
Fenomena pemberian angpao pada saat hari raya, terutama saat lebaran, sudah menjadi tradisi yang sangat erat dengan budaya masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Momen ini menjadi salah satu cara untuk berbagi kebahagiaan, menghormati orang yang lebih tua, serta memberikan sedikit kebahagiaan kepada anak-anak dan saudara yang lebih muda. Angpao, yang umumnya berupa uang, merupakan simbol berbagi dan memberi yang sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada sebuah fenomena yang cukup menarik untuk diperhatikan, yaitu kewajiban menggunakan uang baru dalam pemberian angpao. Fenomena ini muncul karena adanya anggapan bahwa uang yang baru memiliki nilai lebih dalam hal simbolisme, kebersihan, dan keberuntungan.
Bagi sebagian besar orang, anggapan tersebut mungkin memang benar adanya, tetapi jika dilihat dari sisi lain, kebijakan ini sebenarnya dapat menimbulkan beban tersendiri bagi banyak orang, terutama mereka yang tidak memiliki banyak uang baru untuk ditukarkan atau tidak mampu menanggung biaya tambahan yang muncul untuk memperoleh uang baru tersebut.
Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa banyak orang, terutama yang tinggal di daerah dengan tingkat ekonomi yang tidak terlalu tinggi, merasa terbebani dengan kewajiban menukarkan uang baru setiap kali menjelang Lebaran. Fenomena ini mengarah pada adanya pasar uang di pinggir jalan yang memanfaatkan momen tersebut untuk menarik keuntungan dari proses penukaran uang.
Ini menjadi sebuah dilema tersendiri karena bagi sebagian besar orang, membeli uang baru dengan biaya tambahan itu tidak selalu mudah, terutama dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Uang baru, yang seharusnya menjadi simbol kebaikan dan keberkahan, malah menjadi beban yang tidak perlu bagi sebagian kalangan.
Ada juga anggapan bahwa uang yang baru lebih bersih dan layak untuk diberikan sebagai angpao. Namun, jika dipikirkan lebih dalam, bukankah nilai dari angpao itu lebih terletak pada niat dan ketulusan pemberian daripada pada kondisi fisik uang yang diterima? Tradisi ini, meskipun bertujuan baik, bisa membuat orang merasa terpaksa untuk mengikuti aturan yang belum tentu relevan bagi setiap orang.
Banyak orang yang sebenarnya tidak memiliki uang baru, tetapi masih memiliki banyak uang lama atau uang receh yang cukup banyak. Bagi mereka, uang tersebut bisa menjadi cara yang baik untuk berbagi kepada saudara atau anak-anak kecil. Mungkin, uang receh tidak memiliki keindahan yang sama seperti uang baru, tetapi dalam konteks berbagi kebahagiaan, nilai uang tersebut tetap sama. Oleh karena itu, wajar jika ada yang bertanya-tanya apakah uang receh yang tidak baru ini bisa tetap digunakan sebagai angpao.
Secara teknis, tidak ada aturan yang jelas mengenai hal ini, dan tidak ada hukum yang mewajibkan uang baru dalam pemberian angpao. Namun, tradisi masyarakat yang berkembang mengarah pada suatu anggapan bahwa angpao yang diberikan haruslah uang baru. Padahal, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, apakah benar uang baru yang diberikan itu menjadi lebih bermakna dibandingkan dengan uang yang sudah lama, tetapi masih bisa digunakan dengan baik?
Baca Juga: Fenomena Hadiah Angpao Lebaran serta Dampaknya bagi Masyarakat
Mungkin sebagian orang merasa bahwa uang baru memberikan kesan yang lebih mewah atau lebih “layak”, tetapi pada kenyataannya, angpao tidak hanya soal uang itu sendiri, tetapi juga mengenai makna dan hubungan yang terjalin antara pemberi dan penerima. Sebuah angpao yang diberikan dengan niat tulus dan penuh kasih sayang akan lebih bermakna daripada sekadar uang yang baru dan bersih.
Lebih jauh lagi, kita juga perlu mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari fenomena ini. Dalam banyak kasus, kebutuhan untuk menukarkan uang baru dapat menambah tekanan pada ekonomi keluarga yang sudah terbebani oleh biaya lain yang terkait dengan persiapan Lebaran, seperti membeli pakaian baru, makanan, dan berbagai kebutuhan lainnya.
Sementara itu, bagi mereka yang tinggal di daerah dengan akses terbatas ke bank atau tempat penukaran uang resmi, mendapatkan uang baru bisa menjadi hal yang cukup sulit. Tidak jarang mereka harus membayar biaya tambahan yang tidak sedikit untuk mendapatkan uang baru di pasar gelap atau di pedagang uang di pinggir jalan. Hal ini justru menciptakan ketimpangan yang semakin lebar antara yang mampu dan yang tidak mampu, bahkan dalam sebuah perayaan yang seharusnya menjadi ajang kebersamaan dan kesederhanaan.
Selain itu, bagi mereka yang memiliki banyak uang receh, perasaan terbebani dengan kewajiban menukarkan uang baru bisa membuat mereka merasa tidak mampu menjalankan tradisi ini dengan baik. Padahal, uang receh, meskipun tidak baru, memiliki nilai yang sama dengan uang kertas yang baru.
Setiap uang, apapun bentuknya, memiliki nilai tukar yang sama. Namun, dalam budaya yang semakin mengedepankan estetika dan penampilan luar, uang receh sering kali dianggap tidak layak untuk diberikan sebagai angpao. Ini tentu saja menciptakan ketidaksetaraan dan tekanan sosial yang tidak perlu. Di sisi lain, jika kita kembali pada nilai sejati dari pemberian angpao itu sendiri, kita akan menyadari bahwa esensi dari tradisi tersebut bukan terletak pada uang yang digunakan, tetapi pada semangat berbagi dan saling mendukung antar sesama.
Jika kita berpikir lebih dalam, seharusnya kita bisa lebih fleksibel dalam hal ini. Tradisi pemberian angpao bisa tetap berjalan dengan baik tanpa harus terjebak pada kewajiban menggunakan uang baru. Ada banyak cara untuk menjaga semangat berbagi tanpa harus mengikuti aturan yang terlalu ketat.
Baca Juga: Euforia Baju Lebaran dan Alasan Merayakan Hari Kemenangan
Salah satunya adalah dengan menyadari bahwa yang paling penting adalah niat baik dari pemberi angpao, bukan kondisi fisik uang tersebut. Uang receh yang sudah lama sekalipun tetap bisa menjadi sarana berbagi, selama pemberinya tulus dan niatnya untuk menyebarkan kebahagiaan dan berkah. Alih-alih terlalu memikirkan uang yang baru, kita bisa lebih mengedepankan makna dari kebersamaan, dan memberikan angpao sebagai bentuk dukungan kepada keluarga atau saudara.
Oleh karena itu, dalam konteks tradisi hari raya seperti Lebaran, kita perlu merenungkan kembali tentang makna sejati dari pemberian angpao. Apakah kita harus selalu mengikuti standar sosial yang sudah berkembang, ataukah kita bisa kembali pada esensi dari tradisi itu sendiri, yaitu berbagi kebahagiaan dan saling menghargai? Jika kita memiliki banyak uang receh yang tidak baru, seharusnya kita tidak merasa terbebani untuk menukarkannya dengan uang baru. Sebaliknya, kita bisa menggunakan uang tersebut dengan penuh rasa syukur dan ketulusan, karena sejatinya, niat baik dalam memberi adalah hal yang paling penting dalam setiap tradisi.
Penulis: Albii