sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Achmad Fathurrohman Rustandi*

Seluruh umat Islam meyakini bahwa Al Quran adalah kalam Allah sebagai sumber utama agama Islam. Tidak ada keraguan sedikit pun atasnya. Proses turunnya Al Quran hampir 23 tahun, selama masa kenabian Rasulullah Saw. Masa turunnya Al Quran sangat singkat, kurang dari seperempat abad, sedangkan Al Quran menjadi rujukan sampai Hari Kiamat. Sudah 14 abad Al Quran menjadi pedoman umat Islam. Ia yang diturunkan di Semenanjung Arab Saudi yang berbahasa Arab, sudah menyebar ke seluruh dunia. Awalnya tidak ada kesulitan bagi Muslim masa Nabi, karena seluruh masalah umat dan agama bisa ditanyakan langsung kepada Nabi.

Islam berkembang, pemeluknya beraneka dari berbagai bangsa dan bahasa. Teks Al Quran tetap sedangkan masalah yang dihadapi umat berkembang. Para sarjana Al Quran dibutuhkan untuk memahamkan pesan Al Quran ke berbagai kalangan. Para mufasir berusaha membumikan pesan Al Quran agar bisa dipahami seluruh umat Muslim. Berikut penulis sajikan beberapa jenis tafsir modern yang sangat membantu Muslim dalam memahami Kalam Tuhannya.

A. Tafsir Munir

  1. Biografi Singkat Syaikh Nawawi

Syaikh Nawawi bin Umar bin ‘Arabi lebih dikenal dengan Syaikh Nawawi Al-Bantani al-Jawi. Lahir di Tanara, Serang, Banten pada 1230 H/ 1813 M dan wafat di Ma’la, Makkah pada 25 Syawal 1314H/ 1897M dalam usia 84 tahun. Julukan yang biasa disematkan kepada beliau Sayyid Ulama Hijaz. Guru beliau yang paling terkenal Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Nawawi, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Hanbali. Beberapa muridnya yang paling berpengaruh adalah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Kholil Bangkalan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Metode Tafsir yang Dikenalkan & Cara Kerjanya

Tafsir yang ditulis Syaikh Nawawi Banten Marâh Labîd li Kasyf ma’nâ Qur’ân Majîd pada 1305 H dan diterbitkan di Mesir. Pada cetakan kedua tahun 1355 berubah nama menjadi al-Tafsîr al-Munîr li Ma`alim al-Tanzîl, nama kedua ini lebih familiar di Indonesia. Ada kemungkinan judul kedua ini disematkan oleh penerbit. Secara bahasa marah berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan persiapan berangkat lagi. Labid berarti berkumpul mengitari sesuatu. Marah Labid bisa berarti sarang burung, sebagai tempat tinggal yang nyaman. Syaikh Nawawi seolah ingin menjadikan tafsirnya sebagai rujukan dan tempat kembali bagi para Muslim untuk memahami Al Quran. Dalam mukaddimah karyanya ia mengatakan bahwa tafsirnya merujuk pada tafsir otoritatif seperti al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Mafâtîh al-Ghaib, al-Sirâj al-Munîr, Tanwîr al-Miqbâs, dan Irsyad al-`Aql al-Salîm. Sebagian peneliti seperti Mustamin meyakini ada pengaruh Tafsir Qurtubi, Tafsir Thabari, Tafsir Ibn Katsir, dan Dur al-Mastur li Suyuthi.[1]

Penulisan Tafsir Munir berawal dari permintaan para kolega, secara umum ia menggunakan metode tafsir ijmali, terkadang ia menggunakan metode tahlili, dengan mengupas makna ayat secara panjang lebar dan mendalam, metode ini sangat sedikit dipakai oleh Syaikh Nawawi. Ia berusaha menafsirkan dengan bahasa yang ringkas tapi tetap mencakup banyak hal. Syaikh Nawawi Banten mengawali setiap surat dengan keterangan surat Makkiyah atau Madaniyah, menyebutkan jumlah ayat, kalimat, dan huruf seperti kitab Al-Siraj al-Munir. Diawali juga dengan asbab al-nuzul. Tapi pola seperti ini tidak selalu sama, terkadag ia memulai dengan mengupas i’rab-nya, kadang juga dengan mengutip Hadis untuk menjelaskan makna ayat. Sepertinya ia menggabungkan tafsir bil ra’yi dengan tafsir bil ma’tsur. Terkadang menjelaskan suatu ayat dengan ayat lainnya.

  1. Metode Tafsir Al-Munir

Syaikh Nawawi juga sering mengomentari perbedaan qiro’at. Teknik interpretasi yang dilakukan Syaikh Nawawi tidak hanya interpretasi tekstual, tapi juga interpretasi linguistik, sosio-historis, kultural, dan logis.

Tafsir Munir adalah karya putra terbaik Indonesia berbahasa Arab. Buku ini cocok untuk pembaca Nusantara, karena kedalaman keilmuan penulis, yang menguasai disiplin ilmu fikih, kalam, bahasa, juga tasawuf yang memberikan warna baru dalam khazanah tafsir modern. Tafsir ini memudahkan pembaca, dengan analisis yang singkat, padat, dan jelas. 

B. Tafsir The Message of the Quran

  1. Biografi Muhammad Asad

Muhammad Asad lahir pada 2 Juli 1900 di Lwow (Lemberg), wafat pada 20 Februari 1992 di Marbella, Spanyol. Ia adalah seorang mualaf, nama terdahulunya adalah Leopold Weiss. Sebelum memeluk Islam ia beragama Yahudi, lahir dari keluarga rahib Yahudi. Sejak kecil ia sudah mempelajari kitab Yahudi Mishnah, Gemara, Targum, dan lain-lain. Pada usia 22 tahun Asad menjadi reporter harian Frankfurter Allgemeine Zeitung, dan surat kabar Eropa lainnya untuk liputan Timur Tengah. Muhammad Asad masuk Islam pada 1926. Setahun kemudian di Makkah ketika berbincang dengan Haji Agus Salim, ia diundang oleh Raja Ibn Saud, dan setelah itu menjadi sahabat karibnya. Ia juga bersahabat dengan Pangeran Faishal, Omar Mukhtar, Ahmad Sanusi, Muhammad Iqbal, bahkan pernah menjadi wakil negara Pakistan untuk PBB.

  1. Metode Tafsir yang Dikenalkan & Cara Kerjanya

The Message of the Quran merupakan tafsir ringkas, berbahasa Inggris, hampir seperti kumpulan catatan kaki yang diperluas. Tafsir ini cocok digunakan untuk mengaji sekaligus mengkaji secara bersamaan. Ringkasnya tafsir ini bukan berarti dangkal, ia merujuk pada tafsir otoritatif seperti tafsir al-Thabari, Ibn Katsir, Al-Kasyaf, Al-Razi, Al-Baghawi, Al-Baidhowi, Raghib Al-Isfahani, Al-Jauhari, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, dan masih banyak lainnya, untuk tafsir modern, Asad banyak mengambil dari Muhammad Abduh.

Tafsir ini ditulis dalam waktu yang lama, selama bertahun-tahun penelitiannya atas berbagai tafsir di atas. Muhammad Asad berusaha sedapat mungkin menjadikan tafsirnya rasional. Namun, bukan berati Asad seorang rasionalis ekstrem. Kesan yang diperoleh dalam membaca The Message yaitu ketelitian tingkat tinggi.

Penjelasan Asad atas konsep “yang gaib” sangat menarik, ia meyakini bahwa setiap orang yang beriman harus mempercayai ada suatu wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh akal dan panca indera manusia. Segala bidang atau tahapan realitas yang berada di luar jangkauan persepsi manusia dan karena itu, tidak dapat dibuktikan maupun disangkal oleh pengamatan ilmiah (sains), bahkan tidak dapat dimasukkan secara memadai ke dalam kategori umum dalam pemikiran spekulatif, misalnya keberadaan Tuhan, tujuan hakiki alam semesta, hidup setelah mati, hakikat waktu, kekuatan spiritual, dan sebagainya.

Namun, ia juga menegaskan kesalahan kebanyakan orang yang memahami yang gaib sebagai sesuatu yang tidak terlihat, mungkin juga yang berada di luar panca indera belaka. Asad berusaha menafsirkan peristiwa yang ada dalam Al Quran yang terkesan tidak empiris dengan cara menjelaskannya sesuai dengan pengalaman empiris. Dengan keyakinan bahwa yang mengatur alam empiris adalah hukum Allah (sunnatullah). Dalam hal ini, Asad adalah seorang naturalis, ia seperti melanjutkan gagasan Sayyid Ahmad Khan, yang percaya bahwa segala fenomena yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh hukum alam.

  1. Contoh Metode Tafsir the Message

Sebagai contoh, ketika menjelaskan tentang kisah terbelahnya Laut Merah dan penutupan kembalinya, Asad lebih menjelaskan sebagai fenomena pasang surut permukaan air laut yang biasa. Yakni ketika Nabi Musa a.s. lewat, permukaan air laut dalam keadaan surut. Sebaliknya, ketika Fir’aun dan tentaranya lewat, laut mengalami pasang. Asad meyakini mukjizat berkembang sesuai dengan perkembangan intelektualitas manusia. Pada masa Al Quran diturunkan, mukjizat berarti fenomena fisikal yang menyimpang dari kebiasaan, hanya sesuai untuk umat terdahulu dan tidak berlaku untuk saat ini.[2]

Tafsir Asad terasa sangat relevan dengan konteks kekinian, ia mengupayakan tafsirnya untuk dipahami dengan situasi dan kondisi kontemporer dan kebutuhan manusia modern. Ia menampilkan Al Quran “yang hidup”.

C. Tafsir Al-Mizan

  1. Biografi Singkat Muhammad Husain Thabathaba’i

Allamah Sayyed Muhammad Husain al-Thabathaba’i seperti dalam autobiografi singkatnya disebutkan lahir di Tabriz, Iran pada 1902, wafat 15 November 1981. Ia lahir dari keluarga keturunan Nabi Muhammad Saw yang selama empat belas generasi melahirkan intelektual terkemuka. Pada usia 20 tahun belajar di Universitas Syiah di Najaf, berguru langsung kepada Mirza Muhammad Husain al-Na’ini, Sayyed Abul Qasim Khansari. Ia juga belajar dari Sayyed Abu Hasan Silwah dan Aqa Ali Mudarris Zunusi di Universitas Teheran. Pada 1945 terjadi Perang Dunia II, pendudukan Rusia kepada Iran membuat Thabathaba’i harus hijrah ke Qum, kota pusat keagamaan di Iran. Di tempat inilah ia mulai mengajarkan Al Quran kepada ratusan mahasiswa, di mana kajian tafsir Al Quran kurang populer di Qum saat itu.

Setiap kamis malam ia memberikan kuliah filsafat. Hasil kuliah filsafat ini direkam dan dikomentari, dan diterbitkan oleh muridnya, Murtadho Muthahhari berjudul Ushuli Falsafah wa Rawisyi Ri’alism. Penulisan karya monumentalnya karena permintaan Kenneth W. Morgan, yang ingin menyuguhkan buku Syiah kepada pembaca Barat. Atas permintaan itu lahirlah Tafsir Al-Mizan yang diterbitkan dengan judul Al-Syi’ah fi al-Islam.

  1. Metode Tafsir dan Cara Kerjanya

Wacana yang diperjuangkan oleh Thabathaba’i yaitu mengedepankan gagasan filsafat dan spiritual Islam seperti gagasan Mulla Shadra dan menolak segala bentuk wacana materialistik yang mulai populer di banyak negara Islam. Ia mampu menggabungkan ilmu fikih dan tafsir dengan filsafat, teosofi, dan tasawuf.  Dalam Al-Mizan yang berjumlah dua puluh jilid, selain bernuansa filsafat juga bersifat hukum, teologi, mistik, sosial dan ilmiah, walau terkadang moderat dan polemis. Thabathaba’i terlihat sekali ingin menggeneralisasikan Syiah ketika menafsirkan ayat-ayat yang menurut kaum Syiah sendiri, berkenaan dengan pandangan ideologis kesyiahan mereka. Seperti dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 124, QS. Al-Nisa: 59, Al-Maidah: 3, 55, 67, Thabathaba’i menjelaskan panjang lebar berkaitan dengan kepemimpinan dalam Islam, yang mengacu pada konsep imamah dalam Islam.

Thabathaba’i meyakini bahwa seluruh ayat Al Quran bisa dipahami. Tidak terkecuali ayat mutasyabihat hal ini bertentangan dengan jumhur mufasir. Perbedaannya ayat muhkamat wajib diamalkan sedangkan mutasyabihat cukup dipahami saja, tidak wajib diamalkan. Ia juga meyakini bahwa ayat Al Quran memiliki makna lahir dan batin, keduanya tidak saling bertentangan, arti lahir seperti badan dan arti batin laksana rumahnya.  

  1. Contoh penerapan metodenya dalam menerapkan Al Quran

Thabathaba’i meyakini bahwa seluruh ayat Al Quran bisa dipahami. Tidak terkecuali ayat mutasyabihat hal ini bertentangan dengan jumhur mufasir. Ia menafsirkan QS. Al-Nisa [4]: 82, bahwa manusia diberikan potensi untuk memahami seluruh kandugnan Al Quran. Perbedaannya ayat muhkamat wajib diamalkan sedangkan mutasyabihat cukup dipahami saja, tidak wajib diamalkan. Ia juga meyakini bahwa ayat Al Quran memiliki makna lahir dan batin, keduanya tidak saling bertentangan, arti lahir seperti badan dan arti batin laksana rumahnya.[3]

Kandungan Tafsir al-Mizan dianggap sebagai tafsir dari Syiah yang paling otoritatif, karena keluasan ilmu penulisnya yang memberikan warna filsafat, tasawuf, fikih, kalam kepada tafsirnya. Ini yang membuat tafsir ini begitu kaya.

D. Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir

  1. Biografi Singkat Tahir Ibn Asyur

Muhammad Thahir ibn Asyur lahir di Tunisia pada 1296 H/ 1878M dan wafat di Tunisia pada 1393 H/ 1973 M. Ulama bermazhab fikih Maliki dan Asy’ariah dalam teologi. Seorang kepala mufti mazhab Maliki di Tunisia, dan salah seorang begawan ilmu di Tunisia. Pada 1931 ia sudah menjadi elite intelektual di Tunisia. Ia menjadi anggota lembaga bahasa di Mesir, anggota lembaga keilmuan internasional di Damaskus, ia terlibat aktif dalam pergerakan dan pengabdian di Tunisia. Dan juga menghabiskan umurnya dengan mengajar di Universitas Al-Zaitun.

Thahir ibn Asyur dikenal sebagai mufasir ahli linguistik, nahwu, sastra. Juga aktif sebagai dai, peneliti, penulis, dan pendidik yang karyanya tersebar di banyak institusi besar di Tunisia dan Mesir. Beberapa karyanya yang mendunia: Al-Tahrir wa al-Tanwir, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, Ushul al-Nidham al-Ijtima’i fi al-Islam, Ushul al-Insya’i fi al-Khitobah.[4]

  1. Metode Tafsir yang Dikenalkan & Cara Kerjanya

Nama lengkap kitab karya Ibn Asyur adalah Tahrir al-Ma’na al-Sadid wa Tanwir al-Aqli al-Jadid lebih dikenal dengan nama Al-Tahrir wa al-Tanwir. Tafsir tiga puluh juz ini dicetak dalam 15 jilid. Cetakan pertama diterbitkan di Kairo oleh ‘Isa Al-Babi al-Halabi pada 1384H/ 1964 M. Cetakan kedua diterbitkan di Tunisia oleh Al-Dar al-Tunisiah, dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia.

Tafsir ini salah satu tafsir modern yang paling menonjol di abad ke 14 hijriah. Pandangannya moderat, menggali hikmah dari berbagai mufasir dalam menggali makna ayat, dan banyak mengupas permasalahan yang tidak disentuh oleh kebanyakan mufasir, penulis terlihat mengoptimalkan pendekatan akal dalam memahami ayat Al Quran.

Ibn Asyur memulai tafsirnya dengan nama surat dan keutamaan membaca surat tersebut, urutan turunnya surat, menentukan turun surat sebelum dan sesudahnya, menjelaskan tujuan surat dan jumlah ayatnya, menyebutkan kandungan surat, lalu memulai menafsirkan ayat yang dipilih secara global lalu menafsirkan setiap fragmennya. Ia sangat memerhatikan kemukjizatan, balaghah bahasa Arab, penggunaan gaya bahasa, dan menjelaskan kesesuaian korelasi antarayat dalam tafsirnya.

Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir bersifat analitis, sastrawi, sosial kemasyarakatan, yang serius mengupas makna kosa-kata dalam bahasa Arab dari berbagai kamus bahasa. Ini memberikan pengayaan bagi diskursus tafsir di dunia. Tafsir ini mengolaborasikan antara manhaj salaf dan khalaf, tafsir yang kaya data dan luas makna, jenis tafsir penolong bagi para peneliti kajian tafsir yang tidak akan lekang oleh waktu.

E. Tafsir al-Maraghi

  1. Biografi Singkat Al-Maraghi

Nama lengkapnya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Musthofa Al-Maraghi, lahir pada 1300H/ 1883 M dan wafat pada 1371 H/ 1952 M. Bermazhab Syafi’i Asy’ari. Seorang mufasir, fakih, guru besar di Universitas Al-Azhar. Murid dari Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Wahid Ar-Rifa’i Al-Fayumi. Kita yang ditulisnya sangat banyak dan beragam, di antaranya: Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Ulum al-Balaghah, al-Diyanah wa al-Akhlaq, Buhuts wa Ara’ fi Funun al-Balaghah, dan Tafsir Al-Maraghi.

  1. Metode Tafsir yang Dikenalkan Al-Maraghi

Tafsir ini ditulis pada 1361 H sampai 1365 H. Terdiri dari 30 juz yang disusun dalam 10 Juz. Kitab ini pertama kali dicetak di Kairo pada Penerbit Al-Musthofa Al-Babi Al-Halabi pada 1369 H/ 1950 M. Dicetak juga di Beirut oleh penerbit Darut Ihya al-Turos al-Arabi pada 1985.

Metode Tafsir al-Maraghi, diawali dengan penyebutan nama surat, jumlah ayat, tempat turun, urutan turun, menjelaskan korelasi antarayat sebelumnya. Cara menafsirkannya ia membagi ayat secara parsial, setiap dua atau tiga ayat dijadikan satu bagian. Memulai menafsirkan ayatnya dengan menganalisis ayatnya. Memulai dengan menafsirkan secara global lalu menganalisis secara lebih mendalam. Lalu membagi tafsirnya dalam beberapa bagian, penjelasan kosa kata, makna global, penjelas, dan di akhir surat menerangkan tujuan surat. Menambahkan sabab nuzul ayat biasanya dengan tafsir bil ma’tsur.

Tafsir Al-Maraghi banyak mengutip pendapat beberap tafsir lain, di antaranya: Tafsir Thabari, Tafsir Al-Kasyaf al-Zamakhsyari, Tafsir Anwar al-Tanzil Al-Baidhowi, Tafsir Gharaib Al Quran al-Naisyaburi, Tafsir Ibn Katsir, Al-Bahr al-Muhith Abi Hayan, Ruh al-Ma’ani Al-Alusi, Al-Manar Rasyid Ridha, Tafsir Muhammad Abduh.[5]

  1. Cara Kerja & Penerapan Metode Tafsir Al-Maraghi

Tafsir al-Maraghi merupakan tafsir menyeluruh yang menjawab kebutuhan manusia pada zaman ini, dengan uslub bahasa yang indah sehingga mudah diterima, argumentasi yang dibangun memberikan kepuasan bagi pembacanya. Tafsir ini menjelaskan secara detail kosa kata/ lafadz yang sulit agar mudah dipahami oleh pembaca, lalu memberikan makna ayat yang dimaksud dengan redaksi yang ringkas. Ia juga menghindari kisah-kisah Israiliyat, dan mitos takhayul yang banyak berserakan entah disengaja atau kecolongan di beberapa kitab tafsir, serta menambahkan beberapa Hadis Rasulullah Saw., syair, pendapat ahli bahasa, dan ulama pada sebagian tafsirnya.

Dalam menafsirkah masalah fikih, ia merujuk empat mazhab tanpa menambah penjelasan rinci tentang hukum tersebut, tetapi tujuan utama tafsir ayat hukum yang terkandung di dalamnya tetap tersampaikan. Menyebutkan rahasia dan hikmah yang mungkin terkandung di dalam hukumnya dari sudut pandang sosial dan ilmiah. Dalam tafsir ini juga cukup dalam mengupas sains.

Tafsir Al-Maraghi dalam menjelaskan suatu ayat sangat mudah dipahami, tujuannya jelas, sesuai dengan kebutuhan pembaca yang ingin memahami ayat Al Quran. Tafsir yang cocok untuk zaman ini.


*Program Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ([email protected])


[1] Aan Farhani, Metode Penafsiran Syekh Nawawi Al-Bantani Dalam Tafsir Marah Labid, Jurnal Tafsere UIN Alaudin Makassar, vol. 1 no. 1 Tahun 2013

[2] Muhammad Asad, the Message of the Quran, (Bandung, Mizan, 2017), jilid 1, hal. Xix.

[3] Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2005), hal. 53.

[4] Sayyid Muhammad Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wizarat al-Tsaqafah al-Irsyad al-Islami), hal. 240- 246.

[5] Sayyid Muhammad Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wizarat al-Tsaqafah al-Irsyad al-Islami), hal. 357-363.