Ilustrasi Baitul Hikmah: http://www.muslimheritage.com/article/house-of-wisdom

Kemajuan suatu peradaban biasanya berbanding lurus dengan maju dan luasnya penguasaan ilmu pengetahuan. Contohnya saja; Mesir kuno yang pada abad ke-5 Sebelum Masehi dapat memimpin dunia dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh bangsa – bangsa lain.

Pada saat manusia sedang menjalani kehidupan yang primitif, Mesir ketika itu sudah mampu mulai menjalani kehidupan lebih modern, seperti sistem irigasi yang teratur, seni lukis yang indah dan seni pahat dengan hasil patung-patung dewa-dewi yang mempesona, astronomi, serta arsitektur yang ditunjukan dengan bangunan bangunan yang elok di setiap sudut kota.

Bahkan menurut sebagian peneliti sejarah, huruf Hyeroglif yang dipakai umat Mesir kuno ketika itu merupakan susunan huruf pertama dalam sepanjang sejarah umat manusia. Inilah juga karenanya, Yunani, Persia, Romawi, dan juga Islam turut mempunyai peradaban yang gemilang selaku generasi setelahnya.

Bicara soal peradan Islam, tentu tidak lepas dari bahasan tentang gemilangnya peradaban Dinasti Abbasiyah. Di masa ini, Islam menjadi pusat peradaban dunia. Di masa ketika bangsa Barat dan belahan bumi lain sedang mengalami konflik dan krisis yang meresahkan serta tak kunjung berakhir, Baghdad sebagai pusat ibukota Dinasti Abbasiyah sudah menjelma menjadi kota paling metropolitan di dunia. Taman-taman indah menghiasi celah-celah kota dan penerangan yang memadai serta bangunan rapi dengan desain arsitektur yang bagus turut melengkapi pesona indahnya kota tersebut.

Kemajuan tersebut bukan sekedar karena luas wilayah kekuasaanya yang sampai 2/3 dunia. Namun yang lebih kepada faktor tingginya perkembangan serta penguasaan ilmu pengetahuan yang seolah tidak ada tandinganya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada masa ini, ilmuan, arsitek, seniman, sejarawan, pujangga, filsuf, saudagar, semua berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan di bidangnya masing – masing. Maka dari itu, ilmu –ilmu seperti seni, teknik, arsitektur, matematika, hingga ilmu agama bisa berkembang dengan sangat pesat. Pada masa ini pula lahirlah sebuah institusi keilmuan pertama di dunia yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan hingga saat ini.

Institusi yang dimaksud itu adalah Baitul Hikmah. Nama Baitul Hikmah sendiri berasal dari bahasa Arab al bait adalah rumah, sedangkan  حَكَمَ) ( Hakama yang artinya bijaksana. Orangnya disebut dengan hakim, orang yang bijaksana. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Nazeer Ahmed yang mengatakan bahwa seorang ilmuan harusnya tidak hanya melihat alam dari luar, tapi harus bisa juga melihat alam dari dalam atau dikenal dengan istilah man of wisdom dan menyatukanya dengan pokok-pokok segala sesuatu.

Intinya, seorang ilmuwa bukan hanya sekedar mencari ilmu pengetahuan, tapi juga harus bisa merealisasikan ilmu pengetahuan tersebut ke dalam kehidupan sehingga bisa temukan hakikat kehidupan yang telah digariskan oleh Tuhan. Itulah yang mungkin diharapkan dalam pemberian nama “Baitul Hikmah” terhadap institusi legendaris ini, yaitu mencetak kader ilmuan dan ulama yang bijaksana dengan ilmunya.

Baitul Hikmah ini diprakarsai oleh Khalifah al Ma’mun, yaitu putra kandung Harun Ar-Rosyid. Cikal bakal perpustakaan sekaligus mesin penerjemah ini sesungguhnya sudah mulai ada sejak zaman Abu Ja’far al Manshur, dan sebagian riwayat lain mengatakan bahwa yang membangun perpustakaan ini yakni Harun al Rasyid pada tahun 813 Masehi ditandai dengan melejitnya Keluarga Barmak sebagai pengelola Baitul Hikmah yang hidup pada masa Harun ar Rasyid.

Baitul Hikmah sebenarnya tidak sekedar sebuah perpustakaan pada umumnya yang kita kenal sekarang ini. Tempat ini lebih menyerupai universitas. Dikarenakan tempat ini selain dipakai sebagai sumber literasi keilmuan, tetapi juga dipakai sebagai tempat diskusi, sanggar penulis, laboratorium penerjemahan, hingga kantor penerbitan buku-buku.

Salah satu faktor yang membuat begitu pesatnya penyebaran ilmu pengetahuan, yaitu karena aktifnya kegiatan penerjemahan buku-buku. Saat ini, mudah sekali untuk menerjemahkan teks berbahas asing di masa modern seperti ini. Hanya perlu buka search engine, cari Google Translate, lalu masukkan teks, kemudian tunggulah sekian detik. Maka teks yang semula tak terbaca secara ajaib akan beralih bahasa.

Berbeda dengan zaman dulu, orang harus berpayah-payah menerjemahkan kalimat satu persatu, bahkan sering harus diterjemahkan sampai dua kali baru bisa dibaca. Dari bahasa Yunani, ke Bahasa Suriah, baru ke Bahasa Arab, karena keterbatasan penerjemah yang ‘tak bisa berbahasa Arab’. Itulah yang dilakukan para sarjana-sarjana dulu di Baitul Hikmah.

Oleh sebab itulah pastinya perputakaan legendaris ini menjadi pusat dan rujukan ilmu pengetahuan baik itu dari Barat (Yunani) maupun dari Timur (India, China, Persia). Semua sumber itu kemudian diteliti, dikaji, dan didiskusikan oleh para ilmuan dan ulama sehingga menghasilkan berbagai cabang keilmuan seperti matematika, fisika, astronomi, filsafat, kimia, kedokteran, seni, sastra, dan lain-lain.

Setelah Abu Ja’far, dan kemudian Harun ar Rasyid, di masa al Makmun, Baitul Hikmah terus mengalami kemajuan. Al Makmun mengundang para ilmuwan di seluruh dunia Islam untuk berbagi ide, informasi, dan pengetahuan di perpustakaan ini. Ketertarikannya terhadap filsafat juga mendorongnya melakukan terjemah besar-besaran terhadap karya-karya dari Yunani. Baitul Hikmah terus mengalami perkembangan di masa setelah al Makmun, al-Mu’tashim dan al Watsiq, namun mengalami kemerosotan di masa Al Mutawakkil

Kemudian pada masa al Mu’tashim Billah II (Khlaifah terakhir), Perpustakaan Agung Baghdad, yang menyimpan banyak sekali dokumen sejarah dan buku yang sangat berharga dalam berbagai bidang mulai dari pengobatan sampai astronomi, dihancurkan oleh tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulugu Khan. Orang-orang yang selamat melaporkan bahwa air sungai Tigris menjadi hitam akibat tinta dari banyak sekali buku yang dibuang ke sungai itu dan juga menjadi merah akibat darah dari para ilmuwan dan filsuf yang dibunuh di sana.

Para penduduk berusaha kabur namun mereka dicegat oleh pasukan mongol dan dibantai tanpa ampun. Martin Sicker menyebutkan bahwa hampir sembilan puluh ribu orang mungkin dibantai. Beberapa pekiraan lainnya jauh lebih tinggi. Wassaf mengklaim bahwa korban jiwa mencapai beberapa ratus ribu. Ian Frazier dari The New Yorker mengatakan bahwa perkiraan korban jiwa bervariasi dari dua ratus ribu hingga satu juta orang.

Pasukan Mongol menjarah dan kemudian menghancurkan masjid, istana, perpustakaan, dan rumah sakit. Bangunan-bangunan besar yang merupakan hasil karya beberapa generasi dibakar sampai habis.

Khalifah dipaksa menonton ketika penduduknya dibantai dan harta bendanya dirampas. Menurut sebagian besar sumber, khalifah dibunuh dengan cara diinjak-injak oleh kuda. Pasukan mongol menggulung khalifah dalam sebuah karpet, dan mereka lalu menunggang kuda di atas badannya, karena mereka percaya bahwa bumi akan marah jika ada darah penguasa yang ditumpahkan.

Dari sini, kita bisa teladani betapa semangat mereka sebagai umat-umat terdahulu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan kala itu. Walaupun akhirnya karya-karya mereka sebagian besar dimusnahkan oleh pasukan tentara Mongol, namun sebagian kecilmya saja dapat kita rasakan dan banyak dimanfaatkan hingga saat ini. Karena kemajuan suatu peradaban, sangat tergantung pada penguasaan ilmu pengetahuan di dalamnya.


*Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Pengepungan_Baghdad_(1258)

https://alif.id/read/khoirul-wafa/bagdad-irak-berabad-lampau-b209294p/