Oleh: M. ‘Ishom Hadzik
Kata orang, ulama kini menjadi manusia langka. Terlebih ulama yang “Warotsatul Anbiya”, yang memiliki kriteria khosyyah dan ilmu, sesuai dengan “dalalah al kamal” dalam lafadznya. Memang kalau diamati cukup banyak orang manyandang gelar ulama, namun gelar itu kosong karena tak memenuhi syarat keulamaan. Ulama model begini, dapat ditemukan diketiak hampir setiap lapisan sosial. Mengapa bisa begitu? Arief Budiman menyebut, karena ulama sekarang tidak hanya muncul karena pengakuan dan kebutuhan umat, melainkan juga bisa dimunculkan oleh media massa, lembaga sosial politik dan sebagainya yang punya kepentingan untuk melegitimasi atau dilegitimasi ulama.
Gejala seperti ini jauh-jauh hari sudah disinggung Al Ghozali dan sejumlah tokoh “shufi” dengan istilah “Ulama Su”. Konotasinya tak lain adalah ulama yang integritas dan moralitasnya sudah sulit dipertanggung jawabkan secara agama, karena sudah terlibat dalam kolusi dengan kekuasaan dan kehidupan duniawi yang sarat “intrik” dan “glamour”. Akibatnya misi yang diemban ulama jadi terbengkelai, karena umat sulit menemukan ulama “panutan”, yang ada cuma ulama “manutan”.
Padahal, dalam sejarahnya ulama selalu mengemban misi kepemimpinan. Dan bukan sembarang kepemimpinan, melainkan yang berciri profetik dan rasional. Profetik artinya, melanjutkan tugas kenabian dalam rangka memelihara agama, menata kehidupan umat dan merahmati seluruh masyarakat. Dan rasional berarti harus punya pijakan yang realistis dalam melaksanakan misinya. Konsep ini memang besifat ideal. Jika diambil contoh dalam konteks Indonesia banyak memiliki organisasi keulamaan salah satunya Nahdlotul Ulama (NU), nampak bahwa NU pernah berhasil melaksanakan misi ini. Sepanjang sejarah NU yang menurut para pengamat mencatat masa keemasan antara tahun tiga puluh hingga tahun empat puluhan. KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh ulama yang luas wawasan agama dan politiknya sehingga menyandang gelar bergengsi Rois Akbar NU sekaligus Ketua Umum Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), adalah sosok yang mewakili konsep tersebut.
Sayangnya meski Beliau telah meletakkan kerangka dasar kepemimpinan ulama yang mengacu pada teladan kenabian, yang antara lain tertuang dalam sejumlah khutbah dan risalah yang beliau tulis bunga rampainya berjudul “Minal muktamar ilal muktamar” diedit oleh bekas ajudan beliau KH. Umar Burhan tetapi beluın sempat diterbitkan, toh tak terelakkan bahwa kepemimpinan ulama pasca beliau mengalami degradasi dari konsep ideal yang sudah digariskan. Barangkali itu bisa dimaklumi karena situasi dan kondisi yang terus mengalami perubahan, menyusul krisis ulama belakangan ini.
Dalam kaitannya dengan kaderisasi uluna yang semakin langka kini, ciri profetik tadi tetap harus dipertahankan karena sudah menjadi watak dasar ulama, khususnya di lingkungan NU. Sementara ciri rasional harus dikembangkan pula agar muatan ideal yang ada dalam konsep kepemimpinan ulama dapat dibumikan sesuai dengan realitas yang dihadapi serta dapat diaktualisasikan mengikuti perkembangan yang kian kompleks. Dengan cara itulah diharapkan tongkat estafet kepemimpinan ulama akan bisa dilestarikan melalui kader-kademya. Disamping harapan yang sudah dikemukakan di atas, tak urung harus dipikirkan pula tantangan yang harus dihadapi. Ulama, khususnya yang berkecimpung dalam dunia pesantren, sesungguhnya memiliki potensi untuk menjalin jaringan intelektual yang tinggi. Sayangnya, potensi ini belum termanfaatkan secara optimal. Azyumardi Azra menyebut, kesuksesan ulama dulu dalam mengembangkan perannya adalalı berkat adanya jaringan intelektual tersebut.
Tidak mengherakan jika ulama dulu begitu produktif melahirkan karya-karya besar yang kontekstual untuk zamannya. Sementara sekarang sulit ditemukan ulama yang produktif seperti itu. Untuk itu, diperlukan keberanian untuk membuka wawasan baru, melahirkan karya baru yang relevan dengan kebutuhan kekinian. Bukan sekadar melanggengkan wawasan dan karya lama yang pada akhirnya hanya mengakibatkan kemandegan demi kemandegan.
NU sedang merintis hal ini dengan melaksanakan Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) yang ditangani oleh Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Sebab tak bisa dipungkiri ulama adalah sumber daya manusia yang dibutuhkan sepanjang zaman. Dan itulah sebabnya, mereka harus selalu mengasah wawasannya agar dapat mengejar ketinggalan, sehingga prinsip “Al Islaam Shoolihun li kulli zamaanin wa makaanin” benar-benar bisa diterapkan. Demikian, semoga bermanfaat.
Tebuireng, 10 November 1995
*Disampaikan dalam Seminar Keulamaan ORINDA PP Al Falah Ploso Kediri.
** Tulisan ini disalin dari koleksi Ahmad Karomi.