(sumber: dakwatuna)

Oleh: Rif’atuz Zuhro*

Berbicara tentang peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah masuknya agama Islam di negeri ini. Marshall G.S. Hodgson membagi sejarah peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu Periode Klasik antara abad VII sampai X Masehi, Periode Pertengahan antara abad X sampai XV Masehi dan Periode Modern yang berlangsung antara abad XVI sampai XX Masehi.

Pada Periode Pertengahan, lanjut Hodgson, merupakan periode yang harus dilalui masyarakat muslim dengan penuh kegelapan. Setelah berjaya dengan meraih supremasi dan dominasi di dunia internasional pada Periode Klasik, masyarakat muslim harus berhadapan dengan berbagai permasalahan yang menyebabkan kemundurannya. Kondisi masyarakat muslim pada periode ini tidak lebih berkembang dari kondisi masyarakat Barat pada Periode Klasik.

Setelah era Wali Songo, lahirlah ulama-ulama Nusantara yang sangat terkenal yang mewarisi tokoh Islam sebelumnya, seperti Nuruddin ar Raniri, Abdur Rouf al Sinkili, Muhammad Yusuf al Makassari, Kiai Ageng Hasan Besari, Syaikh Mutamakkin, Sayyid Sulaiman, Kiai Jamsari, Syaikh Muqayyim. Yang kemudian diteruskan oleh Ulama Haramain (al Jawwi) yang bermukim di Makkah diantaranya, Syaikh Muhammad Nawawi al Bantani (Banten) dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi (Minangkabau) yang memberikan pesan-pesan dan dorongan kemerdekaan bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajah, sebab umat Islam tidak akan bebas beribadah dengan cara merebut kemerdekaan, yang kemudian generasi Ulama al Jawwi itu mempunyai murid KH Muhammad Kholil Bangkalan (Madura), KH. Ahmad Dahlan, dan KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Jombang) sebagai generasi abad 19 M. yang kemudian dilanjutkan generasi ulama pesantren sampai sekarang.

Corak keislaman Indonesia sejak awal dipengaruhi oleh Kerajaan Turki Otoman yang dipimpin oleh Sultan Ahmad Tsani yang bekerja sama dengan Ibnu Sa’ud, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Abduh. Kemudian Sultan mengutus Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Samarkand, Syaikh Jumadil Qubro, dan Syaikh Jafar Shadiq. Namun ketika ulama utusan dari kerajaan Otoman ke tanah Jawa, kerajaan Turki hancur diserang Inggris dan Perancis yang bekerjasama dengan Ibn Sa’ud. Ibnu Sa’ud mempunyai guru yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian alirannya disebut Wahabiyah dan negaranya bernama Saudi Arabia yang dinisbatkan pada Ibnu Sa’ud.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Proses polarisasi setelah dunia Arab dilanda gerakan pemurnian dan pembaharuan, yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan paham Wahabiyahnya berkolaborasi dengan penguasa baru Arab yakni Ibnu Sa’ud. Gerakan ini tidak hanya menyangkut aspek ibadah dan akidah, namun juga muamalah. Sejak paham Wahabi merambah tanah air, maka sejak itulah umat Islam Indonesia yang awalnya “homogen” menjadi terpolarisasi dengan paham Wahabi sampai sekarang dengan varian-varian yang lebih beragam.

Setelah Haramain jatuh ke Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab itu kemudian menggandeng Ibnu Abdul Wahab dalam gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam. Ada dua misi besar yang diinginkan, pertama menjadi Khilifah Islamiyah yang bersifat tunggal di kalangan dunia Islam, untuk menggantikan Khilifah Usmaniyah di Turki yang baru digulingkan oleh Gerakan Turki Muda pimpinan Kemal Attaturk, kedua menjadikan paham Wahabi sebagai satu-satunya madzhab tunggal di kalangan umat Islam dunia.

Paham Wahabiyah juga tidak dapat dibendung untuk masuk ke dalam Indonesia. Masalah pokok yang menjadi sumber ketegangan sesungguhnya bukanlah substansi dari nilai ajaran Islam, tetapi lebih menunjuk kepada aspek khilafiyah, seperti soal taqlid, upacara kematian, tahlil dan talqin, ushalli dan sebagainya atau isu yang terkenal kala itu adalah TBC (tahayyul, bid’ah dan churafat). Fenomena inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab atau motivasi kenapa Nahdlatul Ulama (NU) harus berdiri pada tahun 1926.

Setelah NU berdiri, ketegangan di kalangan umat Islam Indonesia bukan tidak ada, tetapi berpindah dari ranah kultural ke ranah politik. Dijelaskan oleh Djohan Effendi (2010), sejak pembentukannya pada tahun 1926, NU menempati posisi sentral dan memainkan peranan penting di kalangan masyarakat santri, terutama di pedesaan. Ia menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran kolektif umat Islam Indonesia, terutama di bidang agama, sosial, kebangsaan, pendidikan dan lain sebagainya.

Dari segi gerakan dan organisasi massa (ormas), kita mengenal beberapa segmen, antara lain: Sarekat Dagang Islam-SDI (1905); Jamiatul Khoiriyah (1905); SDI berubah menjadi SI (1911); Muhammadiyah (1912); al Irsyad (tt); Persis (1923); NU (1926); Perti (1928); al Washliyah (1930); dan lain-lain. Adapun yang berbentuk partai politik, antara lain: PSI (1923); Perti (tt); Partai Arab (tt); Masyumi (1943); NU (1953), PSII (tt), Parmusi (tt), dan lain-lain.

Kini, partai politik Islam terfragmentasi pada berbagai partai, antara lain: PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB. Di kalangan pemuda dan mahasiswanya, terdapat sejumlah organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, antara lain: PMII, HMI, IPNU/IPPNU, Pemuda Muhammadiyah, IMM, PII, dan lain-lain. Pada kelompok kepentingan (interest group), terdapat beberapa organisasi, antara lain: FPI, HTI, KISDI, Lasykar Jihad, JAT, MMI, LDII, JIL, JIM dan lain-lain.

Oleh karena itu, jika dilihat dari perspektif politik, tidak selalu orang NU didentikkan dengan salah satu partai politik tertentu. Namun, dalam bidang aqidah, muamalah, dan harakah  orang NU mempunyai manhaj sendiri yakni manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah yang bersifat dinamis dan moderat dalam menghadapi persoalan. Kemoderatan ini berangkat dari konsep wasathiyah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa sebaik-baiknya sesuatu adalah yang berada di tengah atau ayat ke-143 surat al Baqarah tentang pembentukan umat yang wasathan.


*Tim Redaksi Tebuireng Online