Sumber gambar: http://www.ichm.ca/physician-assisted-suicide-unbalancing-the-scales/

Ditulis oleh: Rif’atuz Zuhro

Tak Seimbang

Riweh kesemrawutan nampak di tanah ini, seolah berbeda jalan dengan mulanya. Aku di sini hanya putra bumi yang malu untuk berceloteh. Kata terlampau sesak di dada melihat persetan banyak tingkah dan membuat ketidakseimbangan semakin nyata.

Di pojok lain, aku terbesit Jibril menjelma manusia agung yang berbudi luhur dengan kesederhanaannya meski ia mengaku diri sebagai turunan setan.

Seimbang, keseimbangan, nafas kehidupan. Sakit, mati, musnah! Dan seimbang adalah kadar ketepatan, seimbang menolak keoverdosisan, seimbang tak suka dengan terlalu kaku dan terlalu lenturnya sebuah fase kehidupan. Semisal aku ditambah kamu mungkin seimbang, begitu leluconnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kembali ke bumi ini, aku mendapati dua jalan yakni terang dan gelap, struktural dan kultural, pro dan kontra, pribumi dan putra bumi, tesis dan anti tesis, politis dan anti politis. Siapa dalangnya? Wakilnya? Atau orang ketiga, keempat, kelima, dan kesepuluhnya? Lucu ya!

Aku yang tak tahu apa-apa mampu mengendus seimbang dan tak seimbang. Apa mau dikata? Benarlah dunia ini berputar pada alur yang dibatasi Tuhan Yang Maha Seimbang.

Mereka bilang begitu, mereka bilang begini, mereka bilang tak bilang apa-apa. Kami dibuat berpangku tangan, kami dibuat menundukkan pandangan, kami dibuat malu pada Sang Tuan, dan kami yang disalahkan.

Aku kehilangan mata air, begitupun kamu, ia, mereka, dan yang lain. Dunia telah diubahnya menjadi satu sistem yang saling memakan satu sama lain. Kemanusiaan kehewanan sulit lagi dibedakan. Apa ini? Benar adanya Homo Homini Lupus (Manusia bisa jadi serigala bagi sesamanya). Apa alasannya? Perut?

Sebentar saja, aku berhenti pada sembilan dari sepuluh mata air Ma’iyah “Seorang koruptor bisa kirim biaya untuk membangun Masjid di kampungnya. Pelacur kelas tinggi bisa menyisihkan uang untuk membagi modal kepada ratusan kelompok usaha kecil rakyat bawah.

Pejabat tinggi memberantas maksiat sehingga mulus jalannya menuju jabatan lebih tinggi. Dengan baju Pewaris Nabi, seseorang bisa mengkapitalisasikan sejumlah tema Agama, Nabi, bahkan Allah dan firman-Nya.

Begitu? Lagi-lagi aku hanya pengamat buta tak berarah, mataku rusak, telingaku parah, hidungku buntu, apalagi hatiku yang paling tak seimbang dengan pembangunan dunia dan ilahiah.

Modalku hanya itu, hati tak seimbang, raga tak seimbang, jiwa tak seimbang, dan nuranipun tak seimbang. Bagaimana mungkin aku yang tak seimbang ini mampu menimbang tanah ini seimbang ataupun tidak.

Setidaknya aku punya tanah yang tidak akan kubasahi dengan darah kebahagian. Setidaknya aku punya air yang tidak akan kupadamkan dengan tangis kemiskinan. Miskin kemanusiaan!


Penulis adalah Alumni STIT UW dan pernah aktif di PC PMII Jombang.