Oleh: Hasna’ Zakiyah Amany
Setiap tahunnya umat Islam di seluruh dunia merayakan dua Hari Raya Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Hari Raya Idul Fitri dirayakan umat Islam setiap tanggal 1 Syawal sesudah mereka melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, sedangkan Hari Raya Idul Adha atau yang biasa disebut juga dengan lebaran Haji dirayakan umat Islam setiap tanggal 10 Zulhijah sesudah para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia wukuf di Padang Arafah dan melaksanakan rangkaian prosesi ibadah-ibadah haji lainnya.
Di Indonesia terdapat istilah apabila seseorang sudah pergi ke mekkah untuk berhaji maka sepulang dari haji biasanya akan ada perubahan pada namanya, yaitu dengan adanya embel-embel Haji di awal namanya. Penambahan titel Haji ini ternyata hanya bisa kita temukan dibangsa Melayu terutama di Indonesia. Karena sesungguhnya tidak ada dalil yang mengharuskan seseorang untuk dipanggil haji atau diletakkan kata haji di depan namanya. Bahkan, tak ada sahabat Rasulullah yang dipanggil haji meskipun mereka telah menunaikan ibadah ini. Namun biarkan gelar haji atau Hajjah menjadi kekayaan budaya kita yang unik, barangkali dengan adanya gelar itu mendorong orang yang menyandangnya semakin bertakwa kepada Allah SWT. Jika ternyata gelar itu membuat riya’ seseorang, biarlah menjadi tanggung jawab dirinya di hadapan Allah SWT.
Jika kita perhatikan dari tahun ke tahun, jamaah haji Indonesia terus mengalami peningkatan, jika dibandingkan puluhan tahun lalu. Jamaah haji di masa sekarang lebih banyak. Banyaknya orang berhaji di masa sekarang tentu tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan fasilitas haji. Namun, di balik kemudahan fasilitas itu ada sesuatu yang justru mengkhawatirkan menurut sebagian ulama yaitu fenomena haji mabur (Jawa: Terbang), yang hanya naik pesawat dari Indonesia menuju Arab Saudi.
Ibadah haji merupakan ibadah yang terbaik, karena bukan hanya melibatkan aspek badaniah (jasmani), tapi juga maliah (harta). Bahkan juga aspek ruhaniyah. Ibadah ini merupakan ibadah yang istimewa, karena ibadah haji merupakan jamuan dari Allah yang itu berarti bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji merupakan tamu Allah, yaitu dengan mendatangi rumah Allah (baitullah). Berbeda seperti biasanya kalau kita bertamu, kita akan menerima apa saja yang disuguhkan tuan rumah, di rumah Allah orang yang berhaji dipersilahkan meminta apa yang diinginkan kepada sang tuan rumah (Allah), dan pasti akan dikabulkan oleh Allah. Namun, akhir-akhir ini tidak sedikit dari jamaah haji Indonesia yang hanya menjadi haji mabur bukan haji mabrur. Hal ini dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu nilai aspek spiritual dan aspek sosial.
Pertama, Dilihat dari aspek spiritualnya, ibadah haji merupakan puncak taqarrub illahiyyah (upaya pendekatan diri kepada Allah). Apabila seseorang telah pulang dari tanah suci sedangkan ibadahnya terhadap Allah masih biasa-biasa saja atau bahkan lebih buruk dari sebelum ia menunaikan haji apakah bisa dikatakan haji mabrur? Tentunya title haji yang melekat di depan namanya itu perlu dipertanyakan. Kedua, jika dilihat dari aspek sosial, ibadah haji merupakan upaya pendekatan terhadap sesama. Jika Kebaikan dan amal sholehnya terhadap sesama meningkat setelah pulang dari beribadah haji. Hal itu merupakan salah satu tanda hajinya diterima oleh Allah karena ia diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah rukun Islam ke lima tersebut.
Sebenarnya yang mempunyai hak menilai kemabruran haji seseorang hanyalah Allah SWT. dan sebagai manusia kita hanya bisa menilai mabrur tidaknya haji dari pandangan manusia saja. Ada beberapa tanda haji mabrur menurut para ulama berdasarkan pada nash Al Quran dan As Sunnah. Berikut beberapa tanda ciri haji mabrur tersebut : Pertama, Segala amalan ibadah haji dilakukan dan berdasarkan atas keikhlasan mendapatkan keridhoan Allah dan juga dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Kedua, harta yang digunakan dalam melaksanakan haji tersebut adalah dari hasil harta yang halal. Ketiga, banyak melakukan kebaikan di dalam melaksanakan haji tersebut. Keempat, tidak melakukan perbuatan maksiat khususnya dalam melaksanakan ihram. Kelima, kebaikan dan amal sholehnya meningkat setelah menunaikan ibadah haji dan tiba di tanah air.
Selain fenomena di atas ada fenomena lain yang tak kalah penting, yaitu fenomena haji berulang kali.Salah satu orang yang berada di garda depan mengkritik fenomena haji berkali-kali ini ialah Almarhum Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub. Menurutnya, lebih baik mendermakan ongkos haji itu untuk menyejahterakan kaum dhuafa. “Ibadah sosial lebih baik dari pada ibadah individual” Itulah kalimat yang sering beliau sampaikan. Jika melihat di masih banyaknya problem di negeri kita, kemiskinan dan kefakiran yang belum tuntas, apakah tidak lebih baik harta yang banyak itu digunakan untuk menyelesaikan problem tersebut, ketimbang beribadah haji berkali-kali. Terlebih lagi, haji kedua dan seterusnya hukumnya hanya sunah.
Penulis sendiri tidak habis pikir mengapa mereka lebih suka menghabiskan harta untuk naik haji berulang kali. Mungkin, mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah, ketimbang mendermakan harta untuk fakir miskin. Inilah salah satu bentuk tipu daya bagi orang berharta menurut Al-Ghazali. Lebih baik kelebihan harta yang dimiliki diprioritaskan untuk membantu fakir miskin, pesantren yang terbengkalai, anak sekolah yang serba kekurangan, dan amal sosial lainnya. Oleh sebab itu, kita perlu membuat skala prioritas dalam beribadah. Ketika dihadapkan dengan banyak peluang beribadah, pilihlah ibadah yang lebih banyak maslahatnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Semoga bermanfaat.
_____________________________________________________________________
*Mahasiswi Tingkat 1 Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Alumni Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng 2015.