Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan*
Imam al Ghazali memberikan tiga trik jitu untuk menjadi seorang zahid dalam kitab Minhajul Abidin. Pertama, tidak mencari-cari harta duniawi yang tidak dimilikinya. Kedua, mendermakan harta duniawi yang dimiliki. Ketiga, tidak mengharapkan datangnya harta duniawi.
KH. Muthahharun Afif selaku pengampuh pengajian Minhajul Abidin di Asrama Putra Ma’had Aly Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa “zuhud itu perlu latihan”. Ungkapan ini yang pernah diajarkan oleh KH. Ahyat Halimi pendiri Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin Mojokerto kepada beliau dulu.
Seseorang tidak akan bisa menjadi zahid secara instan. Latihan yang efisien untuk menjadi zahid adalah dengan cara membiasakan diri menjadi sosok yang dermawan. Maka, menurut Kiai Muthaharun, mendermakan harta adalah usaha yang tepat sebagai permulaan.
Zuhud itu tidak memandang sisi zahir seseorang, karena zuhud mengandung nilai “kesederhanaan murni”. Suatu nilai yang tidak dibatasi oleh faktor kepemilikian atas dunia. Seorang zahid bisa saja mempunyai harta melimpah, namun nilai kesederhanaan dalam dirinya membuat dia tidak terlena atas kepemilikannya tersebut.
Dari situ, Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa shalat dua rakaat seorang zahid yang alim lebih disukai oleh Allah daripada ibadah manusia lain yang dilakukan hingga akhir hayat secara terus-menerus. Perbandingan tersebut kiranya tidak berlebihan karena zuhud bukanlah hal sepeleh yang mudah dilakukan. Kalau boleh disimpulkan, penjelasan ini kita sebut dengan zahid kriteria pertama atau ijtihadi (mengingat ada usaha seorang hamba menuju Tuhan).
Berbeda dengan zahid kriteria pertama, zahid kriteria kedua adalah seseorang yang kondisi jiwanya dingin terhadap dunia (burudatud dunya bil qalbi). Zahid dalam kriteria ini ditandakan dengan kondisi hati dan benak pikiran yang tidak lagi terbesit akan keinginan duniawi. Kriteria ini disebut oleh Imam al Ghazali sebagai zuhud sejati yang kualitas ibadahnya sangat jauh dari manusia lain. Hanya lewat pilihan Allah saja seseorang dapat mencapai kriteria ini.
Kriteria kedua memang mutlak pemberian Allah, tetapi bukan berarti seseorang tidak bisa memperbesar kemungkinan “diberi” oleh-Nya. Dua kriteria di atas bisa dipertemukan, disambungkan dalam benang merah. Dalam artian, kriteria pertama merupakan pendahuluan dari kriteria kedua. Ketika seseorang telah mampu melengkapi tiga usaha pada kriteria pertama, dia akan mampu merasakan anugerah burudatud dunya dalam hatinya.
Anugerah burudatud dunya yang dikatakan oleh Ghazali sebagai zuhud sejati bukanlah nikmat sembarangan. Di saat seseorang sudah tidak terbesit hasrat duniawi, maka dia akan merasakan keluhuran sejati yang lebih membahagiakan daripada kesenangan-kesenangan duniawi. Akhirnya, semoga kita dapat merasakan anugerah tersebut. Amin.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
**Diolah dari pengajian Minhajul Abidin oleh KH. Drs. Muthoharun Afif, Lc., M.Hi.