Islam merupakan agama yang kompleks. Namun Islam tak ubahnya agama dengan pengikut yang minoritas. Untuk itu, dibutuhkan sosok untuk menyebarkan serta mengajak para umat untuk turut serta pada ajaran yang benar. Dalam hal ini Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Al- Minangkabawi berperan besar dalam menjunjung tinggi serta menyebar luaskan agama Islam di kawasan melayu, baik pulau Sumatra, negara tetangga Thailand serta Malaysia.

Tokoh yang kerap dikenal sebagai Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi ini lahir di Kota Tuo- Balai Gurah, IV Angkek Candung, Agam, Sumatra Barat, pada hari senin, 6 dzulhijjah 1274 H (1860 M) dan wafat di Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama Abdul Lathif yang berasal dari kota gadang. Abdullah, Kakek Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat gadang, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khatib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat di belakang namanya dan berlanjut ke keturunan di kemudian hari.

            Menurut suatu riwayat, beliau adalah ulama besar Indonesia, Khatib dan guru besar di Masjidil Haram. Sekaligus Mufti Madzab Syafi’I pada akhir abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Beliau memiliki peranan penting di Mekkah al-Mukarromah dan menjadi guru bagi para ulama Indonesia yang belajar disana.

            Ulama minang ini merupakan keturunan dari seorang hakim dari gerakan paderi yang sangat anti terhadap penjajahan Belanda. Gerakan Paderi dalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan kaum paderi (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Sumatra Barat. Perlawanan nyata kaum paderi terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal sebagai Perang Paderi.

Pendidikan yang pernah diampu beliau juga sangat bervariasi, tidak hanya mendalami ilmu agama saja, melainkan juga mendalami ilmu-ilmu pasti yang mendukung ilmu agama tersebut, seperti ilmu matematika yang mana akan berkesinambungan dengan ilmu mawaris. Tak pelak jika akhirnya beliau berhasil mupuni dalam bidang tersebut. Diantara guru- guru syaikh ahmad khatib al- minangkabawi adalah:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  • Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha al-Makki al- Syafi’I (1259-1330 H)
  • Sayyid Utsman bin Muhammad bin Mahmud Syatha al-Makki al- Syafi’I (1263- 1295)
  • Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha al-Dimyati al-Makki al-Syafi’I (1266-1310) penulis I’anatu al-Thalibin
  • Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304)
  • Yahya al-Qalyubi
  • Muhammad Shalih al-Kurdi, dsb

 

Gagasan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

  1. Kegemarannya dalam mempelajari ilmu faraid memberikan perubahan besar terhadap adat minang. Dengan keilmuan dan keberaniannya yang tak diragukan, akhirnya beliau berhasil mengubah adat minang dalam membagi harta warisan yang sebelumnya bertentangan dengan islam yakni harta pusaka peninggaan keluarga diwariskan pada kemenakan perempuan dari garis kerabat perempuan. Sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi pembantu dalam merawat dan memelihara harta pusaka tersebut. Dan berkat keberhasilan beliau, kini adat tersebut sudah sejalan dengan hukum islam. Bahwasannya harta warisan diberikan kepada anak kandung, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua kali lipat begian anak perempuan. Yang kemudian ditulis dalam kitab beliau yang berjudul ad- da’ilmasmu’ fi raddi ala man yuriisul ikhwah wa auladil akhwat ma’a wujudil ushl wl furu’  dengan versi terjemahan al manhajul masyru’.
  2. Ilmu falak, ilmu geometri dan trigonometri yan dimilki syekh khatib tersebut pun menjadi landasan bagi kaum muslim dalam menetapkan waktu awal ramadhan dan syawal, perhitungan waktu sholat, gerhana matahariserta penentuan arah kiblat yang tepat.
  3. Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang thariqat naqsabandiyah. syaikh ahmad khatib al- minangkabawi telah disanggah ramai ulama minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah syeikh Muhammad sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, minangkabau.

Kitab- kitab karya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi:

Karya tulis Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya yang berbahasa Arab dan berbahasa Melayu dengan tulisan arab. Kebanyakan tema- tema dari buku beliau mengangkat tema- tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, tahayyul dan kurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan islam.

Yang berbahasa arab antara lain: Khasyiyah al-Nafarat ala Syarhi al-Waraqat li al-Mahalli, al Jawahiru al-Naqiyyah fi al-A’mali  al-Jaibiyyah, Raudlat al-Hussab, Ma’ainul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz, al-Qulu al-Mufid ala Mathlai al-Said, dsb.

Sedangkan yang berbahasa Melayu ialah: Mu’alimu al-Hussab fi ilmi al-Hisab, al-Manhajul Masyru’ fi al-Mawarist, Dhau al-Siraj, al-Jawi fi nahw, Salamu al-Nahw, Izhar Zughlai al-Kadzibin, dsb.

Murid- murid Syaikh al-Khatib:

            Mengenai murid- murid Syaikh Ahmad Khatib al- Minangkabawi, Siradjuddin Abbas berkata bahwa sebagaimana dikatakan di atas bahwa hampir ulama Syafi’i yang kemudian mengembangkan ilmu agama di indonesia, seperti Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Syeikh Muhdi Jamil Jaho, Syeikh Abbas Qadli, Syaikh Musthofa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’sum Medan Deli dan banyak lagi ulama- ulama Indonesia pada tahun-tahun bar XIV adalah murid dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Thabaqatus Syafiiyah hal: 406). Ucapan senada juga diungkapkan oleh penulis ensiklopedi ulama nusantara di banyak tempat. Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam beberapa aspek: guru untuk generasi pertama kaum muda. Namun demikian, tak salah kiranya jika disebutkan disini beberapa murid yang meonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarakan, diantaranya adalah:

  1. Syaikh al-Karim bin Amrullah rahimahullah, ayah Buya Hamka. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh besar di ranah minang dan indonesia. Diantara karya tulisnya adalah al- Qaulush shalih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Qadiyani.
  2. Muhammad Darwis alias KH. Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah- pendiri Jamiyyah Muhammadiyah
  3. Muhammad Hasyim Bin asy’ari Tebuireng Jombang rahimahullah- salah satu pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama
  4. Ustadz Abdul Halim Majalengka rahimahullah- pendiri Jamiyyah Ianatul Mutaallimin yang bekerja sama dengan Jamiyyah Khairiyah dan al-Irsyad
  5. Syaikh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad Afif al-Banjari rahimahullah- mufti kerajaan Indragiri
  6. Muhammad Thaib Umar, dsb.

Keunggulan Syaikh al-Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H. Abdullah Ahmad, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padang Panjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati Padang. Telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilm dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah karunia Allah SWT.

Jika kepercayaan hanya tumbuh semata- mata karena penerimaan atas wibawa guru, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata menggunakan senjata, bedil, kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid- muridnya kemudian menjadi penggerak pembaharuan pemikiran islam di minangkabau, seperti syaikh Muhammad Djamil Jambek (1860-1947), Haji Abdul Karim Amrullah (1879- 1945) dan Haji Abdullah Ahmad.

 Disarikan dari berbagai sumber