ilustrasi kitab

Dalam perjalanan mengawal perkembangan agama Islam, keilmuan hadis sangat berpengaruh di sektor krusial seperti pengambilan keputusan hukum atau peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh orang muslim mukallaf. Tidaklah sembarang orang yang bisa mengemukakan pendapat mengenai suatu hukum yang dihasilkan dari menelaah suatu hadis nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu juga dengan orang-orang (rawi) yang ikut berpartisipasi dalam penyebarluasan pesan suci baginda nabi ini bukanlah orang sembarangan.

Fenomena hadis palsu (yang sama sekali tidak pernah diucapkan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) membuat khawatir umat Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan seseorang berpartisipasi dalam periwayatan hadits, atau mereka berani berbohong atas nama baginda nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam demi kepentingan pribadi mereka ataupun kelompok yang mereka ikuti. Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam pernah berpesan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ التَّيْمِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَهُ مَرَّتَيْنِ وَقَالَ مَرَّةً مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا

Telah menceritakan kepada kami Yahya dari at-Taimi berkata; aku mendengar Anas berkata; Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” Beliau ulangi perkataan itu hingga dua kali, dalam kesempatan lain beliau mengatakan, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja.” [1]

Hadis maudhu’ (palsu) sebenarnya tidak layak untuk dikatakan sebagai hadis karena berlawanan dengan pengertian hadis, yaitu sesuatu yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan yang berasal nabi Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam. Selain hadis riwayat Imam Ahmad di atas yang menjadi warning bagi mereka yang berdusta atas nama nabi, pernah di lain waktu Rasulullah shallallhu alaihi wasallam memprediksi bahwa akan muncul sesorang yang berbohong atas dirinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ

“Akan ada di akhir zaman para pendusta dan penipu, mereka akan datang kepada kalian dengan hadis-hadis yang belum pernah kalian dengar, maupun nenek moyang kalian. Maka, berhati-hatilah kalian terhadap mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kalian, dan jangan sampai mereka menguji kalian.”[2]

Kemnunculan Hadis Palsu

Hadis di atas adalah prediksi nabi bahwasannya akan ada orang di masa depan yang akan membuat hadis palsu. Kemunculan hadis palsu bisa dibilang tidak bisa dipastikan kapan, banyak pendapat yang mengutarakan kapan hadis palsu itu muncul, Ahmad Amin berpendapat kalau hadis palsu muncul sejak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hidup. Hal ini berlandaskan hadis مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا sebagai bukti kalau pada zaman nabi sudah ada orang yang berbohong pada nabi.[3]

Tetapi Ahmad Amin tidak memberikan contoh seperti apa hadis palsu yang muncul pada zaman nabi hidup, ia hanya berargumen melalui dugaan yang tersirat saja menggunakan hadis tadi. Pendapat Ahmad Amin ini menurut Syuhudi Ismail tidak kuat untuk dijadikan dalil sebagai adanya pemalsuan hadis pada zaman nabi.[4]

Pendapat kedua, menganggap hanya hadis tentang duniawi saja yang dipalsukan pada zaman nabi sedangkan hadis palsu yang membahas akhirat dipalsukan setelah wafatnya nabi.[5] Pendapat tentang hadis duniawi saja yang dipalsukan menggunakan dalil sebuah peristiwa pada zaman nabi, ada seseorang yang pergi ke Madinah dengan mengaku-ngaku dapat mandat dari nabi, kemudian masyarakat mengonfirmasi kebenaran orang tersebut kepada nabi langsung dan ternyata dia bohong. Lalu nabi menyuruh untuk membunuh orang tersebut. Berikut teks hadisnya yang juga diriwayatkan oleh Imam Tahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar.

حَدَّثَنَا فَهْدٌ، حَدَّثَنَا الْحِمَّانِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، عَنْ صَالِحٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إلَى قَوْمٍ فِي جَانِبِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ: إنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنِي أَنْ أَحْكُمَ بِرَأْيِي فِيكُمْ فِي كَذَا , وَفِي كَذَا وَقَدْ كَانَ خَطَبَ امْرَأَةً مِنْهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبَوْا أَنْ يُزَوِّجُوهُ فَذَهَبَ حَتَّى نَزَلَ عَلَى الْمَرْأَةِ فَبَعَثَ الْقَوْمُ إلَى النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: ” كَذَبَ عَدُوُّ اللهِ ” ثُمَّ أَرْسَلَ رَجُلًا فَقَالَ: ” إنْ أَنْتَ وَجَدْتَهُ حَيًّا فَاضْرِبْ عُنُقَهُ وَمَا أُرَاكَ تَجِدُهُ حَيًّا , وَإِنْ وَجَدْتَهُ مَيِّتًا فَحَرِّقْهُ ” فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَوَجَدَهُ قَدْ لُدِغَ فَمَاتَ فَحَرَّقَهُ

Telah mengabarkan kepada kami Fahd, telah mengabarkan kepada kami Al-Himmani, telah mengabarkan kepada kami Ali dari Shalih, dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia berkata: Seorang lelaki datang kepada suatu kaum di sisi kota Madinah dan berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan saya untuk memutuskan dengan pendapat saya di antara kalian dalam hal ini dan hal itu. Dia melamar seorang wanita dari mereka di masa Jahiliyah, tetapi mereka menolak untuk menikahkannya. Maka dia pergi sampai dia menemui wanita tersebut dan kaum itu mengutus kepada Nabi , lalu beliau berkata: ‘Musuh Allah telah berdusta.’ Kemudian beliau mengutus seorang lelaki dan berkata: ‘Jika engkau menemukannya masih hidup, maka penggal lehernya, dan saya tidak melihat engkau akan menemukannya hidup. Dan jika engkau menemukannya sudah mati, maka bakar dia. Maka lelaki itu pergi dan mendapati bahwa dia telah dipatuk ular dan mati, lalu dia membakarnya.[6]

Pendapat ketiga, mengatakan kalau hadis palsu muncul ketika terjadinya fitnah kubra yaitu ketika terjadinya pergolakan antara sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Sayyidina Ali k.w.. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas sarjana hadis, karena memang banyak bukti yang muncul kalau hadis palsu mulai masif pada zaman itu. Alasan pada saat itu banyaknya hadis palsu bervariatif, ada yang berlandaskan fanatik kepada satu golongan (politik), teologi, membuat orang semakin zuhud, menerangkan keutamaan ayat Quran tertentu, dan lain-lain. (Syuhudi Ismail, 109).

Di antara contoh hadis palsu adalah:

يَا عَلِيُّ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ وَلِذُرِيَّتِكَ وَلِوَالِدَيْكَ وَلأَهْلِكَ وَلِشِيعَتِكَ وَلِمُحِبِّي شِيعَتِكَ

“Ya Ali, sesungguhnya Allah telah mengampuni kamu, serta keturunanmu, kedua orang tuamu, keluarga kamu, pengikutmu, dan orang-orang yang mencintai pengikutmu.”[7]

Hadis ini biasanya dipakai orang Syiah untuk mengagung-agungkan Sayyidina Ali k.w.. Sebagai contoh lagi ada hadis yang berbunyi:

جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بِوَرَقَةِ آسٍ أَخْضَرَ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا لاَ إِلَه إِلاَّ الله مُحَمَّد رَسُولُ اللَّهِ حُبُّ مُعَاوِيَةَ فَرْضٌ عَلَى عِبَادِي

Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan selembar daun pohon yang hijau, yang tertulis di atasnya: Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Cinta kepada Muawiyah adalah suatu kewajiban bagi hamba-hamba-Ku. (Ajjaaj Al-Khatib, 201)

Hadis ini digunakan oleh pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan untuk melegitimasi kepemimpinannya. Ada juga hadis palsu yang digunakan untuk melegitimasi madzhab tertentu dalam fikih yaitu:

يَكُونُ فِي أُمَّتِي رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ، أَضَرُّ عَلَى أُمَّتِي مِنْ إِبْلِيسَ، وَيَكُونُ فِي أُمَّتِي رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو حَنِيفَةَ، هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِي

Akan ada di umatku seorang lelaki yang disebut Muhammad bin Idris, ia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan ada di umatku seorang lelaki yang disebut Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku.[8]

Hadis di atas digunakan oleh sebagian pengikut madzhab Hanafiyah yang fanatik dan menganggap mazhab lain di luar mereka salah.

Kepastian kapan awal munculnya hadis palsu memang masih diperdebatkan. Kita sebagai umat muslim dituntut berhati-hati terhadap beredarnya hadis palsu ini, kita tidak boleh seenaknya mengabarkan kepada khalayak umum suatu hadis palsu tanpa adanya penjelasan tentang kepalsuan hadis tersebut. Maka seharusnya bagi umat muslim khusunya para da’i mengetahui hadis palsu, jangan sampai ia malah menjadi salah satu yang berpartisipasi dalam penyebaran hadis palsu di kalangan masyarakat.

Baca Juga: Cara Mendeteksi Hadis Palsu


[1] HR Imam Ahmad no 11711.

[2] Muqaddimah Sahih Muslim hadis no 7

[3] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Hindawi Kairo 2012, 231.

[4] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang Jakarta 2014, 108.

[5] Sholah ad-Din Ahmad al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matn, Muassadah Iqra’ al-Khairiyah Kairo, 2012, 51.

[6] Al-Tahawi, Syarh Musykil Al-Atsar, Mu’assasah Al-Risalah Beirut, 1994, 353.

[7] Muhammad Ajjaaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabl At-Tadwin, Dar al-Fikr Beirut, 1980, 1/199.

[8] As-Suyuti, Tadrib Ar-Rawi fi Sharh Taqrib An-Nawawi, Dar Taybah,  328/1.


Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng