ngaji ramadan
KH. Kamuli Chudlori saat membaca kitab shahih bukhori di pengajian ramadan tahun kemarin.

Hadis telah disepakati jumhur ulama sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Terkadang, bagi orang awam, dalam memahami hadis masih ada kebingungan. Hal ini dikarenakan minimnya komponen-komponen ilmu yang harus dimiliki ketika akan memahami suatu teks hadis.  Di samping itu, tidak semua teks hadis bisa dipahami seketika setelah membacanya  secara utuh. Tentu, hal ini telah lama menjadi problem guna memahami sebuah hadis.

Dalam perannya, terkadang hadis ketika dicoba untuk dipahami ia tidak berdiri sendiri, kadang ia menjadi penjelas bagi ayat al-Quran yang masih global keterangannya. Karena salah satu fungsi hadis nabi ialah membantu untuk menjelaskan keterangan dalam al-Quran. Hal ini pernah disinggung oleh Imam Auza’i dalam pernyataannya:

قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: “الْكِتَابُ أَحْوَجُ إِلَى السُّنَّةِ مِنَ السُّنَّةِ إِلَى الْكِتَاب[1]

Kitab (al-Qur’an) itu lebih membutuhkan Sunnah (hadis) daripada Sunnah membutuhkan kitab.

Dalam disiplin ilmu al-Quran, ada sebuah cabang ilmu yang dinamakan ilmu asbabun nuzul atau ilmu yang membahas latar belakang turunnya ayat al-Quran. Fungsi dari asbabun nuzul ini ialah sebagai pijakan ketika seorang mujtahid melakukan istinbath (memetik/menggali) hukum menggunakan al-Quran. Karena dengan mengetahui latar belakang diturunkannya ayat tersebut, mujtahid bisa memadukan atau mengoneksikan konteks di mana ayat tersebut turun dengan problem di masa sekarang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sedangkan dalam disiplin ilmu hadis, ada sebuah cabang ilmu yang dinamakan asbabul wurud. Hematnya, pengertian asbabul wurud ini kurang lebih sama dengan asbabun nuzul tetapi obyeknya adalah hadis, dan fungsinya sama dengan asbabun nuzul yaitu sebagai pijakan seorang mujtahid ketika istinbath menggunakan hadis.

Urgensi ilmu asbabul wurud ini sangat krusial, karena dengan menguasainya kita bisa mengetahui konteks hadis ketika diucapkan oleh Rasulullah SAW. Dari situ ulama merumuskan beberapa fungsi dari asbabul wurud.[2]

Fungsi asbabul wurud sebagai berikut:

  • تخصيص العام (Pengkhususan terhadap Pernyataan Umum)

Contoh:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:صَلَاةُ الْقَاعِدِ نِصْفُ صَلَاةِ الْقَائِمِ

Artinya : “Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Shalat dengan duduk (pahalanya) separuh salat berdiri“.[3]

Hadis ini seakan-akan bermaksud kepada semua orang shalat, tapi jika dilihat dari asbabul wurud-nya hadis ini dimaksudkan kepada penduduk Madinah yang terkena wabah dan mereka mengerjakan shalat (nafilah/sunnah) dengan duduk.

Beda halnya dengan orang yang mampu untuk berdiri ketika shalat fardhu, maka ia tetap wajib shalat dengan berdiri.

  • تقييد المطلق (Membatasi yang Mutlak)

Contoh:

 عَنِ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

Artinya: “Dari Al Mundzir bin Jarir dari Bapaknya, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang membuat suatu sunnah (tradisi) yang baik, kemudian sunnah tersebut dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat suatu sunah yang buruk, kemudian sunah tersebut dikerjakan, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.”

Hadis ini bermaksud kepada sahabat Ansar yang menyedekahkan sedikit hartanya kepada saudagar yang sedang mampir di Madinah setelah mendengarkan pidato dari Rasulullah SAW tentang takwa kepada Allah.

Kemudian perilaku salah satu sahabat Ansar ini diikuti oleh sahabat lainnya, kemudian Rasulullah SAW bersabda demikian, jadi yang dimaksud sunnah di sini adalah tradisi yang baik.

  • تفصيل المجمل (Memberi Perincian terhadap yang Global)

Contoh : seperti ayat Al-Quran tentang hukuman potong tangan bagi pencuri

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [المائدة:38]

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Dalam ayat ini masih belum dijelaskan tentang tipikal pencuri yang akan dipotong tangannya. Dalam sebuah hadis diterangkan, kalau Rasulullah SAW pernah memotong tangan seorang pencuri dengan alasan barang curian tersebut berupa perisai yang harganya tiga dirham:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhuma; Rasulullah memotong tangan pencuri karena mencuri perisai yang harganya tiga dirham.[4]

Hadis di atas dapat dipahami bahwa nabi Muhammad tidak serta merta memotong tangan seorang pencuri kecuali telah memenuhi syarat tertentu, lalu ada hadis lain yang menjelaskan tentang kriteria pencuri yang akan dipotong tangannya yaitu hadis yang diriwayatkan Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِينَارٍ

Dari ‘Aisyah dari Nabi bersabda, “Tangan pencuri dipotong jika curian senilai seperempat dinar.”[5]

Jadi dalam ayat dalam surat al-Maidah tadi tidak serta merta sembarangan diterapkan kepada pencuri, jika diterapkan maka harus memenuhi syarat-syaratnya.

  • Menjelaskan tentang Adanya Naskh–Mansukh

Contoh: Seperti hadis pelarangan ziarah kubur pada masa awal-awal Islam, tapi kemudian Nabi Muhammad membolehkan ziarah kubur karena dirasa iman umat Islam pada waktu itu sudah kuat. Oleh karenanya tidak dilarang untuk ziarah kubur, lagipula ziarah kubur mengingatkan kita terhadap kematian.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Aku telah melarang kalian menziarahi kuburan, sekarang berziarahlah ke kuburan, karena dalam berziarah itu terdapat peringatan (mengingatkan kematian).”[6]

  • Menjelaskan Illah (sebab-sebab terjadinya hukum)

Contoh: Nabi Muhammad SAW pernah melarang memakan daging keledai yang jinak pada saat perang khaibar. Hal ini dikarenakan para sahabat setelah memenangkan perang khaibar mereka langsung terburu-buru dalam berebut harta rampasan.

Salah satunya, mereka menuju kandang-kandang keledai milik penduduk khaibar yang notabene beragama Yahudi.[7] Menurut Dr. Ubaydi Hasbillah, keledai jinak peliharaan orang Yahudi pada waktu itu punya kebiasaan yang jorok seperti memakan kotoran meraka sendiri. Hal ini juga diperkuat dengan sabda nabi lainnya yaitu:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ مُنَادِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ[8]

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq, telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Anas bin Malik, bahwa seorang penyeru Nabi berseru, “Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah melarang kalian (memakan) daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor (najis).”

Kemudian juga ada alasan lagi mengapa nabi mengharamkan keledai jinak, yaitu karena pada saat itu keledai jadi alat transportasi untuk mengangkut barang dan banyak dikonsumsi. Takutnya keledai menjadi punah akibat terlalu banyak dikonsumsi pada waktu itu.[9]

  • Menjelaskan Maksud Hadis yang Musykil (Sulit Dipahami atau Janggal)

Terkadang suatu waktu Nabi bersabda di mana para sahabat tidak memahami apa yang dimaksud Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersebut. Sehingga mereka bertanya langsung kepada nabi apa maksud dari yang beliau katakan. Jadi, asbabul wurud dari hadis ini adalah kejadian ketidakpahaman para sahabat terhadap sabda nabi.

Contoh :  

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ الرَّبِيعِ حَدَّثَنَا صَالِحٌ الْمُرِّيُّ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ[10]

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami, telah menceritakan kepada kami Al Haitsam bin Rabi’, telah menceritakan kepada kami Shalih Al Murri dari Qatadah dari Zurarah bin Aufa dari Ibnu Abbas ia berkata, Seorang lelaki betanya, “Wahai Rasulullah, amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?. Beliau menjawab, “AL HALLU dan AL MURTAHILU.” Dia bertanya, “Apakah yang dimaksud AL HALLU dan AL MURTAHILU?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang terus menerus menyambung (selalu mengkhatamkan) dari awal Al-Quran sampai akhir, seusai (menghatamkan Al-Qur’an), dia memulainya lagi.”

Perlu diketahui juga kalau tidak semua hadis punya asbabul wurud yang jelas dan tegas, tetapi hal itu bisa dianalisis melalui ijtihad dan masih banyak pisau analisis guna memahami hadis tanpa asbabul wurud yang jelas seperti pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis.

Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak mungkin bersabda tanpa adanya latar belakang yang jelas.


[1] الموافقات, إبراهيم بن موسى بن محمد اللخمي الغرناطي الشهير بالشاطبي 345/4

[2] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadis, 51

[3] أحمد بن حنبل ,مسند أحمد ط الرسالة ,21/159

[4] Sohih Bukhari no 6297

[5] ibid no 6292

[6] HR Abi Dawud no 2816

[7] As-Suyuthi, Al-Luma’  fi Asbab Wurud al-Hadis hal 65

[8] HR Ibnu Majah no 3187

[9] HR Imam Muslim no 3584

[10] HR Imam Tirmidzi no 2872


Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri A, Santri Tebuireng