Oleh: Muhammad Abror Rosyidin*

KH. Muhammad Romli Tamim adalah salah satu putra dari empat putra Kiai Tamim Irsyad (seorang Kiai asal Bangkalan Madura). Keempat putra Kiai Tamim itu ialah Muhammad Fadlil, Siti Fatimah, Muhammad Romli Tamim, dan Umar Tamim. KH. Muhammad Romli Tamim lahir pada tahun 1888 di Bangkalan Madura.

Sejak masih kecil, beliau diboyong oleh orangtuanya, KH. Tamim Irsyad ke Peterongan Jombang. Di masa kecilnya, selain belajar ilmu dasar agama dan Al Qur’an kepada ayahnya sendiri juga belajar kepada kakak iparnya yaitu KH. Kholil (pembawa Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Rejoso). Setelah belajar agama dari keluarga sendiri, pemuda Romli berangkat menuju Madura untuk belajar kepada guru ayahnya, Saikhona Kholil Bangkalan. Disinilah Romli belajar banyak tentang agama. Ilmu alat nahwu-shorof dan tasawuf menjadi menu hidupnya sehari-hari.

Setelah dirasa cukup belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan, beliau melanjutkan belajar ke Pesantren Tebuireng langsung dibawah asuhan Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari. Usianya ketika itu adalah 25 tahun, usia yang cukup matang dan dewasa. Kealiman, kecerdasan dan ketawadhuan Kiai Romli membuat Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menaruh hati pada beliau. Akhirnya beliau diminta untuk mengajar para santri Tebuireng. Bahkan karena dianggap mumpuni dalam mengajar, Kiai Romli diangkat menjadi Lurah Pondok.

Pada tahun 1919 Kiai Romli melanjutkan belajarnya di tanah suci Mekkah selama satu tahun. Setelah kembali ke Tebuireng, gelar kiai melekat erat dalam nama beliau (Kiai Mohammad Romli Tamim). Setelah lama mengabdi, Kiai Romli diambil sebagai menantu oleh Kiai Hasyim yang dinikahkan dengan putri beliau, Nyai Izzah binti Hasyim pada tahun 1923 M. Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama. Nyai Izzah kemudian menikah lagi dengan Kyai Idris Kamali.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kiai Romli pulang ke rumah orang tuanya di Rejoso Peterongan. Disana bersama keponakannya, Kiai Dahlan Kholil. Kiai Romli dan Kiai Dahlan Kholil bahu-membahu mengembangkan Pondok Pesantren Darul Ulum pada tahun 1939. Tak lama kemudian Adik Kiai Dahlan, Kiai Ma’sum pulang dari Mekkah, terbentuklah istilah Tiga Serangkai Kiai Darul Ulum.

Kiai Romli Tamim adalah seorang kiai yang sangat alim, sabar, wara’, faqih, sufi murni, mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang. Di antara murid-murid beliau yang terkenal dan menjadi kiai besar ialah KH. Muhammad Abbas (Buntet Cirebon), KH. Muhammad Utsman Ishaq (Sawahpuluh Surabaya), KH. Shonhaji (Kebumen), KH. Imron Hamzah (Sidoarjo).

Disamping seorang mursyid, Kiai Romli juga produktif dalam menulis kitab. Di antara kitab-kitab karangan beliau ialah: al Istighotsah bi Hadrati Rabbi al Bariyyah, Tsamratu al Fikriyah, Risalah al Waqi’ah, dan Risalah ash Shalawat an Nariyah.

Beliau wafat di Rejoso pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H. atau tanggal 6 April 1958 M. Sebulan sebelum Kiai Romli meninggal, Darul Ulum sudah berduka dengan wafatnya Kiai Dahlan pada tanggal 16 Maret 1958 di usia 57 tahun. Tak cukup disitu saja, tahun 1961 Kiai Ma’sum Kholil menyusul kakak dan pamannya keharibaan Allah SWT. Dengan demikian tahun 1961 adalah akhir era kepemimpinan Tiga Serangkai Kiai Rejoso.

Kiprah Perjuangan Kiai Romli Tamim di NU

Tak banyak kisah yang didengungkan tentang kiprah Kiai Romli Tamim dalam perjuangan NU. Secara struktural mungkin ungkapan itu benar. Namun secara kultural sangatlah berdosa jika ungkapan itu disandarkan kepada ulama sekaliber Kiai Romli. Kebudayaan tarekat masyarakat NU di Jombang dan sekitarnya sebelum peradaban Cukir di bawah asuhan Kiai Adlan Aly, Rejoso sudah menjadi sentral perjuangan kaum tarekat.

Pesantren Darul Ulum didirikan oleh seorang ahli tarekat, yaitu Kiai Tamim Irsyad. Itulah kenapa tarekat menjadi ciri khas Pesantren Rejoso hingga sekarang. Tarekat yang dianut adalah aliran Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Sepeninggal Kiai Tamim, Kiai Cholil dan Kiai Romli Tamim, tradisi tarekat tetap dilestarikan dengan jama’ah yang tersebar di berbagai daerah.

Pada masa Kiai Romli, tarekat semakin berkembang dengan Jama’ah Kamisan. Sedangkan beliau sendiri adalah al Mursyid (imam dalam tarekat) yang disegani. Perjalanan sejarah Darul Ulum Rejoso yang lekat dengan tarekat menjadi daya tarik tersendiri bagi khazanah pesantren. Bahkan julukan pesantren tasawuf atau tarekat melekat pada ini.

Menciptakan Wirid Istighasah

Kata Istighatsah adalah bentuk masdar dari fi’il madli Istaghatsa yang berarti mohon pertolongan. Secara terminologis, Istighasah berarti bacaan wirid tertentu yang dibacakan untuk meminta pertolongan kepada Allah SWT atas segala problematika kehidupan yang dihadapi.

Di kalangan masyarakat khususnya kaum Nahdliyyin, istighatsah baru dikenal luas pada tahun 1990-an. Di Kalangan murid tarekat, khususnya Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam tradisi NU istighatsah menjadi salah satu ajaran yang diamalkan secara rutin dalam banyak kesempatan. Tak banyak yang tahu bahwa penyusun amalan fenomenal ini adalah Kiai Romli Tamim. Peran Kiai Romli tak bisa dipungkiri dalam khazanah tradisi ke-NU-an. Bahkan umat Islam seluruh Indonesia mengenal dan hafal bacaan wirid itu.

Susunan (tartib) istighasah terangkum dalam kitab karangan beliau “al-Istighatsah bi Hadrati Rabb al-Bariyyah” (tahun 1951). Kemudian pada tahun 1961 diterjemah ke dalam bahasa Jawa oleh putranya KH Musta’in Romli. Kiai Romli menyusun kitab ini tidak lain adalah dalam kapasitas sebagai seorang Mursyid tarekat besar. Namun agaknya terlalu remeh jika tujuan itu melatarbelakangi karangan beliau.

Penulis kira, ada tujuan besar dibalik istighosah. Geliat perkembangan dunia dan kemajuan teknologi tak pelak membuat manusia menjadi hedonis, komsumeris, dan statis. Untuk itu Kiai Romli mengajak umat muslim sejenak di tengah kemelut duniawi mengingat Allah dalam lantunan-lantunan dzikir yang beliau susun. Kaum Nahdliyin patut bertawasul secara khusyu’ pada Kiai Romli Tamim, sebab tarekat yang beliau kembangkan adalah oase di tengah panasnya dunia dengan berbagai kemelut duniawi.


* Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

**Pernah dimuat di Majalah Tebuireng Edisi 38.