foto buah apel

Pernahkah pembaca membayangkan bagaimana kecerdasan Imam Abu Hanifah? Kita tahu sendiri, beliau adalah sosok mujtahid. Beliau adalah pendiri mazhab Hanafiyah yang sangat terkenal hingga hari ini. Apakah pembaca tahu, siapa itu mujtahid? Apa saja kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi mujtahid yang setara dengan Imam Abu Hanifah?

Untuk menjawab siapa itu mujtahid serta kriteria untuk menjadi mujtahid, kiranya kita perlu menilik penjelasan sebagian ulama sebagaimana berikut. Di dalam kitab al-Mu’tashor misalnya, Imam Abu Mundzir menjelaskan, ijtihad adalah pengerahan upaya oleh seorang ulama untuk memahami hukum syariat yang bersifat dugaan dan pengamalan, di mana hukum tersebut diambil dari dalil yang terperinci. Sehingga, mujtahid bisa kita artikan sebagai pelaku dari proses ijtihad tersebut.

Kriteria Mujtahid

Untuk kriteria menjadi mujtahid, Imam Jauzi di dalam kitab Ta’dimul al-Futya menjelaskan ada empat sebagaimana berikut:

Pertama, paham betul segala aspek yang berkaitan dengan kitab suci al-Quran. Misalnya seputar karakter ayat, sejarah al-Quran, dan lain sebagainya. Intinya, semua aspek yang berkaitan dengan al-Quran, harus dikuasai oleh mujtahid.

Kedua, mengetahui dan paham terhadap sunnah Nabi Muhammad. Misalnya seputar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sunnah Nabi, dan segala aspek yang tentunya menjadi perangkat dalam memahami sunnah Nabi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, mengetahui dan memahami ragam pendapat ulama salaf baik pendapat yang mereka sepakati atau masih mereka perdebatan.

Keempat, mengetahui dan memahami betul apa itu analogi (qiyas). Semua aspek yang berkaitan dengan analogi, harus dipahami oleh seorang mujtahid.

Melihat penjelasan siapa dan kriteria menjadi mujtahid di atas, kiranya kita tidak perlu mempertanyakan lagi bagaimana kualitas dari Imam Abu Hanifah. Apalagi, sesuai dengan penjelasan di atas, beliau adalah sosok pendiri mazhab Hanafiyah.

Kualitas Keilmuan Abu Hanifah

Untuk melihat bagaimana contoh konkret kualitas Imam Abu Hanifah, kiranya satu cerita sederhana di bawah ini bisa memberikan jawaban yang mengena di hati pembaca. Cerita ini bisa pembaca tilik di dalam kitab Manaqib al-Aimmah al-Arba’ah karangan sebagian santri lulusan PP Lirboyo, Kediri.

Cerita ini berawal dari sarasehan yang satu hari pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah dan beberapa santri beliau. Di tengah-tengah diskusi yang sedang terjadi, datang sosok perempuan tak dikenal. Ia berdiri di dekat pintu ruangan. Tampaknya, ada hal yang mungkin hendak ia sampaikan kepada Imam Abu Hanifah.

Selang beberapa waktu, sosok perempuan yang masih berdiri di dekat pintu tersebut memanggil salah seorang santri Imam Abu Hanifah, seraya mengisyaratkan supaya buah apel yang sedang ia pegang, diberikan kepada Imam Abu Hanifah. Tampak, apel yang ia bawa sebagian berwarna merah dan sebagian lain berwarna kuning.

Entah, apa yang diinginkan sosok perempuan tadi dengan menyerahkan buah apel tersebut kepada Imam Abu Hanifah?

Setelah itu, seorang santri yang diamanati sosok perempuan tadi untuk menyerahkan buah apel kepada Imam Abu Hanifah sudah sampai di hadapan beliau. Beliau berkata kepada salah seorang santri tersebut, “Siapa yang mengutusmu untuk membawa buah apel ini?” tanya Imam Abu Hanifah.

Akhirnya santri tersebut menjawab,   “Sosok perempuan yang sedari tadi menunggu jawaban dari Anda, seraya berdiri di dekat pintu,” jawab santri tersebut dengan cukup jelas.

Imam Abu Hanifah lalu melanjutkan, “Aku tahu apa yang dikehendaki oleh perempuan tersebut,” jelas Imam Abu Hanifah dengan percaya diri bahwa perempuan yang sedari tadi berdiri di dekat pintu memang ada kebutuhan kepada beliau.

Setelah itu, Imam Abu Hanifah mengambil buah apel tersebut, lalu membelahnya menjadi dua. Lalu, Imam Abu Hanifah menyerahkan belahan buah apel tersebut kepada santri tersebut, seraya berkata, “Pergilah dan serahkanlah belahan buah apel ini kepada perempuan tadi.”

Setelah menerima belahan buah apel tersebut, perempuan tadi pergi meninggalkan ruang diskusi.

Menurut penjelasan sebagian ulama, perempuan yang mendatangi Imam Abu Hanifah ini sedang bingung dengan kondisinya. Ia bingung mengenai darah haid. Dengan membawa buah apel yang terdapat warna merah dan kuning, sebenarnya ia hendak bertanya, apakah ketika darah berubah dari merah ke kuning, statusnya sudah suci?

Dengan membelah buah apel tersebut menjadi dua, Imam Abu Hanifah secara tidak langsung juga memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ketika buah apel dibelah, maka akan tampak warna putih, di mana hal tersebut memberikan indikasi bahwa perempuan tersebut sudah dalam keadaan suci.

Inilah satu cerita sederhana yang menurut penulis menjadi salah satu bukti nyata akan kecerdasaan Imam Abu Hanifah. Meski perempuan yang datang tidak berbicara kepada Imam Abu Hanifah langsung, namun ketika ia menyodorkan satu buah apel tersebut, beliau langsung paham akan apa yang sedang perempuan tersebut inginkan. Semoga cerita sederhana ini bisa menambah wawasan kita, serta lebih meningkatkan kecintaan kita kepada ulama-ulama terdahulu. Sekian!


Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang