tebuireng.online—Pencak Silat adalah bela diri khas Nusantara, beberapa perguruan tinggi berdiri sudah bertahun-tahun lalu, sebut saja ada SH Teratai, Walet Putih, Kera Sakti, Tapak Suci, Dali Kumbang, Pagar Nusa, dan lain sebagainya. Namun diantara nama-nama itu, ada satu nama perguruan silat yang sedang berkembang dan semakin dilirik pengemar pencak silat di penjuru negeri, NH Perkasya (Nurul Huda Pertahanan Dua Kalimat Syahadat). Sejak didirikan pada 33 tahun lalu, tepatnya 2 November 1982 oleh pendekar dari Ponorogo, H. M. Lamroh Azhari, NH Perkasya semakin mengepakkan sayapnya dengan mendirikan cabang di berbagai daerah, Jawa dan Sumatra.

Di ulang tahunnya yang ke-33 ini, NH Perkasya ingin menampilkan acara yang berbeda. Kemarin (27/11/2015), para pendekar NH Perkasya dari seluruh Indonesia dikumpulkan di Halaman Kampus Umum Universitas Hasyim Asy’ari untuk mrengikuti Apel Akbar dipimpin langsung oleh Sang Pendiri, H. Lamroh. Tak hanya itu, pagi tadi (28/11/2015), panitia menyelenggarakan Seminar Ilmiyah Nasional yang memadukan antara dunia persilatan dengan sufisme di Aula Bachir Ahmad Gedung KH. M. Yusuf Hasyim lantai 3 Pesantren Tebuireng

Dalam seminar tersebut, hadir Wakil Pengasuh bidang kepesantrenan, Drs. H. Irfan Yusuf, M.Si., perwakilan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jombang, Dewan Pendekar, pelatih, dan para pendekar dari berbagai cabang di Indonesia, seperti Pacitan, Jember, Ponorogo, Mojokerto, dan Sumatra. Menghadirkan narasumber dari dua bindang yang berbeda, yaitu Dr. KH. Lukman Hakim, Direktur Sufi Center Jakarta yang membahas tema “Membangun Spiritualitas Pendekar”, dan Gusti Sultan Cakra Buana Reza Pahlevi, Ph.D.,  dari Medan, menyampaikan tema “Peran NH Perkasya dalam Konstalasi Nasional, dipimpin moderator KH. Chamim Qohari dari Mojokerto”

Dalam Sambutannya Ketua Panitia, Muhammad Habibi, S.Sy., mengatakan bahwa menemukan muara dari dua tema yang berbeda ini adalah bagian dari upaya menemukan titik temu antara silat sebagai perumpaan kekuatan raga tidak lepas dari kekuatan hati melalui spiritualitas yang terkait dengan sufisme. Hal itu untuk membendung anggapan bahwa dengan menjadi pendekar, bebas melakukan hal-hal yang tidak dilandasi oleh agama, moral, dan etika.

Pendiri NH Perkasya, H. M. Lamroh Azhari mengatakan bahwa perguruan tinggi NH Perkasya tidak mengajarkan tawuran dan hal-hal negatif lainnya seperti yang diberitakan. Menurutnya, itu adalah oknum-oknum yang mengatasnamakan sebuah perguruan tertentu, dan merusak citra persilatan. “NH tidak membenarkan itu, dalam point kedua ada akhlakul karimah,” ujarnya. Selain itu, Pak Lamroh berpesan kepada para pendekar agar berlatih sungguhan dan tidak main-main dalam menggunakan ilmu silat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mewakili pengasuh, Wakil Pengasuh Bidang Kepesantrenan, Drs. H. Irfan Yusuf, M.Si., menyampaikan dalam sambutannya, mengenai hal-hal negatif yang dicitrakan kepada perguruan pencak silat. Setiap tahunnya, polisi selalu mengerahkan pasukan untuk mengamankan kegiatan-kegiatan multi perguruan silat seperti di Madiun dan Ponorogo yang berpotensi terjadi kerusuhan antar perguruan. Hal itu, bagi beliau sangat mencoreng dunia persilatan, bahkan Indonesia, karena silat adalah indentitas bangsa. “Kita nggak pernah denger ada tawuran antara perguruan taekwondo, wushu, atau yang lainnya, tapi silat sering kita dengar,” ujar beliau. Untuk itu, beliau berpesan agar para pendekar NH Perkasya tetap pada garis yang ditentukan oleh pendiri dan pendahulu, memegang teguh nilai-nilai keislaman dan kepesantrenan.

Dalam seminar yang berlangsung dua jam tersebut GSCB Reza Pahlevi menjelaskan mengenai sejarah persilatan, perannya dalam konstalasi nasional, dan hubungan dekat NH Perkasya dengan didirikannya Pagar Nusa. Menurutnya NH adalah cikal bakal berdirinya Ikatan Pencak Silat NU Pagar Nusa yang sebenarnya adalah wadah bagi para pendekar NU lintas perguruan. Namun, dalam perkembangannya berubah menjadi sebuah perguruan, tentu itu mengundang banyak tanda tanya dikalangan para pendekar senior, pemerhati silat, dan sejarawan NU.

Sedangkan Kiai Lukman yang pernah menjadi ketua NH Perkasya menceritakan bahwa dulu sempat akan diberi nama “Nahdlatul Huda” namun tidak jadi, karena dianggap akan menjadi “kurang ajar” bersanding dengan Nahdlatul Ulama. Asal-usul kata “Nur” di depan nama NH adalah karena saat latihan di komplek makam Tebuireng, mati lampu, dan menggunakan lilin sebagai penerangan. Cahaya lilin yang menerangi dikala gelap itulah yang mengilhami filosofi penyematan nama tersebut. Mantan Pimpinan Redaksi Majalah Tebuireng tersebut berpesan, bahwa menjadi pendekar, bukan merupakan kesombongan, namun justru harus mampu untuk menahan diri dari kekangkuhan dan kamarahan. (abror)