KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur)

Oleh: Al Fahrizal*

Pemahaman antara negara dan agama sering menjadi perdebatan yang tak berkesudahan, hampir menjadi polemik di setiap negara yang mayoritas masyarakatnya percaya akan adanya Tuhan. Puncak pemahaman antara negara dan agama yang berujung konflik, meletus di abad pertengahan Eropa, saat konflik perseteruan antara doktrin agama harus dipadukan dalam setiap kebijakan yang diambil oleh negara. Namun, perpaduan antara agama dan bangsa yang terjadi di Eropa kurang begitu harmonis, hingga masa-masa itu disebut sebagai masa kegelapan Eropa. Eropa sempat terpuruk dalam kejumudan berfikir. Hingga pada suatu hari, lahirlah para bintang (bahasa Ali Syariati) pemberani yang membawa kemajuan bagi Eropa, sampailah saat ini, dengan segala kemajuannya.

Di Indonesia, hal yang serupa juga sempat terjadi. Maksudnya ideologi perpaduan antara negara dan agama. Bedanya, konsep pemaduan ini adalah antara agama Islam dan negara, bukan Kristen dan negara. Perbedaan lainnya adalah Eropa gagal memadukan antara doktrin kristen dan konsep berbangsa, sedangkan Indonesia sampai sejauh ini, dianggap berhasil memadukan antara Islam dan Negara Indonesia. Namun, dibalik keberhasilan itu, juga banyak konsep perpaduan yang dianggap separatis. Maka, sempat muncul beberapa kali pemahaman bahwa Indonesia harus berdasar dan bersistem kepada Islam secara mutlak. Atau sederhananya, Indonesia harus menggunakan sistem khilafah, sistem yang kata sebagian golongan dianggap sebagai sistem Islam.

Salah satu konsep pemikiran cemerlang perpaduan antara negara dan agama adalah pemikiran KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur. Presiden ke-4 Republik Indonesia ini sangat lugas ketika berbicara tentang agama dan negara. Menjabat sebagai kepala pemerintahan membuat Gus Dur memahami arti negara secara matang, pun demikian background-nya sebagai seorang kiai dan tokoh pesantren, maka seluk-beluk kaidah yurisprudensi Islam (fikih) begitu ngelotok.

Syariat Islam sebagai ajaran yang berasas kepada konstitusi Al-Quran dan Al-Hadis yang secara praktik pengamalannya menuju kepada kemaslahatan umat. Semua hukum dan kebijakan dalam Islam tidaklah berarti apa-apa, kecuali untuk menjaga keharmonisan hidup di dunia, baik itu keharmonisan pokok; interaksi sesama manusia, atau keharmonisan penunjang; yaitu mengatur hubungan manusia dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Namun, Islam juga memberi tuntunan hukum, bagaimana layaknya manusia berurusan dengan Sang pencipta. Sederhananya, syariat Islam itu mengatur 2 hal. Pertama, urusan dengan Tuhan, atau lebih akrab dengan sebutan “ibadah”. Kedua, urusan sesama makhluk, atau dalam fikih menggunakan istilah “muamalah.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dilema konsep ideologi perpaduan antara Islam dan kehidupan bernegara, dalam hal ini Gus Dur sangat cermat membedakan antara urusan agama dan urusan negara. Bagi Gus Dur, hukum Islam di satu sisi dapat menerima kebutuhan akan perubahan yang mendasar terkait norma-norma hukum. Di sisi yang lain penerimaan atas kebutuhan itu senantiasa dikendalikan oleh batasan-batasan yang telah ditentukan bagi pengambilan hukum. Maka, Gus Dur memberi ruang pembatas antara ranah ibadah yang tidak dapat diganggu gugat, serta ruang muamalah yang dapat menyesuaikan sesuai karakteristik dan kebutuhan masyarakat  dengan batasan kaidah mencapai kemaslahatan. 

Misalnya, Salat lima waktu yang merupakan ruang Ibadah dalam Islam. Salat tidak dapat diganggu gugat, artinya itu merupakan ranah pribadi antara hamba dan Tuhannya. Dalam hal ini, situasi sosial tidak dapat mengatur urusan shalat setiap individu. Jika ditarik dalam konteks bernegara, negara malah harus menjamin hak individu tersebut untuk menjalankan ritual shalat. Namun, jika sudah menyentuh ranah muamalah, ini bisa disesuaikan dengan situasi sosial masyarakat, dan selagi tidak keluar dari koridor pokok ajaran Islam, yaitu menciptakan kemaslahatan. 

Jika ditarik dalam konteks bernegara, Indonesia yang merupakan negara dengan beragam agama hadir di dalamnya, sudah tepatlah Pancasila sebagai landasan bernegara dengan mengusung konsep demokrasi. Karena urusan bernegara merupakan ranah muamalah yang dapat berubah sesuai situasi dan kondisi masyarakat yang ada, dengan tetap memperhatikan bahwa konsep ini tidak keluar dari koridor Islam. Dan Pancasila tidak satupun bertentangan dengan Islam, bahkan yang merumuskan Pancasila itu sendiri juga ada dari kalangan ahli Islam. 

Akhir kalam, logika berfikir Gus Dur ini sejalan dengan teori hukum dalam kaidah Ahl as-Sunnah sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Muhammad Qasim al-Mansiy, dalam kitabnya yang berjudul Taghayyara azh-Zhuruf wa Atsaruhu fi Ikhtilafi al-Ahkam fi asy-Syariah al-Islamiyah.

نَلتَزِمُ بِمَا هُوَ ثَابِت ٌوَنَجتَهِدُ فِيمَا هُوَ مُتَغَيِّرٌ

Kami tetap berpegang teguh terhadap konsep-konsep yang tetap, dan kami berijtihad kepada konsep-konsep yang berubah.

Konsep yang tetap di sini maksudnya adalah ibadah-ibadah yang sudah ditentukan ketentuan pelaksanaannya dan berkaitan dengan Allah Swt. Kemudian, Ibadah atau urusan yang berkaitan dengan manusia (sosial) itu sering berubah dipengaruhi perkembangan zaman. Wallahu’alam.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.