sumber gambar: menjembatani tiga generasi membagun bima raya 2030 – blogger

Oleh: Rif’atuz Zuhro

Abad 17-18 komunitas umat Islam dari Indonesia yang melaksanakan ibadah haji dan kemudian dilanjutkan dengan bermukim di Arab Saudi untuk beberapa waktu itulah yang kemudian terkenal dengan istilah Al-Jawwi atau Jawwah Community. Hubungan yang sudah lama terjalin baik antara Arab Saudi dengan orang-orang Nusantara dirintis sejak jaman raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, melalui surat yang dikirimkan kepada khalifah Dinasti Umayyah Umar bin Abdul Aziz (717-720 H), selalu menyebut dirinya sebagai Raja Nusantara. Di bagian lain, Raja Sriwijaya tersebut menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai Raja Arab. Sebuh fakta yang menunjukkan keakraban yang terjalin pada masa-masa itu.

Pada abad 8 Masehi, hubungan ini kian akrab setelah Iskandar Syah, Raja Malaka saat itu, memeluk agama Islam. Kondisi ini semakin membawa pengaruh baik secara signifikan yang dilanjutkan pada masa Kerajaan Aceh di abad XVII Masehi. Pertautan intelektual antara ulama-ulama Arab Saudi saat itu dengan kaum terpelajar Nusantara mulai terjadi saat pada masa Abdurrauf al-Sinkili, Yusuf al-Makassari dan al-Raniri membentuk lingkaran komunitas Jawi (ashab al-Jawiyyin) dengan ulama Mekkah yang mengajar mereka dan kemudian bertanggungjawab dalam mendiseminasikan pemikiran Islam yang berkembang di Mekkah pada masa itu ke Nusantara.

Khalayak pada umumnya lebih mengenal sosok Syaikh Nawawi Al Bantani ketika membincangkan tentang sosok Ulama Nusantara yang hijrah ke Haramain untuk mendalami ilmu agama, namun selain sosok itu, ada salah satu Ulama yang berasal dari wilayah timur Nusantara yang masyhur keilmuan dan kontribusinya dalam menyebarkan Islam di Indonesia Timur.

Nama lengkapnya, Syaikh Abdul Ghani Bima bin Subuh bin Ismail bin Abdul wafat 1270-an H dimakamkan di Ma’la. Ayahnya Syaikh Subuh diangkat imam oleh Sultan Alaudin Muhammad Syah (1731-1743) di Kesultanan Bima. Kedekatan dengan Sultan Bima sejak kakek buyutnya, Syaikh Abdul Karim yang berasal dari Mekkah kelahiran Baghdad. Ia merupakan pelita dari wilayah Timur Indonesia yang menjadi sumber sanad keilmuan ulama-ulama Nusantara, khususnya di Tanah NTB.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Awalnya Syaikh Abdul Karim di Aceh, Banten, dan Sumbawa untuk mencari saudaranya. Di Pulau Lombok Utara, Syaikh Abdul Karim mengajar masyarakat dengan Istilah “Waktu Telo” yang berarti “Waktu Tiga” yang sampai saat ini masih terkenal baik oleh masyarakat Pulau Lombok. Ketika singgah di Pulau Sumbawa akhirnya sampai di Dompu, Sultan Dompu mengaguminya dan menikahkan putrinya dengan Syaikh Abdul Karim. Syaikh Abdul Ghani juga menikah dengan putri Raja Dompu sekaligus keturunan dari Syaikh Nuruddin Al Maghribi yang terkenal dengan “Qara’a Pidu” (7 buah Al Quran yang dibawa dari Tanah Haram) dan keturunannya dikenal Ruma Sehe (Gusti Syaikh/Tuan Syaikh).

Ketika di Mekkah, Syaikh Abdul Ghani menjadi salah satu Imam besar dan berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Marzuqi dan saudaranya, Sayyid Ahmad Sl-Marzuqi (penulis ‘Aqidatul Awwam), Muhammad Sa’id Al-Qudsi (mufti Imam Syafii), dan Syaikh Utsman Ad-Dimyathi. Salah satu sanad gurunya adalah Syaikh Syaikh Baharudin dari Yusuf Al-Mahmudun, dari Abdul Yazid Al-Busthomi, dari Hasyaril Basyari, dari Ma’riful Qarhim, dari Hablul Adaami, dari Sirthotin, dari Baghdadin, dari Abdul Qasyim, dari Abdul Qasyimi, dari Abdul Qadir Jialani Ahlitturqi.

Adapun murid-muridnya antara lain Syaikh Muhammad Ali bin Hussin bin Ibrahim Al Maliki dari Mekkah. Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Khatib As Sambasi, Syaikh Kholil Bangkalan dan lainnya. Ia mendapatkan gelar ‘Sayyid Ulamail Hijaz’ dari Negeri Timur, dan penyambung mata rantai jaringan Ulama Nusantara abad 19 dengan Timur Tengah. Beberapa Ulama Sumbawa lainnya adalah Syaikh Umar bin Abdur Rasyid As Sumbawi, dan Syaikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi As Sumbawi. Muridnya lainnya yang meneruskan mengajar di Hijaz adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Wasi’ al Jawi al Makki.

Faktanya, Ulama dan pesantren di Nusa Tenggara memiliki hubungan yang sangat dekat dan menjadi simpul utama jejaring Ulama terkoneksi dengan jejaring ulama di Jawa, Bali dan Sulawesi. Simpul-simpul utama tersebutlah yang menopang bangunan jejaring kebangsaan dan keulamaan Indonesia.

Dari ulama-ulama inilah jejaring ulama di banyak daerah Nusantara dapat berdiri tegak dan kokoh serta telah memiliki semangat kebangsaan yang sama. Halaqah-halaqah di Mekkah menjadi melting pot, tempat penggodokan ulama yang kemudian ditransmisikan ke daerah nya masing-masing menjadi institusi ulama dan menjejaring dalam kelompok yang lebih besar yang nantinya menopang pergerakan nasional berdirinya negara Indonesia.

Sehingga keilmuan ulama saat ini yang tersebar di Indonesia tidak lepas dari kontribusi Ulama Al Jawwi yang mampu mengkader ulama-ulama Indonesia untuk memaku nilai-nilai keislaman yang mempunyai sanad dan jejaring keilmuan yang jelas. Jadi Islam tidak hanya hadir kebetulan di tanah Indonesia, namun usaha sadar ulama terdahulu yang mampu menghantarkan Islam telah jaya di Tanah Indonesia dengan menggunakan pendekatan yang apik dan tidak mengundang konflik. Islam seperti itulah yang mampu menyatukan perbedaan dan memperkuat peradaban Islam.


Referensi: Mastrepiece Islam Nusantara Karya Zainul Milal Bizawie