ilustrasi sidratul muntaha

Tanggal 27 Rajab kala itu ketika Rasulullah dihibur Allah dengan perjalanan dari Masjid al-Haram ke al-Aqsha, kemudian naik ke langit ke-7 tepatnya di Sidrah al-Muntaha untuk menemui-Nya dan istirahat barang sekejap saja, setelah sepuluh tahun berjuang menyebarkan risalah kenabian dengan jalan terjal penuh berbagai cobaan yang bukan hanya menghantam fisik Nabi Muhammad namun juga batinnya yang paling tulus.

Hikmah perjalanan Isra Mi’raj ini sejatinya bukan hanya untuk Nabi seorang diri, namun juga hendak menyampaikan pesan penting kepada umat. Bahwa bumi ini tidak hanya dihuni oleh manusia saja, ada kebaikan-kebaikan yang mesti ditebarkan oleh seorang muslim kepada semesta alam. Beberapa di antaranya mungkin sudah seringkali kita dengar dari ceramah-ceramah tentang peringatan hari bersejarah tersebut. Namun dalam tulisan kali ini akan lebih membahas tentang pesan kepedulian terhadap alam yang jarang sekali terungkap.

Sidrah Al-Muntaha merupakan salah satu keagungan Allah yang diperlihatkan kepada Rasulullah saat prosesi Isra Mi’raj, menurut beberapa pendapat menyebutkan bahwa bentuknya seperti sebuah pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sidrat bermakna pohon bidara, pohon yang tumbuh di daerah kering dan memiliki banyak sekali manfaat.

Dalam Al-Quran istilah sidr atau sidrah disebutkan dalam empat ayat, yakni Q.S. Saba’ [34]: 16, dengan makna pohon bidara; Q.S. al-Waqi’ah [56]: 28, memiliki arti makna pohon bidara yang tidak berduri; dan Q.S. an-Najm [53]: 14 dan 16, yang juga bermakna pohon tetapi Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.

Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika dimi’rajkan ke langit, aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Kemudian, aku melihat cahaya yang agung. Daun-daun Sidratul Muntaha itu seperti kuping-kuping gajah dan buah-buahnya seperti kendi besar.” (H.R. Ahmad). 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam konteks ekologi, munculnya pohon bidara di Sidrah al-Muntaha ini mengandung pesan gamblang tentang langit atau arsy yang biasa kita imajikan dengan cahaya, namun sejatinya justru terwujudkan dalam bentuk alam. Hal ini memberi tahu kita tentang pentingnya menjaga bumi dan lingkungan dengan sungguh-sungguh. 

Apresiasi tinggi terhadap alam juga diungkapkan ketika perjalanan Isra Mi’raj, Rasulullah diperlihatkan berbagai fenomena kehidupan, sehingga digunakannya sebagai perumpaan orang yang menafkahkan jiwa raga dan hartanya untuk berjuang di Jalan Allah.

Adalah saat Nabi Saw menyaksikan beberapa golongan manusia, salah satu di antaranya adalah orang yang menanam tumbuhan sekaligus memanen hasilnya hanya dalam waktu dua hari. Setiap selesai memanen akan tumbuh kembali seperti sebelum panen terjadi, dan begitu seterusnya. Beliau menanyakan hal itu kepada Malaikat Jibril yang kemudian dijawab bahwa mereka ialah para mujahidin yang berjuang untuk menegakkan syariat-Nya dan setiap pengeluaran yang mereka lakukan akan dikembalikan berkali-lipat oleh Allah.

Hal ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi kita, bahwa keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual ibadah mahdhoh. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan sebentuk pengabdian kita kepada Rabb al-‘alamin.

Kepedulian terhadap Lingkungan

Kepedulian terhadap lingkungan hidup merupakan ruh yang tak terpisahkan dari tanggung jawab diciptakannya manusia di bumi. Dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30 bahwa manusia adalah wakil Allah yang mendapatkan kepercayaan untuk merawat bumi dan hidup secara harmonis dengan makhluk-makhluk ciptaanNya yang lain.

Jika menelisik catatan sejarah, pada masa awal Islam kita juga melihat bagaimana visionernya misi kenabian khususnya terkait dengan kepedulian alam. Rasulullah tidak melulu mengajarkan ritual keagamaan saja, namun dalam beberapa kesempatan Nabi Saw juga mengingatkan para sahabat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

Sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Hubsyi, Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang memotong-mematahkan pohon bidara, maka Allah akan rendahkan kepalanya ke neraka.” (H.R. Abu Dawud)

Dengan hadits ini, Nabi memberikan pendidikan lingkungan kepada umat untuk turut proaktif menjaga alam dengan tidak melakukan perbuatan buruk seperti merusak. Jika lingkungan rusak, maka manusia juga yang akan menanggung dampaknya.

Efek merusak, dewasa ini dengan jelas kita dapat melihat bahwa eksploitasi alam berlebihan, penebangan hutan liar, dan lain sebagainya menghadapkan kita pada kiamat-kiamat kecil yang terjadi di bumi, seperti bencana tanah longsor, banjir, perubahan iklim dan el-nino yang tengah kita rasakan saat ini.

Karena bagaimanapun, manusia dan lingkungan dengan segala aspeknya yang berbeda sebenarnya saling terkait dan saling membutuhkan. Oleh karena itu pentingnya kepedulian terhadap pelestarian lingkungan, hingga dikatakan oleh Rasulullah bahwa, “Jika seseorang mempunyai sebibit kurma di tangannya pada hari terakhir di dunia, maka ia berkewajiban menanamnya.”

Baca Juga: Benarkah Isra Mi’raj Sesuai dengan Teori Relativitas Einstein?


Ditulis oleh Rasyida Rifa’ati Husna, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo