Ilustrasi-NU-Pulau-Sumatera
Ilustrasi NU Pulau Sumatera (Sutan)

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Bukan main, bedasarkan hasil survei, organisasi ini berada di urutan pertama antara ormas Islam dalam perolehan massa di Indonesia. Disusul oleh Muhammadiyah, kemudian ormas Islam lainnya. NU juga menjadi salah satu organisasi masyarakat di Indonesia yang berhasil bertahan hingga umur 1 abad. Ini juga merupakan fakta, bahwa organisasi ini tentu sudah sangat dewasa, karena telah ditempa oleh berbagai lika-liku, naik-turun, masalah, dan prestasi yang tidak terhitung berapa kalinya.

Bagi sebuah organisasi, komunitas, perhimpunan, atau apapun itu, bukan satu hal yang mudah mempertahankan masanya hingga menginjak usia 100 tahun. Namun yang jauh lebih penting dari pada menghitung angka tadi adalah tetap mempertahankan nilai-nilai yang terbungkus dalam kultur dan budayanya. Lagi-lagi NU berhasil menjawab hal tersebut, menurut pandangan penulis pribadi.

Melanglang buana sudah, bahkan ormas ini juga bercabang hingga mancanegara. Tetapi yang ingin disorot dalam tulisan ini adalah wajah NU di tanah Melayu, di seberang pulau, yakni Sumatera.

Sebagai putra daerah yang lahir dan berdarah asli Sumatera, saya dibesarkan oleh budaya Islam khasnya tanah Andalas. Dari kecil saya tidak kenal apa itu ormas Islam, -pun kebanyakan anak-anak Sumatera lainnya- perbedaan pandangan dan tata cara ibadah ala ormas tertentu. Yang saya tahu, saya Islam dan menjalankan kewajiban saya sebagai orang Islam, sesuai apa yang diajarkan orang tua dan guru-guru di madrasah. Inilah yang saya dan pandangan teman-teman sebaya saya dari daerah tempat saya berasal.

Hingga saat saya memutuskan untuk mondok di salah satu pesantren, yang juga tergabung dalam banomnya NU, Rabuthah Ma’ahid Islamiyah (RMI) saya baru mengenal ada yang namanya Nahdlatul Ulama. Lanjut ke perguruan tinggi, saya malah kuliah di kampus milik pesantren pendiri NU, Pesantren Tebuireng. Di sinilah saya bisa mengenal dan untuk pertama kali lebih sedikit dalam membaca NU.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mayoritas masyarakat Islam di Sumatera, khususnya tempat saya berasal, Jambi, memang tidak tergabung dalam organisasi besar ini secara struktural. Namun, dalam pelaksanaan ibadah, kultur beragama, atau bahkan aqidah bisa dikatakan sesuai dengan ahlussunah wal jamaah layaknya NU. Sehingga kemudian masyarakat tersebut diistilahkan dengan NU kultural.

NU di tanah Sumatera tetap eksis, akan tetapi perkembangan dan pergerakan tidak semasif dan seaktif di tanah kelahirannya, Jawa. Secara subjektif diamati, bahwa kultur beragama masyarakat yang tidak terlalu suka atau bahkan apatis terhadap polarisasi kelompok atau organisasi tertentu. Sehingga bagi mereka, ber-Islam cukup dengan Islam saja, sesuai dengan apa yang telah dipelajari dari tokoh-tokoh agama yang mayoritas berpaham ahlussunah wal jamaah sebagaimana NU, karena referensi para tokoh agama tersebut dalam mengajarkan Islam adalah kitab-kitab klasik pesantren. Inilah fenomena yang saya amati di mayoritas daerah.

Kebanyakan dari mereka sukar dibilang warga NU, tapi mereka NU secara kultur. Itulah keunikan dan barangkali dapat menjadi sesuatu yang berharga, karena tidak terjadi satu pandangan fanatik terhadap golongannya saja.

Kesukaran tersebut bukan tanpa alasan, tapi mereka melihat NU sebagai organisasi parsial Islam. Sehingga merasa bahwa NU adalah satu organisasi dari banyak organisasi Islam yang ada di Indonesia. Dari sini jugalah muncul berbagai spekulasi publik bahwa ada yang berpandangan NU sebagai ormas yang komitmen terhadap umat, tapi di sisi lain NU juga dipandang miring dan penuh kepentingan-kepentingan politik. Bagi saya itu satu hal yang wajar, karena paradigma mereka terhadap NU berawal dari konsumsi media massa. Dan media dengan sekelumit hal di dalamnya tidak selalu memberitakan hal yang baik saja mengenai NU, pun juga fitnah serta segala hal yang terjadi terhadap organisasi ini.

Maka dari sini, pokok yang ingin disampaikan lewat tulisan ini adalah bagaimana kita semua yang mengaku sebagai khidmat kader-kader ulama untuk senantiasa menjalankan dan menggerakkan organisasi besar manifes kiai-kiai kita, sesuai dengan tuntunan dan misi awal mereka semua, bahwa NU untuk bangsa dan agama. Tidak neko-neko, apalagi sampai menjadikan NU sebagai tunggangan kepentingan pribadi dan golongannya saja.

Karena apa yang ditangkap dan dipersepsikan oleh masyarakat NU kultural, seperti masyarakat yang ada di tanah kelahiran saya itu berdasar apa yang mereka dapatkan dari tindakan para khadim-khadim struktural NU. Mereka tidak kenal NU secara mendasar, maka jangan dirusak nama baik organisasi ini di hadapan mereka dengan tindakan-tindakan tercela khadim NU. Wallahu’alam.


Ditulis oleh Alfahrizal, mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari