
Oleh: Rara Zarary*
:nasib cinta kaum proletar
Benar, mencintai tak punya ‘harus’ untuk memiliki
Tak mengenal ‘tapi’ untuk membiarkan pergi
Juga kata ‘jangan’ untuk sebuah keputusan
Meski memang segala kata yang sederhana itu adalah sebuah malapetaka untuk dilalui pecinta itu sendiri
Kemarin, barangkali banyak dari mereka yang patah atas sikap pasrah
Mas Pur, adalah salah satu lelaki yang melaluinya dengan kalimat pasrah untuk ditinggal dalam keadaan cinta dan sayang yang begitu dalam, membuatnya diam-diam resah
Kemarin, juga banyak yang menulis tentang cinta yang gugur sebelum diperjuangkan
Air mata berceceran di atas sajadah atau berakhir di jembatan bernasib buruk sebab gegabah
Wahai, siapalah pecinta yang benar mampu bahagia melihat ia tertawa digenggam orang lain
Jika ada, mungkin ia sudah begitu paham apa dan bagaimana cinta dan mencintai itu sendiri. Sebab pada kisah-kisah dalam hidup, menemui pecinta tanpa air mata saat pisah sama halnya dengan melihat sore tanpa senja yang singgah, sebuah ketidakmungkinan. Kecuali, cinta itu tak ada dalam hati, namun hanya sebagai apresiasi hubungan tanpa permisi.
*Penulis buku Hujan & Senja Tanah Rantau, pengguna aktif akun ig @sabdawaktu