sumber foto: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Para leluhur kita jauh sebelumnya telah meletakkan pondasi dan dasar tentang dasar-dasar persaudaraan, persamaan dan keadilan diantara sesama manusia.

Para nenek moyang dan leluhur kita adalah bersaudara dalam ketaatannya kepada Allah dan RasulNya. Mereka memusuhi orang yang layak dimusuhi dan durhaka kepada Allah, walaupun itu saudara bahkan bapak atau keluarganya sendiri.

Memusuhi disini dalam artian luas, “musuh” Allah yang harus disadarkan, dan diajak meraih hidayah Allah dengan cara didekati secara persuasif sehingga menjadi seperti yang Baginda Nabi lakukan. Musuh pun akhirnya takluk dan bertekuk lutut melihat perilaku dan akhlak Baginda Nabi. Ud’u ilaa Sabieli Rabbika bil Hikmati wal Mau’dhotil Hasanah.

Hakikatnya, semua manusia itu bersaudara. Karena sama-sama dari keturunan yang sama, yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Sesuai firman Allah SWT: Yaa Ayyuhannas innaa Khalaqnakum min Dzakarin wa Untsaa wa Ja’alnakum Syu’uuban wa Qaba-ila Li Ta’aarafuu, Inna Akramakum ‘Indallahi Atqaakum,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ayat diatas ini sangat tegas mengatakan bahwa hakikatnya, manusia itu punya kecenderungan yang sama yaitu bertaaruf, saling kenal satu sama lain, sehingga menjadi sebuah komunitas suku, bangsa, dan menjadi sebuah negara. Itulah hakikat kemanusiaan. Fitrah dan sunnatullah yang tak terbantahkan. Semuanya sama, punya kecenderungan yang sama pula.

Kalau menyangkut konteks ajaran keadilan dan akhlak. Para leluhur kita, para Ulama Salaf telah meletakkan pondasinya. Mereka itu punya sifat pemberani dan keluhuran cita-cita. Tidak terjebak dengan perbedaan-perbedaan bahasa, bahkan madzhab atau kenegaraan sekalipun.

Tidak ada doktrin-doktrin kebencian dan permusuhan, apalagi hanya karena perbedaan pemikiran madzhab dan manhaj. Sehingga apapun suku dan bangsanya, dari manapun asalnya entah itu dari Arab, Persia, Romawi, Hindia, Turki, Eropa bahkan Indonesia sekalipun. Semuanya sama dan saling mencintai satu sama lain, karena Allah “fillah”. Semua satu kata, hanya menegakkan kalimatullah hiyal ulya, wa kalimatus syaithan hiya al suflaa.

Sehingga, mereka itu berkhidmah kepada Islam itu secara murni dan ikhlas, bukan karena interes pribadi, kelompok-golongan atau maksud tertentu. Bukan pula hanya karena haus pujian dan nafsu duniawi.

Itulah yang dilakukan oleh mereka seperti Salman al Farisi, Suhaib ar Rumi, Bilal al Habsyi dan lainnya. Mereka ini benar-benar memberikan manfaat yang besar di dalam agama Islam. Membantu dan menolong agamanya dengan segala daya upaya dan kekuatan. Mendahulukan kemaslahatan-kemaslahatan islam di atas kepentingan-kepentingan pribadi, golongan, umat bahkan negaranya.

Mereka itu lebih melihat karena seruan Taqwallah wa Li Ta’atillah di atas kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Inilah yang dikatakan berkhidmat kepada Islam.

Wallahu A’lam


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


Disadur dari kitab Irsyadul Mukminin, karya Allahyarham Gus Ishom Tebuireng yang Legendaris.