Dalam menerjemahkan al-Quran banyak tantangan yang dihadapi oleh para penerjemah, terkhusus dengan adanya sebagian pendapat ulama yang melarang untuk menerjemahkan ke bahasa lain karena akan mengurangi auntensitas makna yang terkandung dalam al-Quran.
Dulu, ketika melihat orang-orang Persia yang baru masuk Islam kesulitan membaca al-Quran, Abu Hanifah an-Nu’mān (80-150 H), pendiri mazhab fiqih Hanafi, pernah memperkenankan mereka membaca makna Surah al-Fātihah dalam bahasa Persia pada waktu shalat. Bahkan menurut riwayat, kendati dinilai lemah oleh beberapa ulama, sahabat Salman al-Farisi yang berasal dari Persia juga pernah membolehkan mereka melafalkan al-Fātihah dalam bahasa Persia. Satu pendapat yang berbeda dengan mayoritas ulama fiqih.
Dalam mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, bahkan Zahiriyyah, berpendapat membaca al-Quran dengan selain bahasa Arab tidak boleh hukumnya, baik bagi yang mampu mengucap bahasa Arab atau tidak, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Seperti diketahui, Abu Hanifah hidup lebih dari 50 tahun pada masa Dinasti Umayyah. Saat itu banyak orang berbondong masuk agama Islam, tetapi lidah mereka sulit sekali melafalkan bahasa Arab. Ia pun kemudian membolehkan mereka membacanya dengan bahasa Persia, bukan dimaksudkan sebagai al-Quran, tetapi sebagai doa/zikir.
Belakangan ia mengubah fatwa tersebut, dan hanya membolehkannya bagi orang yang sudah tua dan sulit untuk melafalkan, sebab ia khawatir terjemahan tersebut akan dianggap sebagai al-Quran. Pandangan ini sama dengan yang dikemukakan dua murid beliau, Abu Yusuf dan Muhammad. Bahkan, menurut Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan Abu Zahrah, Abu Hanifah kemudian mengikuti pandangan mayoritas ulama dengan mengatakan bahwa seseorang yang tidak mampu mengucap bahasa Arab hendaknya shalat dan diam, tidak perlu membaca apa-apa, sebab agama tidak membebani seseorang yang tidak memiliki kemampuan.
Perubahan fatwa tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat, sebab awalnya dia membolehkan sebagai doa, dan ketika banyak orang sudah mulai pandai bahasa Arab, dan ada indikasi tidak sedikit orang meninggalkan al-Quran yang berbahasa Arab ia pun melarangnya. Inilah kali pertama polemik terjadi seputar boleh tidaknya menerjemahkan al-Quran.
Di era modern, perdebatan muncul kembali di Mesir pada awal abad kedua puluh dan memuncak pada tahun 1936 antara pemikir liberal dan politisi dengan ulama Al-Azhar. Perdebatan juga diramaikan oleh keinginan penguasa Turki modern di bawah pimpinan Mustafa Kamal Attaturk untuk menerjemahkan beberapa ritual agama seperti azan ke dalam bahasa Turki.
Polemik kembali terjadi pada tahun 1955, ketika Majelis Tertinggi Urusan Agama Islam Mesir bermaksud menerjemahkan Al-Qur’an setelah melihat banyaknya kesalahan yang terdapat dalam beberapa terjemahan dalam bahasa asing. Sampai akhirnya para ulama Al-Azhar membuat kesepakatan, dan mewujudkannya dalam bentuk tafsir al-Muntakhab. Mereka yang pro dan kontra terjemahan sama-sama sepakat terjemahan bukanlah al-Quran, dan tidak akan bisa menggantikan posisinya sebagai kitab suci. Menurut mereka, bahasa al-Quran tidak mungkin dicarikan padanannya dalam bahasa lain
Dimensi Emosi dan Spiritualitas dalam Teks Asli Al-Quran
Bahasa Arab dalam al-Quran memiliki daya tarik unik yang tidak hanya terletak pada makna kata-kata, tetapi juga pada irama, struktur kalimat, dan konteksnya. Misalnya, dalam surah Ar-Rahman, Allah menggunakan kalimat retoris “فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?) secara berulang-ulang. Pengulangan ini bukan hanya mempertegas makna, tetapi juga menciptakan resonansi emosional yang mendalam, seperti seorang ibu yang penuh kasih mengingatkan anaknya tentang rasa syukur.
Namun, ketika ayat ini diterjemahkan ke dalam bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia, efek emosional dari repetisi ini sering kali berkurang. Terjemahan seperti “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” memang menyampaikan maknanya, tetapi tidak bisa sepenuhnya menangkap nuansa retoris dan ketukan ritmis yang dirasakan saat membaca atau mendengar teks aslinya.
Selain itu, bahasa Arab memiliki kata-kata yang sangat kaya dengan makna spiritual. Kata “rahmah” misalnya, dalam bahasa Arab mencakup cinta, kasih sayang, dan perlindungan, semuanya sekaligus. Dalam terjemahan bahasa lain, kata ini sering kali hanya diterjemahkan sebagai “kasih sayang”, sehingga sebagian maknanya hilang. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya menjaga dimensi emosional dan spiritual al-Quran dalam terjemahan.
Menerjemahkan al-Quran bukan sekadar mengalih bahasakan teks dari bahasa Arab ke bahasa lain. Proses ini menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan, salah satunya adalah keterbatasan bahasa penerima. Bahasa Indonesia, misalnya, tidak memiliki fleksibilitas gramatikal yang sama dengan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, kata seperti “nur” dapat berarti cahaya fisik, cahaya spiritual, atau petunjuk Allah, tergantung konteksnya. Namun, dalam terjemahan, penerjemah harus memilih salah satu makna tersebut, yang sering kali mengurangi kedalaman pesan asli.
Tantangan lain adalah kehilangan nada dan irama. Dalam bahasa Arab, ayat-ayat al-Quran sering menggunakan pola bunyi tertentu yang menciptakan efek emosional. Misalnya, dalam surah Ad-Duha, pola pendek dan panjang ayat menciptakan irama menenangkan, seperti pelukan kasih sayang dari Allah. Ketika diterjemahkan, irama ini menghilang, dan pembaca hanya mendapatkan makna literalnya tanpa merasakan kedamaian yang sama.
Selain itu, bias budaya penerjemah juga memainkan peran penting. Dalam beberapa terjemahan, ayat-ayat yang menyentuh emosi mendalam seperti kesedihan atau kegembiraan sering kali diterjemahkan dengan bahasa formal, yang mengurangi rasa personal dari pesan tersebut. Contohnya, kata-kata lembut Allah kepada Nabi Muhammad SAW dalam surah Ad-Duha, yang dalam bahasa Arab membawa nuansa penuh kasih dan penghiburan, kadang terasa kaku dalam terjemahan tertentu karena tidak cukupnya pilihan kata dalam bahasa penerima.
Baca Juga: Ajang Diskusi Keilmuan, Bedah Buku Membuktikan Al-Quran sebagai Kalam Ilahi
Penulis: Zerlinda Prasanti Supranggono, Mahasiswi Universitas Islam Negeri Surabaya.