Oleh Dr. KH. Musta’in Syafi’ie*
Tafsir Surat An-Nazi’at Ayat 9-25
Tongkat Nabi Musa as.
Pengajian tafsir kali ini banyak mengulas kisah Nabi Musa as. yang berhadapan dengan Fir’aun. Fir’aun sendiri bukanlah nama seseorang. Melainkan sebuah gelar yang disandang raja-raja Mesir. Sedang Fir’aun yang dimaksud di dalam al-Qur’an adalah Ramses. al-Qur’an pun dalam menuturkan kisah-kisah sering kali tidak menyebutkan nama pelaku secara langsung, melainkan dengan menyebutkan gelar atau jabatannya.
Dalam menghadapi Fir’aun, Nabi Musa dilatih dan dibekali oleh Allah dengan berbagai mukjizat. Diantaranya tangan yang mampu memancarkan cahaya, dan juga dibekali dengan tongkat. Menurut beliau, tongkat sebenarnya merupakan tradisi yang biasa dijumpai di masyarakat pada masa tersebut. Baik untuk menggembala domba maupun untuk bepergian. Setelah Musa diangkat menjadi nabi, maka tongkat tersebut menjadi senjata untuk melawan Fir’aun dan bala tentaranya. Letak kemukjizatan tongkat Nabi Musa adalah ketika dilemparkan dapat berubah menjadi ular, atas izin Allah. Namun setelah dipegang kembali, ular itu dapat kembali menjadi tongkat.
Ketika Nabi Musa berhadapan dengan Fir’aun, ular Nabi Musa dengan mudah mengalahkan ular-ular penyihir Fir’aun. Disinilah letak keistimewaan tongkat Nabi Musa, dimana ular penyihir Fir’aun merupakan ilusi belaka untuk sekedar menakut-nakuti, ular nabi Musa dapat benar-benar hidup. Sehingga, tambah beliau, ketika ular nabi Musa memakan ular penyihir Fir’aun, ukuran ular tersebut bertambah semakin besar.
Tongkat Kiai Hasyim
Tatkala Kiai Hasyim hendak mendirikan NU, beliau terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil. Kiai Kholil pun merestuinya dan memberikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim. Setiap menjelang shubuh, Kiai Hasyim sering membangunkan santrinya menggunakan tongkat. Konon tongkat tersebut bertuliskan العَصَا لِمَنْ عَصَى. Tongkat ini (digunakan) untuk orang yang bermaksiat.
Pernah suatu saat dalam sebuah diskusi, disinggung apakah tulisan di tongkat Kiai Hasyim menggunakan huruf jer li (لِمَنْ )atau ila (اِلَى مَنْ ). Kiai Tain memilih berdapat menggunakan redaksi li. Alasannya karena huruf jer li memiliki kandungan makna “memberi manfaat”. Artinya ketika seorang santri bersalah, kiai akan menghukumnya. Salah satunya dengan memukul. Namun bukan untuk menyakiti tetapi untuk mendoakan semoga santri tersebut dikemudian hari menjadi baik dan sukses. Itulah bedanya pemberian hukuman kiai dengan polisi, yang lebih mengedepankan nafsu.
Disela-sela pengajian beliau juga menyisipkan pesan. Orang yang amal dan istiqomahnya bagus, dalam keadaan sulit akan mendapatkan pertolongan Allah dari jalan yang tidak disangka-sangka. Disamping itu, semua tujuan/keinginan kita, harus ada sebab, upaya atau ikhtiyarnya. Tanpa itu, keajaiban atau kekeramatan tidak akan turun. Dicontohkan, terbelahnya laut merupakan keajaiban dan mukjizat dari Allah. Tapi, itu dikarenakan nabi Musa berikhtiyar dengan memukulkan tongkatnya ke permukaan laut.
*Resume pengajian interaktif Tafsir al-Jalalain di Masjid Pesantren Tebuireng, Rabu 25 November 2015.