Oleh: KH. Salahuddin Wahid*
Presiden Jokowi menyatakan akan memberi perhatian pada penyelesaian isu radikalisme dalam masa bakti pemerintahan 2019-2024. Program deradikalisasi menjadi salah satu tugas khusus Menko Polhukam Mahfud MD. Di berbagai media kita membaca bahwa terdapat perbedaan perbedaan pendapat tentang istilah dan pengertian tentang radikal dan radikalisme. Surat keputusan bersama atau SKB 11 instansi pemerintah tentang penanganan radikalisme menuai kontroversi. Pemerintah dianggap terlalu jauh masuk ke ranah privat para pegawai negeri sipil atau PNS.
Pada 19 Oktober 2019 saya diminta menjadi pembicara bersama Prof. Meutia Hatta dalam pertemuan di Unika Atma Jaya Serpong. Para anggota panitia memakai kaos bertuliskan Nasionalis Radikal. Saya bertanya apa yang dimaksud dengan Nasionalis Radikal. Jawabnya: nasionalisme yang sesungguhnya. Artinya kata radikal bersifat positif. Sebaliknya dalam istilah Islam radikal saat ini, kata radikal bersifat negatif. Istilah negatif bagi nasionalisme ialah ultra nasionalisme dan chauvinisme.
Muhammad Isnur Ketua Bidang Advokasi YLBHI mengatakan bahwa definisi radikalisme yang digunakan Pemerintah tidak jelas. Dia mengimbau penanganan isu radikalisme tidak menimbulkan stigma di tengah masyarakat. Misalnya, suatu kelompok atau seseorang yang taat beragama begitu saja dicap sebagai pendukung radikalisme hanya karena cara berpakaian.
Saya bertanya kepada seorang kawan yang menjadi guru besar di ITB, apakah benar bahwa di ITB radikalisme Islam sudah mengkhawatirkan? Dia menjawab bahwa radikalisme Islam di ITB memang ada tetapi tidak mengkhawatirkan. Sebaliknya ada guru besar ITB yang menganggap bahwa radikalisme Islam di ITB sudah lampu merah. Tampaknya ada perbedaan tolok ukur dalam menilai masalah di atas.
Ketua Umum PP. Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir dalam sambutan saat pengukuhan gelar Profesor di UMY (12 Desember 2019) mengatakan bahwa dia prihatin bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir seakan-akan berada dalam darurat radikal dan radikalisme, bahkan khususnya pada radikalisme dan deradikalisme Islam melalui diksi-diksi waspada. Baik kepada kaum Jihadis, khilafah, Wahabi dll. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim dan bahkan PAUD terpapar radikalisme Islam, demikian kuat dan menimbulkan kontroversi.
Pengamat Timur Tengah dan Dunia Islam Hasibullah Satrawi menulis di Kompas 16/12/ 2019, bahwa sebagai sebuah masalah, radikalisme belum jadi rumus atau istilah yang dipahami sama oleh semua pihak, apa lagi disepakati. Radikalisme jadi konsep liar, multi tafsir dan cenderung jadi “penghakiman” bagi pihak lain dan sekaligus sebagai “pembersih” untuk diri sendiri.
Bahkan belakangan istilah itu jadi kontroversi. Ada yang menggunakan istilah radikalisme, pada hal yang dimaksud adalah terorisme. Pihak lain menggunakan istilah radikalisme untuk masalah intoleransi, anarkisme serta penolakan pada Pancasila dan NKRI. Di balik istilah radikalisme ada kegagalan mendefinisikan beberapa inti persoalan dengan tepat, akurat dan disepakati bersama.
Selama ini banyak yang mengatakan bahwa intoleransi bisa meningkat jadi radikalisme lalu menjadi terorisme. Menurut Hasibullah Satrawi, dalam kenyataannya tidak selamanya begitu. Dalam kenyataannya, sebagian orang jadi teroris tanpa melalui radikalisme. Sebaliknya tidak selalu penganut radikalisme menjadi teroris.
Sebagaimana istilah radikalisme bersifat problematis karena cenderung liar dan subyektif, maka menurut Hasibullah Satrawi, istilah deradikalisasi juga mengandung masalah yang sama. Menurut UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, obyek deradikalisasi adalah mereka yang sudah terpapar radikal terorisme. Upaya deradikalisasi terhadap warga yang belum terpapar radikal terorisme, tidak disebut dengan istilah deradikalisasi, tetapi kontra-radikalisasi.
Prof. Dr. Haedar Nashir mengatakan bahwa di dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung Pancasila, agama dan kebudayaan luhur bangsa Indonesia yang berwatak moderat. Jalan moderasi dipilih sebagai alternatif deradikalisasi menghadapi segala bentuk radikalisme secara moderat. Sebab, jika menghadapi radikalisme dengan deradikalisasi, itu sama saja memilih jalan radikal. Prof Haedar mengajak kita tidak lagi menggunakan istilah deradikalisasi dan diganti dengan moderasi. Sebelumnya Presiden Jokowi juga mengusulkan untuk mengganti istilah radikalis dengan manipulator agama. Tampaknya usul itu kurang mendapat tanggapan.
Kita berharap bahwa seminar hari ini akan bisa memberi sumbangsih pemikiran untuk menyelesaikan silang pendapat tentang istilah dan pengertian radikalisme. Karena ada yang menganggap bahwa intoleransi bisa menjadi awal dari radikalisme, maka kami membuat survei sederhana tentang intoleransi di dalam kalangan empat pesantren besar di Jombang, yaitu Denanyar, Rejoso, Tambakberas dan Tebuireng. Selain itu juga dilakukan survei terhadap Pesantren Al-Izzah yang dikenal sebagai pesantren yang berbeda dengan semua pesantren di Jombang. Sekitar 3.000 ustadz, guru, santri, mahasiswa dan dosen menjadi responden survei itu. Ada sejumlah temuan menarik sebagai hasil survei itu:
- Mendirikan tempat ibadah non-muslim di lingkungan mayoritas muslim dianggap wajar oleh lebih dari 80% responden. Responden di al Izzah hanya 62,5 yang menganggap wajar.
- Ideologi Pancasila adalah final bagi NKRI diterima oleh 91,6% responden. 67% responden di al Izzah punya pendapat yang sama.
- 35,8% responden menganggap bahwa Khilafah Islamiyah adalah harapan bagi masa depan Indonesia. 89,8% responden di al Izzah punya pendapat yang sama. Di sini terlihat ada keadaan yang tidak konsisten.
- 67,2% responden menganggap bahwa memasuki tempat ibadah agama lain tidak perlu kita permasalahkan. Hanya 27,3% responden di al Izzah punya pendapat yang sama.
- 78,8% responden menganggap bahwa pernikahan antara lelaki non muslim dan muslimah adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. 72% responden di al Izzah punya pendapat yang sama. Untuk sebaliknya (lelaki muslim dengan perempuan non-muslim), 69,2% menyatakan bahwa itu dilarang. 83% responden di al Izzah punya pendapat yang sama
- 61,8% responden menjawab bahwa penyerangan terhadap aparat berdasar kekecewaan terhadap keputusan pemerintah adalah bertentangan dengan ajaran Islam. 70% responden di al Izzah punya pendapat yang sama.
- 94,1% responden menganggap wajar dan tidak mengganggu bila Mempunyai tetangga non-muslim. 89,8% responden al Izzah punya pendapat yang sama.
- 87,2% menganggap bahwa pembubaran HTI adalah keputusan yang tepat. Hanya 40% responden al Izzah yang berpendapat sama.
- 59,2% responden berpendapat bahwa memilih pemimpin non-muslim (bupati,gubernur dan presiden) adalah larangan bagi muslim. 86% responden al Izzah punya pendapat yang sama.
- 25,5% responden setuju bahwa pemerintah boleh melarang muslimah memakai cadar. Hanya 6% responden di al Izzah yang punya pendapat yang sama.
*Sambutan Dr. (Hc). Ir. Kh. Salahuddin Wahid, dalam Seminar Silang Pendapat Makna Radikalisme pada Haul ke-10 Gus Dur, 21 Desember 2019 di Pesantren Tebuireng.