Jibril as. melesat menuju Firdaus. Ada sebuah misi yang harus ia tunaikan malam itu juga. Ia membutuhkan satu makhluk surga untuk membantunya. Buraq, ia ingin mengambil satu ekor binatang surga itu.
Di Firdaus, ia melihat sekitar 40 ribuan buraq tengah merumput. Tubuh mereka bercahaya, berkilauan seperti berlian. Di tengah pemandangan itu, Jibril mendapati seekor buraq dengan wajah yang berbeda dari buraq lainnya. Air mata tak henti menetes dari kedua matanya. Jibril mendekati buraq tersebut.
“Hai, Buraq, mengapa wajahmu seperti ini padahal engkau berada di tempat yang tidak ada kesedihan di dalamnya?” tanya Jibril.
“Ya, Jibril, aku terkungkung rindu yang teramat menyiksa. Surga dan segala keindahannya tidak berarti jika kerinduanku tak lekas terbayar. Aku tak kuasa lagi menyesap kenikmatan di tempat ini. Makan dan minum? Telah lama sekali aku tinggalkan,” jawab Buraq.
“Siapakah yang engkau rindukan, Buraq?” lanjut Jibril.
“Sang Manusia Cahaya, Jibril, Ahmad ibn Abdillah! Telah kudengar namanya ribuan tahun silam, saat cinta dan rindu mulai menancapkan kukunya di hati ini, dan sampai sekarang, belum juga dapat kulihat wajahnya,” ujar Buraq sambil terus melelehkan airmata yang membanjiri rumput di bawah kakinya.
Jibril pun lekas berkata, “Jika benar begitu, kau ikutlah denganku. Kita temui sang kekasih di bumi. Malam ini juga!”
Kisah ini, sebagaimana tertulis dalam Duratun Nasihin, adalah sebuah cuplikan yang dapat kita baca dari keseluruhan kisah mengenai Isra Mikraj. Syaikh Usman bin Hasan al-Khubawiy menerangkan latar belakang terjadinya peristiwa isra mikraj dalam satu bab khusus, ‘perdebatan langit dan bumi’.
Namun, sebagian ulama meragukan kebenaran kisah tersebut. Sebab, peristiwa isra mikraj terlalu agung dan luar biasa untuk terjadi dengan sebab yang insidental seperti itu. Termasuk dalam hal ini, adalah ‘amu al-huzn, atau Tahun Kesedihan, di mana Nabi harus kehilangan dua orang yang paling ia cintai dalam tahun yang sama sekaligus, yaitu Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah. Atas sebab itu, Allah memanggil Nabi melalui isra mikraj agar sang nabi mendapatkan penghiburan.
Terlepas pembahasan panjang mengenai latar belakang isra mikraj, kiranya ada satu sempalan kisah yang patut kita apresiasi secara tersendiri. Salah satunya ialah kisah Buraq di atas.
Ciri Fisik Buraq
Buraq, seperti dijelaskan oleh Badar Muhammad dalam Sirajul Wahhaj, adalah seekor binatang yang posturnya seperti kuda, ukuran tubuhnya melampaui keledai tapi tak lebih besar dari bagal. Di antara kedua kakinya, tersemat 2 buah anggota tubuh istimewa seperti kepunyaan para malaikat: sayap. Saat hendak membawanya, Jibril menghiasinya dengan pelana seputih kapas dan tali kekang yang berasal dari yakut berwarna merah berkilau.
Ibnu Hajar al-Asqolany dalam Fathul Bari mendefinisikan, penamaan Buraq berasal dari kata Barq, bermakna kilat. Saat berderap, kecepatannya bagai kilat yang menyambar. Dalam sekali sentakan, Buraq mampu menempuh jarak sejauh pandangan mata dengan kaki yang dapat memanjang dan memendek menyesuaikan medan. Kestabilan itu memberikan kenyamanan penuh bagi penunggangnya.
Di Syarah an-Nawawi, dijumpai keterangan lain soal tampilan fisiknya. Dikatakan, Buraq ini pipinya seperti kepunyaan manusia, surainya nampak seperti surai kuda, kakinya mirip milik unta, kuku dan ekornya lebih menyerupai sapi, dan di dadanya, yakut merah menempel dengan indah.
Namun, betapa pun menakjubkan fisik dan kemampuan Buraq, nyatanya hal itu tak terlalu memesonakan Nabi pada mulanya.
Dijelaskan oleh Ibnu ‘Araby dalam al-Mukhtar min Rasail ibn ‘Arabiy, saat diperlihatkan Buraq untuk pertama kali sebagai tunggangannya, Nabi bertanya pada Jibril, “Binatang apa ini, wahai Jibril?” Nabi mengamati Buraq yang bertabur kilau menawan.
Sang malaikat pun menjelaskan dengan tenang, “Ini adalah tunggangan para pencinta. Tujuannya adalah demi memuliakan engkau, duhai kekasih Allah. Seperti layaknya tradisi para raja besar, yang akan menyediakan tunggangan bagi tamu terhormatnya.”
Nabi terdiam. “Apakah umatku juga akan beroleh tunggangan seperti ini kelak?” tanya Nabi dengan mata yang mulai basah.
“Tentu saja, mereka akan mendapatkannya,” tegas Jibril. Lalu ia membacakan surah Maryam ayat 85, “Orang-orang mukmin akan dikumpulkan bagai kafilah yang terhormat.”
Mendengar jawaban Jibril, Nabi lega lalu berkenan naik di punggung Buraq yang kokoh. Akan tetapi, Buraq yang teramat gembira meronta-ronta tanpa dapat terkendali dan malah menyulitkan Nabi.
Jibril dengan ketegasannya segera menegur binatang itu, yang seketika merasa malu dan sadar ia tak seharusnya pamer kekuatan kepada Nabi. Ia hanya terlampau senang dengan kenyataan bahwa manusia mulia yang paling ia rindukan akan mengendarainya dalam sebuah perjalanan agung. Keringat Buraq luruh menempa bumi, berkilauan seperti permata berjatuhan. Ia kembali jinak dan berubah seperti semula dengan segala keanggunannya.
Kehadiran Buraq dalam rihlah terbesar sepanjang sejarah semesta membawa makna yang cukup dalam. Buraq, sebagaimana disimpulkan oleh Gus Mus di buku populernya, Saleh Ritual, Saleh Sosial, adalah simbol dari upaya istikamah bagi seorang hamba. Jalan menuju Allah tidak selalu mulus seperti tol, ada saatnya jalan terasa menyulitkan. Dan siapa pun yang hendak sampai pada-Nya, ia harus punya konsistensi menempuh berbagai macam medan seberapa pun sulitnya.
Ini juga menjawab pertanyaan mengapa Nabi tak naik awan seperti Nabi Sulaiman, atau langsung diangkat ke langit seperti Nabi Isa. Sayyid Alawy melalui Wa Huwa bil Ufuqil A’la berpendapat, bahwa ayat-ayat Allah, keluarbiasaan dan ketakjuban akan kuasa Allah yang disaksikan oleh Nabi Muhammad saw. dapat ditempuh dengan tunggangan mirip kuda, sebagaimana lumrahnya manusia. Allah mengembalikan Nabi kepada fitrahnya sebagai manusia dengan tetap menyesuaikan kenyataan jarak tempuh rihlah yang melintasi antariksa: kecepatan menakjubkan Buraq itulah pembedanya.
Satu hal terakhir yang juga penting kita teladani dari diri buraq itu sendiri, apakah kerinduan kita kepada Nabi telah cukup besar sebagaimana kerinduan Buraq? Ia terpilih mendampingi Nabi karena terlihat berbeda dengan ribuan buraq lainnya walaupun tak menunjukkan diri. Sudahkah kita sehebat Buraq dalam urusan mencintai dan merindukan Nabi dengan tulus dan sepenuh hati?
Ditulis oleh Athi Suqya Rohmah