Perempuan dan lukisan keindahan.

Di tengah malam larut, Perempuan berstatus istri dan ibu dari dua anak itu merenung. Ia melihat foto keluarga kecilnya dalam figora bertangkai kayu itu. Sesekali ia menyeruput the panas yang baru saja ia ambil dari dapurnya. Rumah terlihat sepi, anak-anaknya sudah terlelap tidur, sebelum jam 9 malam semua harus istirahat, begitu pun dengan Adam, suaminya. Sebab pagi-pagi buta besok harus kembali bekerja ke desa sebelah, sebagai kuli bangunan.

Keluarga itu sangat sederhana dan awalnya tampak Bahagia dengan kesederhanaan itu. Namun, kehidupan mereka tidak selalu berjalan mulus. Setiap kali Lestari merasa sedikit lega, pasti ada masalah baru yang datang. Salah satunya adalah keberadaan mertua, yang meski sudah lanjut usia, selalu hadir dengan persoalan baru.

Ibu mertua, yang tinggal tak jauh dari rumah mereka, selalu menciptakan ketegangan di rumah tangga Lestari dan Adam. Dan yang lebih membuat Lestari merasa hancur adalah, Adam lebih sering membela ibunya ketimbang dirinya.

Seperti di suatu hari, saat Lestari memasak di dapur, ia mendengar langkah kaki Adam yang berat memasuki rumah. Lestari tahu persis bahwa suaminya datang dari rumah ibunya. Ia merasa cemas, karena biasanya setelah kunjungan itu, pasti akan ada masalah baru yang harus mereka hadapi.

“Kenapa, Mas?” tanya Lestari, sembari mengaduk panci yang berisi sayur.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adam duduk di meja makan, menghela napas panjang. “Ibuku bilang, kita harus lebih memperhatikan kebutuhan rumahnya. Dia tidak bisa lagi menanggung semua pengeluaran sendirian.”

Lestari menahan nafasnya. “Tapi, kita juga kesulitan, Mas. Anak-anak butuh biaya sekolah, dan kita juga harus bayar hutang di toko sembako. Bagaimana kalau kita sudah tidak punya apa-apa lagi?”

Adam menatap istrinya dengan tatapan kosong. “Ibuku kan sudah tua, Lestari. Kita harus menghargai usahanya selama ini.”

Lestari merasa sakit hati, namun ia menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaannya. Ia tahu betul, Adam adalah orang yang baik, tetapi kebiasaannya untuk selalu membela ibunya membuatnya merasa seperti tidak ada tempat baginya di dalam keluarga ini.

*****

Di luar rumah, Firman dan Aulia sedang bermain dengan riang. Meskipun mereka masih kecil, Lestari tahu betul bahwa masa depan mereka bergantung pada keputusan-keputusan yang mereka ambil sekarang. Ia tidak ingin anak-anaknya merasakan hidup yang sama sulitnya seperti yang ia alami. Firman, yang baru berusia sepuluh tahun, sudah menunjukkan bakat dalam belajar. Ia selalu antusias ketika pulang sekolah dan bercerita tentang apa yang dipelajarinya.

“Aku mau jadi dokter, Ibu,” ujar Firman suatu hari, ketika Lestari sedang mencuci pakaian.

Lestari tersenyum, meski hatinya sedikit sedih. “Tentu, nak. Kamu pasti bisa jika kamu terus belajar dengan giat.”

Namun, biaya sekolah yang terus meningkat membuat Lestari khawatir. Untuk mengirim Firman dan Aulia ke sekolah, mereka harus mengorbankan banyak hal. Dan terkadang, uang yang mereka miliki hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itu pun sering kali tidak cukup, sehingga mereka harus menunda banyak kebutuhan lainnya.

Hingga suatu sore, setelah seharian bekerja di ladang, Adam datang dengan wajah cemas. “Lestari, ibuku bilang, kalau kita tidak bisa mengirimkan uang untuknya bulan ini, dia akan kesulitan.”

Lestari menundukkan kepala. “Tapi, Mas, kita juga punya anak-anak yang perlu diperhatikan. Aulia butuh buku baru untuk sekolah, dan Firman butuh uang untuk les.”

Adam menghela napas. “Aku tahu, Lestari, tapi aku tidak bisa menolak ibuku. Dia sudah banyak berkorban untuk kita.”

Lestari merasa hatinya teriris. Ia tahu betul bahwa Adam berusaha sekuat tenaga untuk membuat semua orang bahagia, tetapi ia merasa seperti selalu berada di posisi yang salah. Setiap keputusan yang diambil Adam sepertinya selalu menguntungkan ibunya, sementara Lestari dan anak-anaknya selalu menjadi yang kedua.

****

Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan. Lestari berusaha menjaga rumah tangga mereka tetap berjalan meskipun berat. Ia terus berdoa, berharap agar ada jalan keluar dari masalah yang tak kunjung selesai ini. Terkadang, ia merasa sudah tidak sanggup lagi. Namun, ketika ia melihat Firman dan Aulia bermain dengan senyum ceria, semangatnya kembali muncul. Mereka adalah alasan ia bertahan.

Pada suatu malam, Lestari memutuskan untuk berbicara langsung dengan Adam. Ia tidak bisa terus-terusan menahan perasaannya.

“Mas, aku ingin kita bicarakan dengan serius,” kata Lestari dengan suara lembut, meski hatinya penuh dengan ketegangan.

Adam menatap istrinya dengan bingung. “Ada apa?”

“Aku merasa, Mas, kita tidak pernah benar-benar berbicara tentang apa yang terbaik untuk keluarga ini. Kita selalu memikirkan ibu, tapi bagaimana dengan kita? Aku juga butuh dukunganmu, Mas. Anak-anak kita butuh pendidikan yang baik, dan kita harus berusaha untuk itu.”

Adam terdiam, menatap istrinya dengan tatapan kosong, seolah berpikir keras. Setelah beberapa lama, ia akhirnya berkata, “Aku tahu, Lestari. Aku tahu kau berjuang keras. Mungkin aku memang terlalu banyak memikirkan ibuku. Tapi aku juga merasa tidak tega, dia sudah tua. Aku… aku akan mencoba lebih banyak mendengarkanmu.”

Perempuan yang sudah menderita lama itu, tidak tahu apakah itu janji yang akan dipenuhi atau tidak, namun ia merasa sedikit lega. Setidaknya, untuk pertama kalinya, Adam menyadari apa yang ia rasakan. Lestari tersenyum, sedikit meneteskan air matanya.



Penulis: Ummu Masrurah