Sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Hilmi Abdillah*

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memberikan statemen dan pemikiran baru, tidak lama setelah ia dilantik menjadi menteri. Banyak yang ia sampaikan berkaitan dengan perubahan pendidikan ke arah yang lebih baik. Di antaranya ketika ia menyebut dalam kesempatannya berbicara pada tanggal 4 November 2019 dalam acara Ikatan Guru Indonesia bersama 22 organisasi guru dan komunitas guru. Menteri muda itu menyampaikan, “Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan Pendidikan Karakter berbasis agama dan pancasila menjadi mata pelajaran utama di Sekolah Dasar dan karena itu, Pembelajaran Bahasa Inggris di SMP dan SMA dihapuskan karena seharusnya sudah dituntaskan di SD. Pembelajaran bahasa Inggris fokus ke percakapan, bukan tata bahasa.”

Satu dari sepuluh pernyataan Nadiem tersebut ia klaim bisa menjadi solusi atas permasalahan yang ada. Pasalnya, pelajaran Bahasa Inggris yang dipelajari murid-murid sejak SD hingga SMA tidak memberikan impact yang besar kepada murid. Artinya, walau bertahun-bertahun pelajaran itu diajarkan, murid tidak juga menguasai bahasa Inggris, baik secara praktis maupun teori. Sementara untuk bisa berbicara atau menulis dengan Bahasa Inggris untuk kepentingan komunikasi internasional, mereka mesti mengikuti kursus di lembaga pendidikan nonformal yang pastinya menuntut kebutuhan lebih, seperti biaya, tenaga, dan pikiran. Ini berarti bahwa pendidikan formal belum bisa memberikan pembelajaran efektif di Bahasa Inggris yang merupakan mata pelajaran pokok.

Penulis menggarisbawahi kalimat ‘pembelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA dihapuskan karena seharusnya sudah dituntaskan di SD’. Ini pastinya akan mengurangi beban pelajaran untuk siswa SMP dan SMA. Siswa SD pun pastinya bisa menguasai bahasa Inggris tanpa harus bisa membaca, ataupun memahami teori-teorinya terlebih dahulu. Karena bahasa merupakan skill (keterampilan) yang bukan sekadar pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa. Ini terbukti dengan banyaknya anak yang bisa bicara menggunakan bahasa Inggris karena dilatih oleh ibunya sejak kecil, terutama masyarakat di daerah perkotaan, atau belajar di sekolah internasional yang memiliki budaya berbahasa Inggris di dalamnya. Selain itu, bukti yang paling konkrit adalah kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Indonesia maupun bahasa daerah tanpa harus mengetahui teorinya terlebih dahulu.

Menurut Gass dan Selinker (1994), sistem pembelajaran pembiasaan (the acquisition system) membantu dalam memproduksi apa yang ingin diucapkan oleh siswa karena dalam pengolahan bahasa, para siswa lebih fokus pada pembelajaran makna bahasa daripada bentuk dari bahasa itu sendiri. Mukminatien (2011) juga berpendapat bahwa bahasa yang didengar maupun dilihat oleh siswa di sekitar mereka merupakan hal penting di dalam sistem pembiasaan berbahasa ini (the acquisition system). Teori tersebut mengemukakan bahwa metode yang efektif untuk belajar bahasa adalah melalui pembiasaan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nadiem mungkin sedang melihat fakta bahwa pelajaran bahasa Inggris terlalu bertele-tele diajarkan, padahal di lembaga kursus seseorang bisa menguasainya dalam waktu sekitar 4 bulan untuk tahap pertama: menguasai kaidah-kaidah dasar bahasa dan bicara (speaking). Jangan sampai pendidikan formal yang berlangsung lebih lama tidak menjamin peserta didiknya bisa menguasai materi dan praktik lebih banyak. Ini pun juga disebabkan oleh para guru yang terjebak menggunakan buku pelajaran dari penerbit. Mereka tidak aktif dalam berbahasa Inggris. Mereka hanya mementingkan bagaimana agar siswa lulus tes dengan nilai yang baik.

Pemikiran Nadiem ada benarnya, bahwa pelajaran bahasa Inggris bisa tuntas di tingkat SD. Namun apakah ia sudah mengukur kesiapan guru-guru SD dalam hal ini? Ada berapa persen guru bahasa Inggris yang benar-benar berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris atau aktif berbahasa Inggris? Apakah tidak diperlukan strategi dan metode pengajaran yang berkelindan sehingga tercipta pengajaran yang efektif?

Untuk tingkat SD, tentu tidak salah memfokuskan pembelajaran bahasa Inggris pada percakapan, bukan tata bahasa. Tata bahasa Inggris memiliki kerumitan tersendiri yang mungkin sulit dipahami oleh siswa SD, seperti inkonsistensi pelafalan, banyaknya tenses, dll. Oleh karena itu, percakapan lebih bisa diterapkan kepada mereka. Dengan percakapan (conversation), inkonsistensi pelafalan tidak akan menjadi kendala. Begitu pula banyaknya tenses yang menunjukkan waktu-waktu, sebenarnya hanya beberapa saja yang sering digunakan. Namun, kalimat Nadiem ‘… bukan tata bahasa’ pastinya bukan berarti tata bahasa tidak penting dan tidak diajarkan. Pembelajaran tata bahasa hanya sekilas saja dan dinomorduakan.

Yang penulis tidak setuju atas pendapat Nadiem di atas ialah ketika pembelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA dihapus. Sebagai sebuah keterampilan, ketika peserta didik jarang menggunakan keterampilan itu, tentu keterampilan itu akan hilang. Risikonya, ketika lulus SMA dan akan masuk ke perguruan tinggi, mereka tidak aktif dalam bahasa Inggris. Mereka telah menganggurkan bahasa Inggris selama 6 tahun. Padahal, di tingkat SD mereka sudah dibiasakan dan sudah menguasai. Pemahaman penulis terhadap statemen ini mungkin tidak sepenuhnya benar. Barangkali penghapusan bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA itu berarti lain, misalnya diganti dengan pendidikan non-pembelajaran, setiap atau sebagian materi yang disampaikan menggunakan bahasa Inggris, pembangunan kultur bahasa Inggris di sekolah, atau opsi lainnya. Akan tetapi pertanyaannya masih sama, apakah masyarakat sekolah, guru, dan murid siap menghadapi itu?

Namun walaupun begitu, itu berarti peserta didik dalam jangka waktu wajib belajar 12 tahun tidak banyak mendapatkan materi tata bahasa Inggris. Padahal, keterampilan berbahasa mestinya mencakup reading (membaca), speaking (bicara), listening (mendengarkan), dan writing (menulis). Keempat-empatnya tentu perlu tuntas dalam waktu tersebut. Itu pun yang menjadi target pencapaian selama ini dan diujikan dalam ujian akhir. Ada baiknya jika target pencapaian itu tidak diubah, melainkan hanya mengubah cara pembelajaran. Kemampuan bicara berlebih tanpa diimbangi teori tata bahasa juga akan memunculkan anomali-anomali bahasa dan salah kaprah.

Tidak seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina yang  menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional (second language), Indonesia memposisikan bahasa ini sebagai bahasa asing (foreign language). Akibatnya, penguasaan bahasa ini lebih sulit karena pembelajarannya di sekolah tidak didukung oleh lingkungan di luar sekolah. Baiknya, para pendidik dan pemangku kebijakan sadar bahwa di dalam pembelajaran bahasa Inggris belum memenuhi target yang diimpikan. Masih banyak kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi guna mempersiapkan peserta didik menghadapi kompetisi global.

*Mahasiswa Pascasarjana PAI Unhasy Jombang.