Sumber gambar: https://addeans.blogspot.co.id/

Oleh: A. Fadzlur Rahman

Sebelum turunnya risalah Islam, masyarakat Quraisy atau yang dikenal ketika itu sebagai masyarakat Jahiiliyyah sebenarnya bukan masyarakat yang tidak mengenal konsep ketuhanan. Bahkan ketika Rasulullah menayakan kepada mereka, “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” mereka menjawab, “Allah yang menciptakan langit dan bumi.” Ini berarti, tidak ada perbedaan jawaban antara umat Islam sekarang dengan masyarakat Jahiiliyyah sekitar 15 abad yang lalu ketika muncul pertanyaan tentang penciptaan langit dan bumi.

Bahkan tentang ketuhanan Allah sebagai penguasa yang tidak ada tandingannya, masyarakat Jaahiliiyyah pun juga tidak menafikan itu. Meskipun ada berhala-berhala besar seperti patung Laata, ‘Uzzaa, Manaat, dan sekitar 357 berhala yang lain yang ada di sekitar Ka’bah ketika itu. Pernyataan mereka bahwa mereka tidak menyembah berhala-berhala itu kecuali hanya untuk mendekatkan diri mereka sedekat-dekatnya kepada “Allah” Tuhan yang sesungguhnya.

Ini membuktikan bahwa masyarakat yang disebut sebagai jahiliiyyah karena kerancuan konsep ketuhanannya masih mempunyai warisan beberapa aspek tentang konsep ketuhanan yang barangkali masih diwarisi dari risalah-risalah sebelumnya yang berlabel haniif. Singkatnya warisan yang dimaksud yaitu tauhid tentang Penciptaan (Yang Menciptakan Langit dan Bumi) dan Tauhid tentang Ketuhanan (bahwa Tuhan yang terbesar dan paling berkuasa tetap satu meskipun ada berhala-berhala yang dapat menjadi perantara).

Tetapi ada yang menjadi kekeliruan pokok dalam konsepsi tauhid tentang ritual peribadatan pada masyarakat Quraisy. Kritik dan bantahan terhadap ritual peribadatan ini tampak pada sejarah dakwah Nabi di Makkah yang konsen pada pembenahan tauhid terutama tauhid dalam ritual peribadatan. Laata, ‘Uzza, Manaat, dan patung-patung lain yang berkelamin perempuan sebagai sesembahan dibantah oleh risalah kenabian Muhammad sebagai penamaan dan sesembahan yang mengada-ada.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari masa waktu kurang lebih 13 tahun berdakwah di Mekkah (dikenal dengan periode Mekkah) tergolong lebih panjang ketimbang dakwah di Madinah (dikenal dengan periode Madinah) yang hanya sekitar 10 tahun. Padahal dalam periode Makkah dikenal sebagai dakwah yang memiliki fokus pada aspek akidah, pengesaan tuhan, terutama pengesaan tuhan dalam hal ritual ibadah sebagai fondasi ber-Islam. Maka wajar ketika Al Faruqi menyebut tauhid sebagai inti Islam dan inti pengalaman agama dalam bukunya “Tauhid” (Red: Isma’il Raji Al Faruqi).

Selain menyebut tauhid sebagai inti Islam dan pengalaman agama, Al Faruqi juga menyebut tauhid sebagai prinsip berbagai aspek. Prinsip itu meliputi tauhid sebagai prinsip sejarah, prinsip pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, dan yang terakhir prinsip estetika.

Tentang prinsip sejarah dan pembentukan kesadaran historis Al Faruqi dalam laporannya tentang Konferensi Islamisasi Pengetahuan yang diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul “Islamisasi Pengetahuan” menganggap penting materi sejarah dalam institusi pendidikan Islam terutama di perguruan tinggi. Maka disesi akhir dari laporannya itu, ditulis tentang rancangan diktat sejarah.

Sejarah menjadi aspek penting sebagai sarana melihat masa depan. Turunnya risalah Islam di Mekkah mendakwahkan tauhid terutama tauhid tentang peribadatan sebagai poin penting sampai 13 tahun sesudahnya. Ini berarti bahwa poin ini begitu urgen dan sangat menentukan kekuatan bangunan keislaman periode selanjutnya yaitu ketika di Madinah. Ini yang perlu disadari, bahwa agama Islam tidak akan mungkin terlepas dari intisarinya ketika pertama turun yaitu agama yang tauhid. Sehingga dari pondasi inilah, dalam sejarahnya Islam dikembangkan pada aspek-aspek yang lainnya seperti aspek pengetahuan, etika, tata sosial, politik, ekonomi, bahkan tata dunia.

Sejarah ini jugalah yang memungkinkan untuk membentuk kesadaran historis tentang mana yang Qath’iy dan mana yang Zanni, mana yang Ta’abbudi dan mana yang Ta’aqquli, mana yang Sakral dan yang mana yang Profan. Tauhid menjadi ketetapan yang qath’iy, ta’abbudi dan sakral tidak dapatdiganggu gugat. Tauhid ini yang menjadi fondasi untuk mengembangkan konsep Islam pada wilayah yang Zanni, Ta’aqquli, dan pada wilayah yang Profan.

Sehingga tauhid sebagai prinsip pengetahuan misalnya, karena prinsip tauhidnya, tidak akan pernah terjadi seorang sosiolog yang mengatakan bahwa agama adalah candu. Atau seorang psikolog yang berkesimpulan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi manusia yang menciptakan Tuhan dalam idenya. Atau seorang biolog yang berpendapat bahwa tidak ada penciptaan, semuanya hanya karena proses-proses kebetulan.

Sebaliknya, karena prinsip tauhid, ketika seorang ilmuwan menemukan teori sosiologinya, seorang psikolog menemukan teori psikologinya, atau seorang pakar biologi menemukan teorinya, dia mengatakan “Subhanallah, Engkau (Allah) tidak menciptakan ini dengan sia-sia.”

Dalam pendidikan, prinsip tauhid ini menjadi penentu keberhasilan karena tauhid adalah pondasi dari bangunan keislaman. Pendidikan dan pengajaran diniati sebagai sarana menzikirkan Allah melalui makhluk-makhluknya. Seiring bertambahnya berbagai pengetahuan dalam bidang apapun, maka bertambah pula iman. Proses pendidikan selalu dilalui dalam zikir kepada Allah, zikir dalam keadaan duduk, berdiri, bahkan ketika berbaring. Sehingga dari proses pendidikan yang tauhidik inilah selanjutnya akan terbentuk etika, estetika, tata sosial, keluarga, tata ekonomi, tata politik, ummah, bahkan tata dunia yang berprinsip pada tauhid.


*) Alumni UNHASY Tebuireng dan mahasiswa di Jurusan Pendidikan Bahaaa Arab Universitas Negeri Islam Sunan Malik Ibrahim