Sumber gambar: nandafebriani96.wordpress.com

Oleh: Rara Zarary*

:nasib cinta kaum proletar

Benar, mencintai tak punya ‘harus’ untuk memiliki

Tak mengenal ‘tapi’ untuk membiarkan pergi

Juga kata ‘jangan’ untuk sebuah keputusan

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meski memang segala kata yang sederhana itu adalah sebuah malapetaka untuk dilalui pecinta itu sendiri

Kemarin, barangkali banyak dari mereka yang patah atas sikap pasrah

Mas Pur, adalah salah satu lelaki yang melaluinya dengan kalimat pasrah untuk ditinggal dalam keadaan cinta dan sayang yang begitu dalam, membuatnya diam-diam resah

Kemarin, juga banyak yang menulis tentang cinta yang gugur sebelum diperjuangkan

Air mata berceceran di atas sajadah atau berakhir di jembatan bernasib buruk sebab gegabah

Wahai, siapalah pecinta yang benar mampu bahagia melihat ia tertawa digenggam orang lain

Jika ada, mungkin ia sudah begitu paham apa dan bagaimana cinta dan mencintai itu sendiri. Sebab pada kisah-kisah dalam hidup, menemui pecinta tanpa air mata saat pisah sama halnya dengan melihat sore tanpa senja yang singgah, sebuah ketidakmungkinan. Kecuali, cinta itu tak ada dalam hati, namun hanya sebagai apresiasi hubungan tanpa permisi.


*Penulis buku Hujan & Senja Tanah Rantau, pengguna aktif akun ig @sabdawaktu