Siapa sih pewaris sejati Majapahit? Kemaharajaan ini menjadi puncak dari kegemilangan masa klasik Nusantara. Namun, seiring abad 15 ia runtuh dengan berbagai faktor. Apakah tradisi Majapahit benar-benar lenyap? Ternyata tidak, ada beberapa tradisinya yang mengalami modifikasi dan melekat erat dengan tradisi umat Islam.
Islam masuk ke Jawa dapat dilihat melalui catatan tertuanya yang tertulis pada nisan Fatimah binti Maimun di Gresik yang berangka tahun 475 H/1082 M. Apakah di situ sudah terbentuk komunitas? Asisi Suharyanto pakar sejarawan klasik menyebut bahwa belum jelas apakah waktu yang tertulis di nisan tersebut daerahnya sudah membentuk komunitas muslim.
Ia menambahkan bahwa dalam lima prasasti Jawa kuno tercatat ada warga yang diistilahkan dengan Kilalang. Yakni orang Jawa kuno yang dikenai pajak. Orang-orang tersebut dapat tercantum dalam prasati Kuti, Turun Hyang, Cane, Patakan, dan Balawi. Mereka adalah warga Cina (Tiongkok), Gola (India Utara), Balhara (India Utara), Cěmpa (Vietnam), Cwalika (Cola, India Selatan), Sinhala (Sri Lanka), Drawida (India Selatan), Haryya (India Utara), Malyală (India Selatan), Karnnataka (India Tengah), Klin (India Selatan), Kmir (Kamboja), Reman (Mongol), Pandikira (India Selatan).
Penduduk Kilalang tidak mencatat orang Arab. Jadi mungkin saja yang membawa Islam ke Jawa bukan dari Arab, melainkan dari Tiongkok dan bangsa Moor. Sesuai kesaksian Tome Pires dalam Suma Oriental. Tome Pires menyaksikan bahwa penetrasi bangsa Moor ke Jawa di abad 16 sangat masif. Termasuk melakan perkawinan, mendatangkan para Mullah (pengajar) di koloni-koloninya.
Demak semasa Pate Rodin dihuni oleh orang Moor yang besar dan kuat. Yang nantinya Demak memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, yakni kesultanan Demak. Dan mengkahiri masa Nusantara klasik Majapahit yang bercorak Siwa Budha. Bagi Asisi Suharyanto alih kekuasaan yang dilakukan kesultanan Demak murni bukan karena agama. Toh, kemudian Demak dikalahkan oleh Pajang, dan Pajang dilumpuhkan oleh Mataram Islam.
Warisan Budaya Majapahit
Meski secara politis Majapahit runtuh, ternyata banyak warisan budaya yang teradopsi di kerajaan Islam Jawa.
Masjid-masjid Kuno yang Mirip Candi
Masjid Demak memiliki beberapa ornamen yang dibuat sangat mirip dengan candi. Pilar-pilarnya berhiaskan Lapik, Pelipit, Sulur, Antefik, dan hiasan Tumpang layaknya candi. Hiasan lainnya juga mirip dengan Medalion, Meander, dan Tapak Dara. Tapak Dara yang digunakan di candi sebagai penolak balak, juga muncul di banyak warisan Islam Nusantara. Seperti, masjid Demak, gugusan makam Kalinyamat, Sendang Duwur, komplek makam Sunan Bonang.
Tata Kota ala Majapahit di Kesultanan Jawa
Penghormatan orang Jawa pada gunung tidak hanya terwariskan pada atap kuno masjid berbentuk Tumpang. Tidak mengherankan jika tokoh-tokoh penyebar Islam dimakamkan di bukit-bukit.
Ternyata juga tata kota Majapahit teradopsi dalam tata kota kesultanan. Kakawin Nagarakertagama bahwa keraton Majapahit ada di selatan Wanguntur (alun-alun). Tidak jauh dari Wanguntur ada tempat pendeta Budha, Siwa. Uniknya, kesultanan Jawa demikian, yakni alun-alun, masjid agung, dan keraton menjadi satu tempat.
Raja Sejagat (Cakhrawartin) versi Islam Jawa
Gelar Raja kedua Mataram Islam putra Sutawijaya bergelar Susuhunan Adiprabu Anyokrowati. Tahun kekuasaan Anyokrowati yakni 1601-1613 M itu bersamaan ditulisnya salinan tertua serat Pararaton. Penyalin Pararaton menuliskan gelar yang sama untuk menggambarkan Ken Angrok, yakni Anyakrawarti. Diduga bahwa penyebutan yang mirip itu karena memori masyarakat Islam Jawa masih merekam sosok Chakrawartin yang berarti Raja Sejagat.
Bagi masyarakat Jawa klasik Chakrawartin adalah gambaran sosok penguasa ideal pusat mandala layaknya Siwa di puncak Mahameru yang dikelilingi Astadikpaka (dewa penjaga 8 penjuru mata angin). Sifat delapan itu kemudian diasumsikan sebagai delapan kewajiban raja, alias Astabhrata dalam Kakawin Ramayana. Konsep Astabhrata ini muncul dalam warisan kerajaan Islam Jawa. Konsep tersebut itu muncul dalam kesusastraan Jawa baru abad 17. Di antaranya kitab Niti Sruti. Abad 18 Astabhrata dirombak oleh pujangga Yasadipura I dalam serar Rama.
Puasa, Surga, dan Neraka
Sejak abad 16 Jawa mengalami perubahan besar dengan bangkitnya kerajaan besar bercorak Islam. Namun ada beberapa warisan Majapahit yang bertahan di Jawa hingga sekarang. Misalnya dalam serapan bahasa. Kata Puasa sejatinya serapan dari bahasa Sanskerta yakni Upawasa. Yang berarti upaya mendekatkan diri kepasa yang Maha Kuasa. Kata itu dipakai Jawa Klasik untuk menggambarkan ritual puasa mereka. Lalu diserap oleh Jawa baru menjadi Poso.
Selain puasa kata Surga pun berasal dari bahasa Sanskerta yakni Svarga. Di masa klasik Svarga merupakan kediaman dewa Indra yang memimpin masyarakat dewa, Apsara-apsari, serta Kinara-kinari. Jawa baru menyerap kata itu menjadi Swargo. Termasuk Neraka yang diserap dari bahasa Sanskerta; Naraka. Yaitu tempat penyiksaan yang dikuasasi dewa Yama. Jelas, baik kata maupun konsepnya Puasa, Surga, dan Neraka telah dipakai oleh Jawa kuno.
Kupat dan Lepet Makanan Lebaran dari Jawa Kuno
Masyarakat Jawa memiliki tradisi lebaran dengan menyajikan Ketupat dan Lepet. Ketupat berasal dari beras yang dibungkus oleh janur. Sementara Lepet dari beras ketan. Sebenarnya Kupat dan Lepet sudah dipakai oleh kerajaan kuno, ratusan tahun sebelum kerajaan-kerajaan Islam muncul. Abad 11 Kupat sudah muncul di Kakawin Ramayana, Subadrawiwaha, dan Krisnayana periode kerajaan Kadiri. Sementara Lepet sebagai kuliner tercatat dalam Kakawin Korawasrama diduga dari masa Majapahit. Jadi Kupat bukan Ngaku Lepat atau Kaffah. Itu hanya pemaknaan modern saja. Ketupat diduga sebagai panganan untuk pemujaan dewi Sri di masa klasik.
Nyadran
Bagi masyarakat Jawa klasik Sradha adalah upacara untuk mengenang seseorang yang telah meninggal. Sradha yang paling meriah tercatat untuk merayakan mendiang Suri Gayatri Rajapatmi. Hal itu ditulis oleh Prapanca dalam Nagarakartagama.
Nah, konsep itu masih muncul dalam tradisi masyarakat Jawa muslim. Nyadran digelar ketika menyambut bulan Ramadan yang digelar di bulan Rajab atau Sya’ban. Yang juga tidak asing disebut dengan Ruwahan. Sederhananya bahwa Nyadran adalah cara mengungkap rasa syukur sekaligus kirim doa untuk para leluhur.
Wayang; Kunci Keberhasilan Dakwah Walisongo
Siapa yang tak kena wayang. Warisan kebanggaan Indonesia yang tercatat dalam Unesco sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2003. Menurut tradisi tutur wayang adalah media dakwah Walisongo di Jawa. Saking lekatnya ada klaim bahwa wayang merupakan buatan Walisongo. Misalkan, bentuk pipih wayang sengaja dikreasikan Sunan Kalijogo agar tidak menyerupai makhluk hidup. Padahal wayang dan bentuk uniknya itu telah lama dikenal orang Jawa jauh sebelum Walisongo.
Pertunjukan wayang alias Ringgit telah muncul dalam prasasti kemaharajaan Balitung di Medang di abad 9, yakni prasasti Wukayana dan Penampihan. Sementara prasasti Patakan kemaharajaan Airlangga di abad 11 memberitakan adanya pemain wayang yang disebut Awayang. Gambaran wayang semakin detail dalam kakawin Arjunawiwaha di abad 11.Yakni dibuat dari kulit, diukir, dan digerak-gerakkan. Sosok wayang yang dekoratif, pipih, dan menoleh ke samping telah muncul di relief candi-candi Jago, Tegowangi, Surowono.
Kitab Tantupagelaran juga menunjukkan peragaan wayang yang persis dengan kakawin Arjunawiwaha. Ini menunjukkan pertunjukan wayang kulit berjalan 6 abad. Jadi jelas wayang bukan buatan Walisongo, namun warisan Majapahit yang dimodif untuk melancarkan dakwah.
Itulah beberapa warisan masyarakat Jawa kuno yang masih melekat dalam tradisi masyarakat Jawa muslim hingga saat ini.
Baca Juga: Tradisi Pecingan, Nyadran, dan Silaturahmi Saat Lebaran
Yuniar Indra Yahya
Disadur dari Asisi Chanel https://youtu.be/PXqP2ioKJ4E?si=q7NxSOCbyy231XXw