Oleh: Silmi Adawiya*
Ilmu adalah laksana penerang bagi kehidupan. Dari ilmu itu manusia bisa membedakan perihal kebaikan dan keburukan. Sebab ilmu pula seorang manusia bisa mendesain alur hidup yang ia kehendaki, menuju surga atau neraka. Hidup tanpa dibekali ilmu bak seorang pendaki yang mendaki gunung tanpa arah dan petunjuk. Sebab itulah Rasulullah memerintahkan kita semua untuk terus mencari ilmu, tak lekang oleh ruang dan waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah)
Jika kita ingin menyandang kehormatan luhur, kemuliaan yang tak terkikis oleh perjalanan malam dan siang, tak lekang oleh pergantian masa dan tahun, kewibawaan tanpa kekuasaan, kekayaan tanpa harta, kedigdayaan tanpa senjata, kebangsawanan tanpa keluarga besar, para pendukung tanpa upah, pasukan tanpa gaji, maka kita harus menjadi orang yang berilmu. Terlepas dari beberapa visi di atas, yang pasti adalah ilmu itu akan kekal dan bermanfaat bagi pemiliknya walaupun telah meninggalkan dunia. Disebutkan dalam hadis:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya” (HR. Muslim).
Perlu diketahui bahwa hadis tersebut menjelaskan ilmu yang bermanfaat yang tidak akan terputus amalnya, bukan sekedar ilmu yang dikoleksinya dalam hidup. Karena bagaimana mungkin bisa memberi petunjuk kepada jalan yang benar jika kamu sendiri masih merasakan kebingungan yang disebabkan oleh kegelapan yang mendera jiwamu? Imam Al Ghazali berpesan dalam karya indahnya “Ihya Ulumuddin”:
من فتنة العالم أن يكون الكلام أحب إليه من الإستماع
Dianrara godaan terbesar orang berilmu adalah lebih senang berbicara daripada mendengarkan
Bukankah manusia diciptakan dengan rangkaian dua telinga dan satu mulut? Setidaknya waktu untuk mendengarkan memiliki jatah lebih banyak daripada berbicara. Disinilah letak ujian seseorang ketika telah memiliki ilmu yang cukup banyak. Dalam waktu dan kondisi apapun, ia ingin didengarkan dan diutamakan. Susah untuk mendengarkan masukan dari orang lain, terlebih dari orang yang dianggapnya lebih sedikit ilmunya. Padahal ketika kita bersedia menjadi pendengar yang baik, sesungguhnya ada banyak hal positif yang akan bisa kita dapatkan.
*Alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.