sumber gambar buku: www.google.com
  • Judul buku: Kritik Hadis
  • Penulis: Prof Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub
  • Tebal: 144 Halaman
  • Penerbit: Pustaka Firdaus
  • Tahun Terbit: 2018 (cetakan kedelapan)
  • Peresensi: Jailani*

Hadis dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadis merupkan sumber hukum kedua setelah Al Quran. Oleh karena itu Al Quran terkadang akan sulit dipahami tanpa intervensi hadis. Memakai Al Quran tanpa mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup sangat tidak mungkin, karena keduanya merupakan wahyu yang diturunkan allah kepada Nabi muhammad SAW. Hanya saja ketika dilihat dalam otoritas hukum, Al Quran merupakan dalil qath’i sedangkan hadis adalah dalil dzanni. Jadi kaitannya antara dua sumber hukum ini sangat berkesinambungan bahkan tidak mungkin untuk dipisahkan.

Seiring dengan berkembangnya ajaran Islam ke daerah Eropa pada saat terjadinya kontak pertama kali antara orang romawi dengan orang muslim, sampai dengan penaklukan kota Andalus (Spanyol), banyak dari kalangan orang-orang barat yang mengkaji tentang ajaran-ajaran Islam. Hal ini menyebabkan banyak dari kalangan orang-orang barat yang  biasa disebut dengan orientalis,  yang  sekeptis terhadap ajaran Islam khususnya tentang otentisitas hadis. Mereka beranggapan bahwa hadis tidak murni dari Nabi Muhammad SAW, menurut mereka pertama kali timbulnya hadis, ialah pada pertengahan abad pertama sampai abad kedua hijriyah. Keraguan mereka terhadap hadis diantaranya disebabkan adanya fakta bahwa umat Islam pada saat itu pernah mengalami gesekan sosial politik seperti terjadinya perang Jamal dan perang Shiffin, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok yang saling mengklaim dan menghakimi kebenaran dengan membuat hadis-hadis palsu demi mendapatkan legitimasi dari  umat islam pada saat itu.

Menurut prof. Dr. MM. Azami, orang orientalis yang pertama kali melakukkan kajian tentang hadis adalah Ignaz Goldziher yang hidup antara tahun 1850-1821M, ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadis yang berjudul Muhammedanische Studien. Baru setelah sekitar enam puluh tahun kemudian muncullah seorang tokoh orientalis baru yaitu Joseph Schacht yang juga menerbitkan suatu karya hasil penelitiannya tentang hadis yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Keduanya ini merupakan tokoh penting bagi para orientalis, bahkan karya mereka bisa dikatakan kitab suci bagi para orientalis dalam meneliti hadis, karna dalam menolak otentisitas hadis para orientalis selalu merujuk pada karya kedua tokoh tersebut sampai saat ini. (halaman 8)

Oleh karna itu untuk menyanggah pemikiran para orientalis dalam menolak hadis cukup dengan mematahkan argumentasi dari dua tokoh tersebut. Salah satu alasan Ignaz Goldziher dalam menolak hadis, ia menggap bahwa tokoh ilmu hadis yaitu Al-Zuhri (123 H) telah memalsukan hadis. Menurutnya Al-Zuhri  mengatakan “inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadis” (sesungguhnya para pejabat telah memksaku untk menulis hadis). Jadi menurut Ignaz Goldziher, al-zuhri menulis hadis hanyalah untuk kepetingan politik semata. Hal itu terjadi saat Abd Malik Ibn Marwan (seorang khalifah dari Dinasti Umayyah di Damasykus) merasa khawatir jika Abdullah Ibn Al-Zubair (seorang yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Mekkah), memaksa orang-orang Syiria dan sekitarnya ketika melakukan ibadah haji untuk melakukan sumpah setia kepadanya. Maka dari itu Abd Malik bersiasat agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Mekkah, dan menjadikan masjid Al-Aqsha sebagai ganti dari masjid Al-Haram. Dengan cara memeritah Al-Zuhri untuk membuat hadis yang berbunyi  “tidak diperintahkan pergi ke masjid kecuali pada tiga masjid, yaitu masjid Al-Haram, masjid Nabawi dan masjid Al-Aqsha”. Hal ini dilakukan oleh Abd Malik demi mendapatka legitimasi masyarakat Syam.

Kemudian Prof. MM. Azami mejawab tentang hal itu dalam karyanya yang berjudul Studies in Early Hadith Literature dengan rasionalisasi fakta sejarah. Beliau mengutip pendapat ahli sejarah, bahwasannya Al-Zuhri lahir antara 52-58H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu Abd Malik bin Marwan sebelum tahun 81H. Sedangkan pada tahun 68H, orang-orang Syam melakukan haji ke Mekkah. Dari sinilah beliau berkesimpulan bahwa Abd Malik baru mulai berfikir untuk membangun Qubah Sakhra (masjid Al-Aqsha) pada tahun 68H. Jadi usia Al-Zuhri pada saat itu antara 10-18 tahun, maka dari itu sangat tidak logis seorang anak yang baru berusia belasan tahun sudah populer dan memiliki reputasi ilmiyah sehingga bisa berfatwa untuk memindahkan ibadah haji dari Mekkah ke masjid Al-Aqsa. (halaman 15-16)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beda halnya dengan  Ignaz Goldziher, Joseph  Schacht dalam hasil penelitiannya tentang kajian hadis, berkesimpulan bahwa semua hadis-hadis tentang hukum syariat bukanlah dari nabi, melainkan buatan ulama pada awal abad ke 2 H. “Menurutnya hukum Fiqih  baru dikenal semenjak pengangkatan para qadi, dan itu baru dilakukan pada saat Dinasti Bani Umayya, sedangkan para khalifah terdahulu tidak penah mengangkat qadi. Ia berpendapat bahwa para qadi tersebut diberikan otoritas penuh dalam menentukan hukum. Oleh karna itu untuk mendapatkan legitimasi para qadi tersebut menibatkan fatwanya pada tokoh agama sebelumnya seperti tabi’in, para sahabat hingga di sambungkan kepada nabi”. Jadi menurut Joseph  Schacht rentetan sanad yang ada dalam hadis hanyalah buatan para ulama untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat pada putusan hukum yang dikeluarkan. Namun teori Joseph  Schacht ini juga dipatahkan oleh Prof. MM. Azami, sebagaimana tercantum dalam buku ini. (halaman 27)

Penelitian para tokoh orientalis dalam membuat teori untuk menolak hadis tak hanya berpengaruh pada kalangan mereka sendiri, bahkan banyak dari cendekiawan muslim khususnya di Mesir, yang juga terkecoh pada teori Ignaz Goldziher dan Joseph  Schacht. Seperti Abu Rayya, Sayyid Rasid Ridha dan Ahmad Amin. Hal ini sebagaimana di sampaikan Prof. Mustafa Ali Ya’qub dalam buku ini. Namun masih terdapat para pakar hadis yang dapat mematahkan semua teori yang dibuat oleh para penolak hadis, seperti Prof. MM. Azami dan Syekh Mushtafa Ali Al-syiba’i.

Secara keseluruhan kitab ini meupakan suatu karya ilmiyah yang sangat menarik untuk dibaca atau dikaji, karena di dalamnya membahas tentang sekeptifisme orang-orang oerientalis terhadap otentisitas hadis, bahkan di dalamnya juga menyajikan sejarah  pembukuan hadis dan sejarah menculnya teori setudi sanad maupun matan. Dan bahasa yang digunakan dalam buku ini pun cukup mudah dipahami. Dalam buku ini terdapat ilmu-ilmu baru yang tidak tercantum dalam kitab-kitab klasik, maka sudah menjadi kelaziman bagi orang yang belajar ilmu hadis untuk mengkaji lebih mendalam karya Ali Mushtafa Ya’qub ini.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.