Pandangan KH Hashyim Asy'ari terhadap Bidah dan Kebenaran Sawadul a'zham. Ilustrator: Iva
Pandangan KH Hashyim Asy’ari terhadap Bidah dan Kebenaran Sawadul a’zham. Ilustrator: Iva

Oleh: Muhammad Adib

Ahlusunnah wal jama’ah merupakan kelompok mayoritas terbesar di seluruh dunia. Namun, belakangan ini semakin menjamurnya kelompok yang merasa bahwa merekalah yang sebenarnya ahlu sunnah. Kaum muslimin yang lain dianggap ahlul bid’ah alias pelaku bid’ah. Mereka mempermasalahkan banyaknya amaliyah yang tak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dipraktikkan di zaman sekarang tanpa ada dalil yang khusus.

Qunut subuh dianggap bid’ah, zikir berjamaah bid’ah, salaman setelah shalat juga bid’ah, maulid tak ada dalilnya, yasinan tak pernah dipraktikkan para sahabat, tahlilan apalagi, semuanya dihukumi bid’ah. Ujung-ujungnya kembali pada hadis yang dipahami secara tekstual“kullu bid’atin dholalah wa kulla dholalatin finnaar”. Padahal ulama salaf seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani dan ulama madzhab lainnya jelas membagi bid’ah menjadi 2, 3 bahkan menjadi 5 bagian.

Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng sekaligus Pendiri Al-Jam’iyyah Nahdatul Ulama (NU) memberikan panduan terkhusus bagi warga NU dan umat Islam pada umumnya sebuah kitab penangkal bid’ah-isme (suatu paham sekelompok kecil manusia yang gampang membid’ahkan dan memberikan stempel sesat pada saudaranya sesama muslim). Kitab tersebut adalah Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, kitab aslinya Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jamaah: fii hadits al-mauta wa asyrath al-sa’at wa bayan mafhum al-sunnah wa al-bid’ah.

Kitab ini berisi kumpulan hadits-hadits tentang kematian, tanda-tanda hari kiamat dan pemahaman mengenai sunnah dan bid’ah. Ada 10 pasal yang dijelaskan oleh Syekh Hasyim Asy’ari secara rinci dilengkapi dengan amaliyah warga NU dan mayoritas masyarakat nusantara beserta dalil-dalilnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pandangan KH Hasyim Asy’ari mengenai Bid’ah

KH. Hasyim Asy’ari mengutip pendapat dari Syekh Zaruq dalam kitab Uddatul Murid yang mengatakan bahwa bid’ah secara syari’ah berarti suatu perkara baru dalam agama yang menyerupai agama tersebut padahal bukan bagian dari ajaran agama baik dari segi bentuk maupun hakikatnya.

Hadits berikut merupakan hadits umum tentang bid’ah yang sering kita dengar:

مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama kami, maka hal tersebut tertolak”. (HR. Al-Bukhari & Muslim)

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

“Dan setiap perkara baru adalah bid’ah”. (HR. Ibnu Majah & An-Nasa’i)

Para ulama menerangkan bahwa hadis di atas bergantung pada keyakinan seseorang dalam meyakini suatu amalan. Apakah amalan tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah atau malah sebaliknya. Apabila amalan tersebut masih memiliki landasan ushul (pokok) atau contoh furu’ (cabang), maka boleh dijadikan qiyas terhadap amalan tersebut. Hadratussyaikh yang lahir di pesantren Gedang, Tambakrejo 14 Februari 1871, Jombang Utara ini juga mengutip 3 poin penting dari Syekh Zaruq terkait perkara bid’ah yaitu:

  1. Hadits tersebut harus diteliti (tahqiq) terlebih dahulu. Apabila di dalamnya mengandung prinsip-prinsip syari’at dan memiliki landasan ushul-nya, maka hal ini tidaklah disebut bid’ah. Sebaliknya jika di dalamnya tidak ditemukan pokok-pokok syari’at, berarti dapat disimpulkan bathil dan sesat. Apabila dalil hadits tersebut masih samar-samar, maka perlu penelitian lanjutan untuk menyelidiki unsur apa yang lebih dominan didalamnya. Lebih condong ke arah sunnah atau bid’ah.
  2. Memperhatikan pendapat dan amalan para ulama salaf. Jika memiliki landasan ushul maka perkara baru tersebut dapat diterima, jika tidak maka tertolak. Apabila terjadi perselisihan diantara para ulama terkait mana yang ushul atau furu’, maka dikembalikan pada dalil ushul.
  3. Menakar amalan tersebut dalam timbangan hukum yang 6 (wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf aula dan mubah). Jika amalan tersebut tidak dapat diidentifikasi sesuai dengan ke-6 hukum ini maka termasuk dalam kategori bid’ah.

Ada 3 jenis pembagian bid’ah menurut Syekh Zaruq yaitu bid’ah sharihah, bid’ah idhafi dan bid’ah khilafi. Pertama, bid’ah sharihah adalah amalan yang dikerjakan tanpa ada dalil syari’ah entah itu wajib, makruh, mubah dan lainnya. Jenis bid’ah ini merupakan seburuk-buruk bid’ah.

Kedua, bid’ah idhafi adalah amalan yang terbebas dari unsur bid’ah namun tidak bisa diperdebatkan amalan tersebut apakah termasuk sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi adalah amalan yang memiliki dalil yang seimbang. Satu sisi terlihat bid’ah namun di sisi lain juga tergolong sunnah, seperti kasus zikir berjamaah.

Tidak semua amalan yang dikerjakan para sahabat dan ulama salaf yang tidak dipraktikkan Rasulullah merupakan bid’ah. Para sahabat rasul saja banyak melakukan perkara bid’ah seperti bid’ahnya do’a iftitah (Allahu akbar kabiiraa…) buatan seorang sahabat yang ia bacakan saat sedang shalat bersama Rasulullah, doa-doa khusus buatan para sahabat di dalam shalat, shalat sunnah wudhu Abdullah bin Mas’ud, Khalid bin Walid yang memakan dhab (biawak), shalat tarawih berjamaah yang dipelopori khalifah Umar bin Khattab, pengumpulan mushaf Al-Quran pada masa khalifah Utsman bin Affan, lantunan azan jum’at dua kali, shalat dua raka’at sebelum dibunuh. Apakah ini semua termasuk bid’ah? Bukankah nabi tak pernah mencontohkan semasa hidupnya?

Ulama selevel Imam Ahmad bin Hanbal juga tercatat melakukan amaliyah bid’ah seperti mendoakan Imam Syafi’i 40 tahun lamanya, shalat tahajud 300 rakaat setiap malam pada waktu sehat dan 150 raka’at pada waktu ditimpa sakit. Belum lagi di zaman sekarang ini terdapat bid’ah yang dilakukan seperti mendirikan pondok pesantren, rumah tahfidz, sekolah-sekolah Islam dan masih banyak lagi lainnya.

Pernahkah perkara ini semua dilakukan nabi? Apakah berarti para sahabat dan imam madzhab pelaku bid’ah? Tentu tidak. Sebaliknya pula tidak semua perkara yang mereka tinggalkan dianggap sunnah dan terpuji. Pasti ada alasan tersendiri mengapa para ulama salaf melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan.

Dalil bahwa Bid’ah itu Dapat Dibagi

Rasul ﷺ bersabda:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا.

“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”. (HR. Muslim & Ibnu Majah).

Dalil ini merupakan dalil khusus dari kullu bid’atin. Seandainya jika memang semua bid’ah itu sesat dan tak bisa dibagi maka akan memunculkan banyak pertanyaan. Pertama, apakah ada sunnah atau amalan dari Rasulullah yang sayyiah/dholalah? Jika memang iya, berarti tak semua sunnah Rasulullah itu baik dan boleh kita kerjakan. Kedua, jika memang bid’ah tak bisa dibagi, maka kenapa bisa muncul hadis ini? Seharusnya hadits ini tak pernah ada karena semua sunnah Rasulullah pasti baik. Ketiga, Imam Syafi’i dan imam mazhab lainnya membagi bid’ah, apakah mereka tidak mengetahui adanya hadis ini? Aswaja jelas meyakini bahwa bid’ah dapat dibagi layaknya pendapat Mbah Hasyim.

Sawadul A’zham Tidak akan Tersesat

Pada Pasal III, KH. Hasyim Asy’ari menerangkan bahwa aswaja merupakan golongan yang benar dan mayoritas, bahkan para ulama di bumi ini mengikuti aqidahnya Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Aswaja merupakan ahlul haqq atau kelompok yang berada dalam kebenaran, golongan yang selamat dan dijamin Rasul tak akan tersesat sebagaimana hadits:

اِنَّ اللهَ لاَيَجْمَعُ اُمَّتِىْ عَلَى ضَلاَلَةٍ، وَيَدُ اللهِ عَلَى اْلجَمَاعَةِ ، مَنْ شَذَّ شَذَّ اِلَى النَّارِ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan, pertolongan Allah akan diberikan kepada jama’ah, dan orang yang keluar dari jama’ah maka akan berada dalam neraka seorang diri”. (HR. At-Tirmidzi).

Dalam hadits Imam An-Nasa’i terdapat redaksi matan sebagai berikut:

إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ

“Sesungguhnya umatku tak akan berkumpul dalam kesesatan, apabila kalian melihat perselisihan (perbedaan) maka ikutilah sawadul a’zham (golongan mayoritas)”.

Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad juga menerangkan hadits:

اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى

“Dua lebih baik dari satu. Tiga lebih baik dari dua. Empat lagi baik dari tiga. Hendaklah kamu dengan jama’ah (mayoritas), kerana Allah SWT tidak akan menghimpunkan umatku kecuali atas petunjuk” (HR. Ahmad)

Aswaja adalah satu-satunya golongan yang benar dan selamat dari 73 golongan yang sudah diramalkan nabi, maka dari itu tetaplah berpegang pada ajaran ahlu sunnah wal jama’ah. Wallahu a’lam.


Baca Juga: Membangun Karakter Santri dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah