Kata orang hidup adalah pilihan, tetapi selama ini aku hanya dihadapkan pada satu keputusan.
Oleh: Rara Zarary*
Kata orang hidup selalu punya pilihan. Tetapi mengapa aku tak pernah berhak memilih? Kata orang setiap masalah akan selalu menemukan jalan keluar, mengapa sampai saat ini aku tak diberi jalan? Kata banyak orang kita akan dipertemukan dengan orang yang tepat dan akan membuat kita hidup lebih nikmat, mengapa aku tak melihat ada orang datang untuk menyelamatkan kehadiranku di dunia ini? kata orang, selalu kata orang dan aku hidup dengan kata orang-orang.
Sejak kecil aku hidup dengan kata orang. Kata ayahku, kata ibuku, kata tetanggaku, kata siapapun yang tak sadar telah menjadi jalan hidupku. Aku tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti kata diri sendiri. Setiap kali aku mencoba nekat keluar dari kebiasaan itu, saat itu juga orang-orang akan mengecam aku durhaka, orang-orang mengutuk aku akan menerima laknat, orang-orang akan mengasingkan aku dari kehidupan mereka. hingga hari ini, sebuah keputusan besar tentang kehidupan, juga diputuskan oleh orang lain, dan akulah yang bertanggung jawab menjalani dan menanggung beban yang tak pernah menjadi pilihanku itu.
“Sudah aku bilang, jangan keluar malam, tak usah kemana-mana. Kecelakaan yang terjadi ini karena ulahmu. Kamu harus bertanggung jawab atas kematian adikmu. Andai…” ibu melimpahkan segala kekacauan dan takdir yang menimpa adikku kepadaku, akulah pembunuh adikku sendiri, akulah yang paling dibenci atas kematian adikku sendiri.
Padahal aku juga orang yang paling kehilangan atas kematiannya, akulah orang yang paling terluka atas semua ini sebab hanya aku yang paling mengerti adikku, hanya aku yang paling bisa membuat adikku bahagia, itulah yang membuatnya malam itu nekad mengikuti langkahku, itulah yang membuatnya saat itu diam-diam keluar rumah hanya untuk menahanku pergi atau ikut aku pergi karena tak menemukan siapapun di sebuah bangunan yang kami sebut rumah itu.
“kak, kakak mau kemana kok mengemasi barang sebanyak ini?” perempuan mungil yang masih duduk di bangku SMP itu mendekati tempat aku duduk.
“gak kemana-mana sayang. Kakak hanya mau pergi sebentar.” Jawabku melempar senyum padanya. Malam itu, merupakan kali pertama aku melakukan sesuatu untuk mengikuti kata hatiku, yaitu keluar dari rumah. Aku mau ke kota, mau menghindari perjodohan, mau mencari pekerjaan, mau melanjutkan sekolah, mau bebas, aku mau menjadi diriku sendiri.
“udah pamit ibu dan ayah? Kok tumben boleh pergi?” aku terhenti melipat dan memasukkan baju-baju ke koper itu. Aku menatapnya.
“Adela sayang, sana tidur. Udah jam 10 loh, besok kamu masuk sekolah. Awas kesiangan.” Wajahnya cemberut. Aku memberi isyarat untuk dia pindah dari tempat duduk itu.
“aku mau cerita kak. Kakak masih bisa dengerin aku kan malam ini? bentar aja.” Rayunya seraya memegang tanganku.
“apa, ada apa? Hm yuk cerita.” Aku kembali memasukkan barang-barangku ke koper hingga muatannya penuh.
“nilaiku turun kak. Kemungkinan tidak akan dapat ranking lagi. kakak tahu kan apa yang akan terjadi kalau aku gak ranking?” dia menangis. Dia memegang erat lenganku. Mungkin, dia ingin aku membelanya jika nanti ayah dan ibu menyidangnya, dia berharap aku akan menguatkannya, akan melindunginya dari amukan ayah dan ibu. Yah, begitulah kami dididik. Kami harus selalu menjadi yang terbaik, kami harus menyelamatkan nama baik, kami harus jadi kebanggaan, kami tak boleh gagal, kami harus jadi orang paling pantas dipuji, kami tak boleh menjadi yang tidak menjadi keinginan mereka.
“kak, kakak mau kan bela aku? Kakak gak marah kan kalau nilaiku turun? Kakak tetap sayang aku kan?” dia memelukku dengan tangisan meledak. Bibirnya sampai gemetar, sepertinya dia sangat ketakuta, sangat tertekan dengan cara keluarga kami mengarahkan kehidupan.
“hei, Adela akan selalu menjadi kebanggaan kakak. Adela akan selalu kakak sayang. Tenang yaaa. Tugas Adela belajar yang tekun, sungguh dan jadilah pribadi yang baik. Nilai itu urusan akhir sayang.” Aku membalas peluknya, semoga ini lebih menenangkan.
“tapi ayah dan ibu tidak akan memaafkan kegagalanku ini kak.” Matanya menatap mataku, aku melihat ia begitu cemas.
“kalau boleh kakak tahu, apa yang membuat nila Adela turun? Sini cerita, nanti kita cari jalan keluarnya ya.” Kami mulai merapikan tempat duduk, kami saling berhadapan, dia memeluk boneka tedy dengan sangat erat.
“di kelas ada anak baru kak. Dia pindahan dari SMPN 1. Nilai-nilainya bagus, apalagi yang pelajaran menghitung, nyaris 100. Sedangkan aku 95. Dan banyak lagi nilai lainnya. Jadi sejak ada dia, nilaiku bisa ke urutan 4.” Dia bercerita penuh emosi.
“biasanya nilai kamu berapa di pelajaran itu?” aku mencoba bertanya lebih detail.
“nilainya 80-90.” Jawabnya singkat.
“wah keren dong. Itu tidak turun. Sekarang naik jadi 95. Iya kan? Terus kenapa kamu menganggap ini turun sayang?”
“iiiiih kan di urutan keempat kak. Sama aja gak bakal dapat ranking loh.” Dia tampak kesal. Mungkin dia menganggap aku tak paham, tapi bagiku dia sedang salah menafsirkan sebuah usaha dan proses hanya karena dirinya berada diurutan yang tak akan dinobatkan pemilik 3 siswa nilai terbaik.
“kamu sudah hebat. Nilaimu tinggi dan lebih bagus dari sebelumnya. Masalahnya hanya ada orang yang lebih tinggi dari kamu. Gapapa. Jadikan itu inspirasi untuk tambah semangat berjuang dan tambah rajin belajar, bukan malah nyerah dan mau putus asa, itu yang ga boleh.” Aku mengusap ubun-ubunnya, seperti yang biasa kulakukan untuk menangkannya. Ia mulai tersenyum.
“kakak, janji ya gak boleh jauh-jauh dari aku. Aku takut kalau gak ada kakak.” Aku mengangguk, senyumnya lebih lepas dari sebelumnya.
“sekarang, pindah ke kamarmu, istirahat besok harus bangun pagi.” Aku meminta ia untuk segera kembali dan aku bisa mempersiapkan diri untuk pergi lebih cepat.
“siap, kakak istirahat juga.” Ia loncat dari tempat tidurku. Ia melangkah ke luar kamar dan menutup pintu kamarku.
Setelah beberapa menit Adela keluar dari kamarku, saat itu juga aku bergegas untuk keluar rumah melalui pintu samping dekat dapur. Rumah sudah sepi, ayah dan ibu sudah istirahat sejak pukul 9 tadi. Aku merapikan kamar tidurku tanpa meninggalkan apapun termasuk sebuah pesan dalam surat yang biasa orang-orang lakukan saat mau meninggalkan tanpa harus berpamit langsung.
“kaaaak…!!!” suara teriakan itu menghentikan langkahku yang sudah berapa meter dari rumah. Suara Adela. Suara yang dihempas oleh mobil dan membuatnya tak berdaya di lorong tanpa cahaya lampu itu. Adela terbaring, suaranya tak ada, geraknya tak ada, tak ada apapun kecuali tubuhnya yang tergeletak dengan tangan memegang sebuah raport. Aku tidak bisa berkata apapun melihat kenyataan itu. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menanyakan ini ada apa? Dari mana dia tahu aku pergi? Mengapa dia mengejarku? Dan aaargggh!
“Adek! Bangun. Bangun dek!” tak ada respons apapun. aku menangis berteriak, aku lepas semua barang-barang yang kubawa. Aku gotong tubuh Adela menuju rumah. Tak ada siapapun di jalan raya itu, sepi sangat sepi, mobil yang menabraknya sudah tak bisa kujangkau untuk kuhentikan.
Waktu menunjukkan dini hari. Saat itulah ayah dan ibu semakin membenciku, menyalahkan aku atas kematian Adela. Mengutuk aku atas semua keburukan yang terjadi dalam keluargaku. Dan aku, aku hanya bisa diam, lebih terpenjara dari sebelum aku memilih untuk pergi dari rumah itu.
“kak, suatu saat kalau kakak udah mau menikah, tinggalnya di rumah ini saja ya. Adela gamau kakak pergi. Kak kalau kakak sedih, cerita ya, kakak gak boleh menangis, siapapun tidak boleh membuat kakak menangis. Kak, kalau nanti ayah dan ibu marah sama kakak, kakak boleh pergi dn tidak menghiraukan mereka dari pada kakak sakit hati dan aku ga bisa ketemu kakak lagi.” aku memeluk foto Adela di kamarnya.
Aku mengingat sangat hapal semua kata-kata yang pernah dia ucapkan. Tawanya, tangisnya. Jika kali ini ayah dan ibu menganggap kematiannya adalah karena aku, itu salah besar, sebab akulah yang palng mencintainya. Akulah orang yang paling dia cintai di rumah ini.
“Adela, kau sudah bahagia kan di sana? Kau tidak akan lagi merasa ketakutan. Kau tak akan takut tidak mendapatkan rangking. Kau tidak akan lelah karena selalu dimarahi ibu dan ayah. Tetapi Adela, kakak rindu, kakak merasa tambah sepi di sini.” Air mataku mebasahi figora itu.
Semua tentang Adela adalah pelajaran bagiku untuk lebih kuat, untuk aku bisa lebih bisa bertanggung jawab atas hidupku sendiri, untuk aku bisa mendengarkan juga sekaligus tidak atas semua perkataan permintaan orangtuaku termasuk perjodohan yang saat ini sedang mereka rencanakan.
Sejak Adela tak ada di rumah, aku jarang sekali tertawa, aku jarang berinteraksi dengan isi rumah ini termasuk ayah dan ibu. Tempat favoritku hanya kamar Adela, setelah itu aku lebih memilih tidur semalaman. Dan kali ini, aku memilih untuk benar-benar pergi dari rumah, untuk diriku, untuk kehidupanku.
Dear
Ayah dan Ibu tercinta
Kamila pamit pergi. Jika dengan pergi ibu dan ayah tak akan pernah lagi menanggung malu, tak akan sibuk dan pusing mendengar kata-kata tetangga, tak akan disulitkan dengan mencarikan aku jodoh.
Ayah, Ibu
Sejak kecil aku selalu menurut apa kata kalian. Aku selalu berusaha memahami kalian. Aku selalu berjuang untuk menjadi pemenang di setiap hal dan di mana pun. Aku telah melakukan semua itu, dan ternyata aku lelah. Aku lelah dan pernah jatuh sakit, tapi karena ayah dan ibu tak mau aku absen sekolah aku harus bangkit, bangun dan pura-pura baik-baik saja, demi agar kalian tak marah, agar tak kecewa, dan tak malu pada tetangga.
Tetapi, semakin ke sini Kamila sadar bahwa tak semua hal harus mendengarkan dan menurut kata orang lain, sampai kita lupa bahwa kita punya suara hati sendiri. Kamila minta maaf, bukan maksud durhaka, Kamila hanya tak ingin lebih buruk dari sekarang jika harus melawan kalian.
Kami, Kamila dan Adela sangat mencintai kalian. Kami juga ingin didengarkan, ditanyakan apakabar dan bercerita pada kalian, tapi sayang yang kalian inginkan adalah kami terus berjuang menjadi pemenang, dan lupa bahwa melalui proses itu kami jatuh bangun sendiri bahkan melawan banyak sekali ketakutan dan kekecewaan.
Ayah, Ibu
Sekali lagi, kami akan terus mencinta kalian.
Salam sayang,
Kamila Putri Nirmala.
Surat itu menjelaskan semua yang tak sempat kuutarakan melalu lisan. Sebuah surat yang akan mereka baca setelah bangun tidur dan menyadari bahwa aku sudah tidak di rumah itu lagi. aku memilih pergi, mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan aku bisa memilih, mengahadapi pilihan seperti yang pernah dilakukan oleh orang lain.
*Pegiat Pesantren Perempuan.