Sumber gambar: https://alhadiy.com

Kitab ensiklopedia berjudul Al-Maus’’ah Al-‘Arabiyah Al-Muyassarah, sebagaimana dikutip oleh M. Tholhah Hasan, disebutkan bahwa ahlu al-sunnah wa al-jama’ah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari Nabi SAW dan membelanya. Mereka memiliki pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Di antara mereka ada yang disebut salaf, yaitu generasi awal: sahabat, tabi’in, dan tabi’u al-tabi’in, di antara mereka juga ada generasi khalaf, yaitu generasi yang datang kemudian/belakangan. Di antara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan di antara mereka ada juga yang toleransinya ketat terhadap peran akal. Di antara mereka ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan di antaranya lagi ada yang bersikap konservatif (muhafidzun).

Sedangkan menurut al-Syanwani, sebagaimana dikutip oleh KH. Hasyim Asy’ari bahwa yang dimaksud dengan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah adalah para pengikut imam kelompok al-Asy’ari dan para ulama madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Menurut Harun Nasution term ahlu al sunnah wa al jama’ah adalah golongan yang berpegang teguh pada sunah (hadits) dan merupakan kelompok mayoritas sebagai lawan dari kelompok Mu’tazilah yang minoritas.

Sedangkan menurut KH. Sa’id Aqil Siradj, ahlu al-sunnah wa al-jama’ah adalah “ma ana ‘alaihi wa ashabihi”, yaitu jalan yang Nabi SAW dan para sahabat tempuh. Hal ini berarti bahwa ahlu al-sunnah wa al-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran.

Keluarnya al Asy’ari dari Mu’tazilah adalah karena keraguan al Asy’ari dan ketidakpuasan intelektual al Asy’ari terhadap Mu’tazilah. Ketidakpuasan al Asy’ari ini berkaitan dengan pola pikir dan metodologi Mu’tazilah yang terlalu mengandalkan akal tanpa dukungan kecerahan wahyu atau nash. Keluarnya al Asy’ari dari Mu’tazilah juga disebabkan karena tragedi Mihnah. Di samping itu, saat dalam masa keraguan al Asy’ari mengasingkan diri (berkhalwat) selama 15 hari serta melakukan istikharah serta perenungan mendalam. Dalam pengasingannya tersebut, konon al Asy’ari bermimpi bertemu Nabi SAW dan diperintahkan untuk meninggalkan Mu’tazilah dan membela al Sunnah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Abu Mansur al Maturidi lahir di Maturid-Samarkand pada 859 M dan wafat pada 944 M. Dalam hal fikih, al-Maturidi adalah penganut madzhab Hanafi. Dia adalah murid dari Muhammad bin Muqatil al Razi (w. 248 H) dan murid dari Nushair bin Yahya al Balkhi (w.228 H). Al Maturidi memiliki hubungan nasab dengan sahabat Nabi SAW, yaitu Abu Ayub al Anshori.

Dalam doktrin al-Asy’ari ada beberapa hal, yaitu pertama, posisi akal (‘aql) dan nash (naql). Menurut al Asy’ari iman (‘aqidah) yang mantap haruslah berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Iman tanpa ilmu seperti orang yang lumpuh sedangkan ilmu tanpa iman seperti orang buta. Di samping itu, dalil-dalil naqli baru dapat dipahami dengan benar jika ditunjang oleh ilmu. Menurutnya “aqal dan naql bukanlah hal yang harus dipertentangkan tetapi ‘aqal seharusnya dipergunakan untuk memahami naql”.

Kedua, Al Asy’ari menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui sifat-sifat Allah yang berbeda dengan dzatnya.

Ketiga, al Asy’ari menolak faham Mu’tazilah tentang keadilan yang wajib bagi Allah. Menurut al Asy’ari kekuasaan Allah bersifat mutlak, sehingga tidak ada sesuatupun yang wajib bagi Allah. Sedangkan menurut Mu’tazilah, Allah berkewajiban mendatangkan yang baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Allah berkewajiban menurunkan lutf bagi manusia. Lutf adalah semua hal yang akan membawa manusia pada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat. Oleh karena itu, Allah berkewajiban menurunkan nabi atau rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.

Keempat, menurut al-Asy’ari orang yang melakukan dosa besar tidak serta merta menjadi golongan kafir, statusnya tetap mu’min namun karena dosa besarnya maka dia menjadi fasiq (durhaka), dan apabila sampai mati dia tidak bertaubat maka nasibnya terserah kepada Allah, apakah mau dimasukan kedalam surga karena kemurahan Allah atau dimasukan keneraka karena kedurhakaanya. Pendapat ini menjadi antiteas dari pendapat Mu’tazilah serta Khawarij bahwa pelaku dosa besar menjadi kafir karena perbuatan dosanya atau bukan kafir namun juga bukan mu’min (fi al-manzilah baina al-manzilatain).


Sumber:

Hasan, Muhammad Thalhah. Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Lantabora Press. 2005LP Ma’arif NU. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Ma’arif NU. 2007

Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986

Ridwan. Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004

Penulis:               Rif’atuz Zuhro

Publisher:            Farha Kamalia