya tinggalkan istilah-istilah ini, dikarenakan banyaknya istilah dapat menimbulkan berbagai makna bagi orang yang penglihatan hatinya lemah. Maksudnya adalah makna yang membedakan antara orang yang sudah berakal (dewasa) dengan bayi yang masih menyusu, dengan binatang ataupun orang gila. Ada baiknya kita sebut istilah itu dengan akal, mengikuti istilah yang umum digunakan.
Intinya menurut saya akal lebih pantas memperoleh sebutan cahaya dibandingkan penglihatan mata lahiriyah dikarenakan ia terbebas dari kekurangan-kekurangan berikut yang berjumlah 7.
Pertama, mata tidak dapat melihat dirinya sendiri. Sedangkan akal dapat melihat sifat yang terdapat dalam dirinya dan juga selain dirinya. Mengetahui dirinya yang memiliki pengetahuan dan kemampuan. Mengetahui ilmu tentang dirinya dan mengetahui ilmu untuk mengetahui dirinya. Dan pengetahuan tentang dirinya sampai tidak ada batasnya. Yang mana hal ini merupakan keistimewaan yang tidak dapat dimiliki oleh benda-benda lainnya. Di balik itu semua terdapat rahasia yang membutuhkan uraian yang sangat panjang. Wallahu A’lam Bissawab.
Bersambung….
*Diterjemahkan oleh Ali Ridho, Ustadz Muda Tebuireng. Judul aslinya adalah Misyakat al-Anwar karangan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Di Pesantren Tebuireng, kitab itu diampuh oleh KH. Fahmi Amrullah Hadzik.