Foto: Putri

Tebuireng.online- Dalam rangkaian acara peringatan Haul ke-10 Gus Dur, Pesantren Tebuireng mengadakan Seminar Nasional “Silang Pendapat Makna Radikalisme”, pada Sabtu (21/12/19). Bertempat di aula lantai 3 gedung KH. M. Yusuf Hasyim, acara dimulai pukul 08.00-13.00 WIB.

Sambutan disampaikan oleh KH. Salahudin Wahid (Gus Sholah), Pengasuh Pesantren Tebuireng. Gus Sholah menyampaikan sejumlah hasil survey tentang radikalisme. Sejumlah poin yang disinggung adalah; peringatan 35 tahun NU menerima Pancasila, presiden Jokowi menangani isu radikalisme 2019-2024, makna radikalisme yang dipakai peemrintah menimbulkan stigma di kalangan masyarakat. Masyarakat menjadi gampang mencap orang radikal dengan simbol-simbol, dan sebagainya.

“Di berbagai media, kita membaca bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang istilah dan pengertian radikal dan radikalisme. Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri tentang penanganan radikalisme menuai kontroversi, pemerintah dianggap terlalu jauh masuk ke ranah privat pegawai negeri sipil (PNS),” ungkap Gus Sholah membuka bahasan radikalisme.

“Pada 11 Oktober lalu, saya diundang di Universitas Adma Jaya Serpong, panitia yang menyambut kami memakai kaos nasionalis radikal. ‘Saya tanya apa maksudnya nasionalis radikal?’ Maksudnya adalah nasionalisme yang sungguh-sungguh. Artinya, dalam istilah itu kata radikal itu menganut pengertian yang positif. Kalau yang negatif untuk nasionalisme adalah ultra-nasionalisme. Tetapi dalam pengertian Islam Radikal, kata radikal menjadi negatif. Ini kan terjadi kesimpang-siuran tentang kemana kata radikal,” ucap adik kandung Gus Dur ini.

“Saya bertanya kepada teman yang menjadi Guru Besar di ITB, apakah benar radikalisme sudah mengkhawatirkan di ITB ? Jawabnya, iya, radikalisme memang ada tapi tidak mengkhawatirkan, sebaliknya dari pihak ITB yang menganggap bahwa radikalisme di ITB sudah mencapai lampu merah. Tampaknya ada perbedaan tolak ukur dalam penilaian di atas,” imbuh beliau.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Tidak semua orang radikal menjadi teroris, tidak semua teroris berangkat dari pikiran yang radikal,” ungkap lulusan Institut Teknologi Bandung ini.

Gus Sholah menambahkan, diberitakan oleh Kompas bahwa Direktut AIDA (Aliansi Indonesia Damai) Hasibullah Satrawi menyebut, sebagai ‘sebuah masalah’, radikalisme belum jadi rumus yang sama  dan dipahami sama oleh berbagai pihak.

“Kami membuat survey sederhana tentang toleransi di dalam kalangan 4 pesantren besar Jombang; Pesantren Denanyar, Pesantren Rejoso, Pesantren Tambak Beras, dan Pesantren Tebuireng. Juga dilakukan pada Pesantren al-Izzah sebagai pesantren yang berbeda dengan kebanyakan pesantren di Jombang. Sekitar 3000 ustad, guru, santri, mahasiswa, dan dosen menjadi responden survey itu,” pungkas Gus Sholah.


Pewarta : Putri Aqilla Ramadhanis

Publisher: MSA