
Salah satu sufi perempuan yang terkenal dengan karya terbesarnya terkait mahabbah yang diberikannya hanya untuk Allah SWT, adalah Rabiah al-Adawiyah. Jika melihat dalam dunia tasawuf, banyak yang mengenal Allah melalui dzikir dan wirid. Namun, dalam kaca mata Rabiah al-Adawiyah, ia menggunakan mahabbah sebagai wujud cinta yang hanya ditunjukkan kepada Allah semata.
Mengenal Lebih Dekat Sosok Rabiah Al-Adawiyah
Rabiah al-Adawiyah salah satu tokoh perempuan sufi paling terkenal dalam sejarah Islam. Nama lengkapnya adalah Rabiah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki kedalaman spiritual luar biasa dan kecintaan yang tulus kepada Allah.
Baca Juga: Kisah Rabi’ah al-Adawiyah dan Seorang Pencuri
Meskipun tidak ada bukti autentik mengenai kelahirannya secara pasti, namun dikatakan oleh beberapa cendekiawan seperti Harun Nasution, Abuddin Nata dan M. Mastury memperkirakan bahwa Rabiah lahir sekitar tahun 714 M, namun ada juga yang menyebutkan bahwa Rabiah lahir antara tahun 95 atau 99 H (713 atau 719 M) di Basrah, Irak.
Kehidupan yang Penuh Keimanan
Rabiah dilahirkan serta dibesarkan dari lingkungan keluarga miskin yang hidup dengan penuh akan ketakwaan. Keluarga yang tiada henti-hentinya untuk melafalkan dzikir, menjalankan ibadah dengan khusyuk dan senantiasa melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Sehingga, hal inilah yang membentuk Rabiah tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang salehah dan zuhud.
Kecerdasan Rabiah sudah tampak sejak ia usia dini. Ia sangat peka akan penderitaan yang dihadapi oleh orang tuanya. Meskipun keluarga Rabiah dalam kondisi seperti dihimpit keterbatasan, tidak pernah mengurangi pengabdian mereka kepada Allah.
Seperti yang dilakukan oleh ayahnya, Ismail. Rabiah kerap kali memperhatikan ayahnya setiap kali berdoa, berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Ayahnya begitu menjadi figur teladan bagi Rabiah. Dengan akhlak yang mulia, tidak jarang jika Rabiah selalu membangkitkan rasa kagum terhadap ayahnya. Karena kesalehan ayahnya lah yang menjadi sumber inspirasi untuk terus tumbuh dalam hati Rabiah.
Kecintaan Rabiah pada Kalam Ilahi dan Penjagaan Diri
Sejak kecil, Rabiah tumbuh menjadi gadis yang shalihah, cerdas dan rajin. Diceritakan bahwa berlandaskan cintanya kepada Al-Qur’an, Rabiah telah mengkhatamkan Al-Qur’an pada usia 10 tahun, sebuah pencapaian yang luar biasa dan menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu dan ibadah. Hal itu dapat dimaklumi karena Rabiah menyukai hafalan sehingga dalam menghafal ia sangat mahir dan cepat.
Ayah Ismail mendidik Rabiah dengan penuh kasih sayang namun juga bertindak tegas untuk menjaga akhlaknya. Sebagai figur ayah, Ismail selalu memastikan bahwa Rabiah tumbuh dalam perjalanan kehidupan yang sangat terjaga agar terhindar dari lingkungan yang tidak baik, yang dapat menjadi penghalang perkembangan spiritual dan batiniyah putrinya.
Membingkai Duka dalam Keteguhan Iman
Sepeninggalan kedua orangtuanya, Rabiah menjadi anak yatim piatu yang tidak mewarisi harta benda dari orang tuanya. Untuk melanjutkan kehidupan, Rabiah dan kakak-kakanya harus berjuang keras mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Baca Juga: Konsep Cinta Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah
Meski dalam himpitan hidup yang serba sulit, penuh keterbatasan dan penuh ujian. Rabiah tidak pernah kehilangan arah. Justru, kesulitan hidup yang dialaminya tidak pernah memadamkan kecintaannya terhadap Tuhannya, melainkan menjadi bahan bakar bagi jiwanya untuk terus membuat cintanya kepada Allah semakin tumbuh, mengakar dan menguat.
Rabiah menjadi sosok perempuan yang dalam menjalani kehidupan penuh dengan kesabaran keimanan yang tak tergoyahkan, dan menjadikan dirinya menjadi perempuan yang benar-benar mengabadikan hidupnya hanya untuk Allah semata.
Referensi: Azeez Naviel Malakain, Rabiah al-Adawiyah: Perjalanan dan Cinta Perempuan Sufi (Yogyakarta: C-Klik Media, 2024)
Penulis: Puput Nur Avita, Mahasantri Mahad Jami’ah Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.