sumber ilustrasi: gramediacom

Oleh: Al Fahrizal*

Beberapa jam belakangan, aku masih mengigau, bahwa ada dua orang pria yang belum pernah kulihat mukanya datang menemuiku. Aku melihat dalam mimpiku, seorang bersorban putih dan berjenggot pirang memberiku secarik kertas kuning tua bertuliskan huruf-huruf hijaiyah –seingatku– yang dirangkai dengan acak, tak berharokat, tak ada titik, dan tak dapat kubaca. Raut wajahnya tampak sangat bersahaja, seakan memancarkan cahaya. Kedua matanya juga tak kalah menarik, tatapannya sejuk dan menenangkan, muka yang setengah keriput itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya yang ditutupi jubah putih yang dikenakan, memberikan secarik kertas usang tersebut, lantas dari bibirnya tampak membacakan mantra-mantra aneh dan terakhir berucap selamat kepadaku. “Selamat, engkau akan menyambut tamu.” Aku tak begitu paham dengan ucapan lelaki tua itu. Apa yang dimaksud dengan ‘tamu’, siapa yang akan datang?

Di sebelah orang berjubah tadi, berdiri pria berbadan tegap dan berperawakan gagah, mengenakan setelan rapi, berjas hitam dan berkemeja putih yang sangat pas dengan bentuk tubuhnya, lehernya diikat dengan dasi berwarna merah yang terjulur masuk ke dalam belahan jas yang dikancing rapat. Celana hitam yang dikenakan terlihat seperti habis digosok dengan gosokan panas, sepatu hitam mengkilap, dan rambut yang disisir rapi ke belakang. Ia juga membawakanku sesuatu, sebuah pulpen hitam dengan lis warna emas mengitari pulpen itu, dari ujung ke ujung. Pria ini tak banyak bicara dan sangat tenang raut mukanya, ia hanya mengucapkan satu kata kepadaku, “selamat”  dan terus tersenyum. Keduanya melemparkan senyum, senyum yang sangat tulus dan penuh makna misterius.

Aku sangat bingung dan tak paham maksud dari kedua lelaki ini. Di tengah kebingungan yang sedang melanda pikiranku, tiba-tiba terdengar suara lonceng jam dinding tua di ruang tengah yang membuyarkan semua mimpi anehku. Aku langsung bangun dari tempat tidur, meraba-raba dinding papan coklat, melangkah perlahan di antara remang-remang lampu minyak di ruang tengah. Aku melirik jam tua itu dan jarum hitamnya menunjuk angka empat, artinya hampir Subuh. Segera aku beranjak ke garang untuk menghapus semua hawa tidur yang masih menempel di wajah. 

Ahh, air subuh memang selalu segar dan merontokkan lelah-penat yang terkandung di badan. “Nanti, engkau harus rajin bangun pagi ya sayang. Tidak ada orang hebat yang melewatkan waktu mahal ini,” bisikku sambil mengelus halus perut besarku ini. Sesudah selesai semua urusan di garang, aku segera kembali ke kamar untuk membangunkan suamiku yang masih terlelap. Mungkin ia terlalu penat, karena semalam demi memastikan diriku agar tetap aman dan tenang ia tidur larut hingga tengah malam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Usia tua kandungan harus banyak-banyak didampingi suami, sampai-sampai ia tidak pernah lagi berangkat ke kebon hampir tiga bulan. Semua urusan kebon diatur oleh adiknya yang masih bujang, Bejo. Bejo karena belum menikah, dengan suka rela membantu keluarga kami. Meski kadang Bejo tidak mau diupah, tapi aku selalu memaksa agar Bejo hendak menerimanya. 

“Jo! Bejo, kau itu masih bujang. Simpanlah ini buat biaya nikah dan segala tetek bengeknya nanti. Keringat nan jatuh, ada harganya Jo.” Bejo dengan berat hati menerima, dan selalu tergelak masam setiap aku tak sengaja berucap keadaannya yang tak kunjung menikah, alias betah membujang. Padahal kalau dilihat-lihat, Bejo termasuk lelaki yang rupawan, wajahnya yang putih kekuning-kuningan (khas Indo) bersih, diukir jambang tipis dan alis yang tebal. Tubuhnya yang tinggi berisi dan proporsional membuat wanita mana yang tak terpaut hatinya. Namun, Bejo tetaplah Bejo, anak muda yang masih menikmati masa sendirinya. 

Persis saat aku menyingkap hordeng pintu kamar, perutku terasa sakit mencekram. Nyeri di sebelah panggulku memaksa tubuhku sempoyongan dan berakhir tergeletak di lantai. Aku merasa sangat sulit untuk menarik nafas, sekujur tubuh terasa sakit dan kram. Suamiku yang mendengar suara terengah-engah keluar dari tenggorokanku langsung bangun, dan terlihat panik, ia segera membopongku ke atas dipan. Kaget bukan main, dengan keadaan yang masih setengah sadar ia berucap,

“Sebentar-sebentar… tahan sebentar ya sayang, aku panggilkan Mbah Ijah,” ujarnya dengan nada panik. Agaknya sirna semua rasa kantuk suamiku, berubah sudah menjadi tegang tak karuan.

Suamiku sangat paham keadaanku sekarang. Ia tahu bahwa usia kandunganku sudah genap, dan saat ini aku mungkin akan melahirkan. Suamiku tanpa pikir panjang, langsung berlari menerobos gelap, meloncat menuruni empat anak tangga rumah, lengkap dengan setelan tidur yang masih membalut tubuh; sarung kotak acak-acakan dan singlet lusuh kekuning-kuningan. Segera menarik sepeda ontel hitam setengah berkarat dari bawah rumah dan langsung mengendarainya. Kayuh demi kayuh menembus udara sejuk Subuh menuju rumah Mbah Ijah, dukun bersalin yang mewarisi keahlian secara turun-temurun dari nenek moyangnya. 

Jalan setapak bebatuan tak menghalangi laju sepeda tua itu, kanan-kiri jalan yang  masih sayup cahaya pelita bambu dan lampu strongking gantung warga desa, sedikit membantunya membelah gelap, semrawut wajahnya antara panik dan gembira, tahu istrinya tiba-tiba jatuh dan meringis kesakitan, atau mungkin juga hendak melahirkan si bungsu yang ditunggu-tunggu, karena usia hamilnya sudah cukup. 

Tarhim Subuh mulai menggema, nyeri dan kram tak kunjung hilang. Di tengah gelap, di antara remang-remang kuning cahaya lampu minyak kamar, rasa sakit dan nyeri ini sudah tidak tertahankan, aku mencoba untuk tetap tenang, perlahan-lahan menarik nafas dan menghembuskannya pelan-pelan. Namun, bayi yang aku kandung ini semakin memberontak kepada ibunya, seolah tak sabar untuk melihat dunia. Perlahan aku mencoba tetap tenang dan terus tarik nafas-hembuskan. Pengalaman melahirkan 2 orang saudaranya yang sedang tidur lelap di rumah nenek. Hufft, tarik nafas-hembuskan, terus berulang-ulang. Hingga akhirnya, aku menarik nafas panjang dan mulai mengejan perutku dengan sekuat tenaga, sakit setengah mati yang harus kulewati sendiri, karena suamiku tak kunjung datang bersama Mbah Ijah. 

Tepat ketika toa masjid menggemakan adzan Subuh, anak yang kukandung di dalam badanku selama sembilan bulan, kini berpisah dariku dan siap untuk hidup di dunia. 

“Oeeeek….” 

Tangis pertamanya menggema memenuhi sudut kamar menyelingi kumandang adzan yang sayup. Tangis itu pula yang menjatuhkan segala sakit tak tertahan barusan, menggantinya menjadi tetesan air mata bahagia. Akankah mimpiku semalam adalah pertanda akan hadirnya putra harapan. Inilah dia tamu itu. 

Aku merangkul bayiku yang masih merah ke dalam dekapan hangatku, suara nyaring tangisnya yang perlahan mereda, aku bersimpuh di atas dipan dengan wajah pucat bersama putraku. Tak berselang lama, suamiku datang bersama Mbah Ijah, raut mukanya yang sedari tadi panik, tambah kaget melihatku sudah bersama dengan anaknya. Kelahiran tanpa bantuan siapapun. 

“Yah, azankan.”

Mbah Ijah yang sudah siap dengan peralatannya langsung mengurus keadaanku. Tali pusar yang masih tersambung langsung dipotongnya dengan pisau tajam khusus persalinan, bayi mungil tersebut segera diambilnya dan dibersihkan, kemudian diserahkan kepada ayahnya untuk diazankan. 

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.