Semenjak berdiri pada tahun 1899, Pesantren Tebuireng telah memberikan banyak warna dalam modernisme pendidikan pesantren di Indonesia. Dengan dibukanya sistem klasikal di Tebuireng merupakan sebuah langkah awal untuk memodernkan pendidikan pesantren.

Selanjutnya dengan ditambahkannya mata pelajaran umum pada kurikulum Madrasah Salafiyyah, dan dibukanya Madrasah Nidzomiyah, yang mana 70% pelajarannya merupakan pelajaran umum, sedangkan sisanya pelajaran agama. Ini merupakan terobosan baru di dunia pesantren, dan terobosan ini disetujui oleh Hadratussyaikh.

Bahwa dalam usaha menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang lebih modern, Pesantren Tebuireng telah berhasil menimbuni jurang perbedaan antara tradisionalisme dan modernisme; Tebuireng tidak pula mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kembali prinsip-prinsip dan doktrin Islam.

Dengan cara demikian, Tebuireng tidak membuang begitu saja tradisi keilmuan yang mendasar maupun praktik keagamaan masyarakat luas. Dengan demikian pengaruh Tebuireng tetap terpelihara di kalangan para penganut Islam tradisional, baik mereka yang dalam tingkatan cendekiawan maupun para pengikut awam.

Pengajaran pengetahuan umum di Tebuireng tidak menimbulkan gangguan terhadap usaha pesantren dalam memelihara doktrin-doktrin Islam tradisional. Dalam periode akhir kepimpinan KH. Yusuf Hasyim, beliau mendirikan lembaga kader Ulama, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dan di era Gus Sholah, beliau mendirikan Madrasah Diniyyah yang selanjutnya kurikulumnya diintergrasikan di KBM Sekolah. Serta beliau mendirikan Madrasah Muallimin yang 100% kurikulumnya berbasis kajian turast. Ini semua upaya untuk menjaga tradisi doktrin Islam tradisional.

Suatu saat ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa kedudukan ilmu agama di Tebuireng semakin terdesak oleh ilmu pengetahuan umum. Dikatakannya bahwa Pesantren Tebuireng kini lebih cenderung mendidik calon-calon insinyur, pengacara, dokter, dan lain-lain, dan tidak lagi mengutamakan pendidikan ulama.

Sore harinya (pada hari yang sama), Kiai Syansuri Badawi memberikan fatwa dalam pelantikan Pengurus Orda, di mana beliau dengan keras menolak pendapat ustadz tersebut, bahwa serangan itu didasarkan pada pandangan yang sempit, dan tidak didasarkan pada inti kepesantrenan yang sebenarnya:

“anak-anakku sekalian, engkau semuanya hendaknya menyadari bahwa pertama masalah pesantren adalah masalah dunia. Kita harus mengurusi perkara dunia kita seteliti dan sesegera mungkin. Jangan kamu menyerang atas dasar pandangan yang sempit. Selama ini pesantren telah menghasilkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang tinggi mutunya. Hal ini hanya bisa dicapai bila mana kita tahu persis apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat. Dari keinginan masyarakat itulah kini kita menentukan bahwa Pesantren Tebuireng harus mendidik anak-anak SMA yang kelak dapat meneruskan pendidikan mereka untuk menjadi insinyur, dokter, ahli hukum, tentara, dan sebagainya, yang mereka itu semua patuh kepada ajaran ajaran Islam. Usaha kita akan dinilai oleh Allah menurut niat yang kita tetapkan. Bila niat kita bagus, Allah akan membalas kita dengan pahala; tetapi sebaliknya, bila niat kita jelek, Allah akan menghukum kita.”

Kemudian Kiai Syamsuri mengutip sebuah kalimat yang ter tulis dalam Ta’lim al-muta’allim:

“Banyak perbuatan manusia yang tampaknya hanya bertalian dengan urusan-urusan duniawi, tetapi karena niatnya yang bagus, maka perbuatan tersebut diterima oleh Allah sebagai amal akhirat. Tetapi banyak pula perbuatan manusia yang tampaknya bertalian dengan urusan-urusan akhirat, tetapi karena disertai dengan niat yang buruk, maka Tuhan tidak memberinya pahala yang sama.”

Kiai Syansuri kemudian menerangkan lebih lanjut:

“Misalnya engkau seorang yang hafal Al-Qur’an. Kamu dapat mengumandangkan seluruh ayat-ayat suci Al-Qur’an tanpa melihat kepada tulisannya. Tetapi bila engkau membaca Qur’an di depan orang banyak karena mengharapkan balas jasa material, maka sebenarnya bacaan Al-Qur’anmu itu tidak berbeda dengan pekerjaan seorang buruh pabrik”.

“Niat kita bagus, kita kini sedang mendidik kaum muda agar mereka menguasai pengetahuan umum dan pengetahuan agama sehingga mereka nantinya mampu meneruskan pendidikan mereka di universitas-universitas negeri, tetapi pada waktu yang bersamaan mereka juga dididik agar mampu membaca kitab-kitab Islam klasik, dan ditanamkan pula agar terpanggil untuk menyebarkan Islam kepada masyarakat. Para santri yang demikian itu, bila kelak menyelesaikan pendidikan universitas dan kemudian memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan kantor-kantor lain, maka mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin yang baik karena mereka patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan melaksanakan kepemimpinannya itu menurut cara-cara Islam. Bukankah ini bagus?”

“Tentu saja kita tidak melupakan tugas kewajiban kita untuk mendidik para calon ulama. Itulah sebabnya kita tidak menghapuskan pengajian kitab-kitab; Tebuireng memberikan pengajian kitab-kitab yang cukup. Itulah sebabnya, kamu semua para santri hendaknya mengikuti pengajian dengan tekun. Kamu semua dikirim kemari oleh orang tuamu agar kamu menjadi orang yang pandai dalam soal soal agama. Jika kamu melupakan tugas kewajibanmu ini, lebih baik kamu pulang saja ke rumah”.

Jawaban Kiai Syansuri atas kritik yang diberikan oleh ustadz tersebut, dimana ia menggabungkan antara elemen-elemen tradisional dan modern, merupakan gaya Tebuireng.

Tabik,
Khodim Fordisaf
*Disarikan dari tulisan Zamkhasyari Dhofier dengan sedikit perubahan dan tambahan.