sumber foto: Dokumentasi tebuireng.online

Oleh: Ananda Prayogi

Aku adalah seorang siswa yang tengah duduk di bangku kelas 6 SD, tepatnya di SDN 3 Pringsewu, Lampung. Setiap harinya, waktuku didominasi dengan rutinitas bersama teman-teman entah itu ngopi bareng, PS-an bareng, atau pun cangkrukan bareng, serba bareng.

Suatu sore yang penuh rasa lelah, sepulang ngerumpi bareng dengan teman-teman, kurebahkan diriku di kasur yang lembut, aku hempaskan segala rasa penat yang tengah hinggap di tubuhku seharian ini. Tiba-tiba, terdengar suara berat bersumber dari lelaki gagah, “Kemasi barang-barang kau nak, besok kita ke tanah Jawa,” kata seseorang yang tak lain adalah Ayahku.

“Hah, kenapa Yah?” tanyaku dengan rasa kaget.

“Sudahlah, ayo kemasi,” jawab Ayah singkat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

***

Sebulan Kemudian…

Kuucapakan bismillahirrahmanirrahim untuk mengawali hidupku di tanah baru, tanah Jawa, Pulau Jawa. Orang tuaku baru saja melakukan perjalanan pulang ke daerah tercinta beberapa menit yang lalu. Hingga menyebabkan air mataku yang tak terbendung ini meluap membasahi kedua pipiku. Bukanlah semata-mata karena cengeng, melainkan juga karena memikirkan nasibku di sini yang jauh dari pengawasan dan bimbingan orang tuaku. Biar bagaimanapun, merekalah orang yang telah mengasihi aku sejak dalam kandungan dengan tulus, iklas, serta kasih sayang.

Ternyata sekarang aku tahu, mereka membawaku ke sini ingin memasukan aku ke sebuah pondok. Hari-hariku bersama orang tua pun diakhiri dengan keterjatuhanku dalam lingkupan penjara suci ini. Terkurung dalam dekapan sebuah pesantren besar di Jawa Timur, Pondok Pesantren Tebuireng.

***

Dari loteng tendon Wisma Hadji Kalla, kupandangi langit, semburat senja yang mulai menyeruak perlahan tapi pasti mengantarkan sang mentari tenggelam menuju tidur panjangnya. Langit berwarna kuning kemerahan menghiasi suasana indahnya sore di seluruh penjuru area pondok pesantren. Angin berdesir lembut menerjang tubuhku, ingin rasanya kuteriakkan setiap untaian kata puji syukur kepada sang Pencipta alam semesta ini yang akan kulantunkan dengan keiklasan dan kebahagiaan. Betapa indahnya kehidupan di lingkungan pondok pesantren ternyata. Sangatlah bersyukur aku dapat masuk ke dalamnya. Kini, berlalulah waktuku di sini selama tiga tahun. Dan tiga tahun kemudian, genaplah sudah masa remajaku dihabiskan di tempat yang mulia ini.

Di Penjara suci ini, aku hanyalah bagaikan seekor ikan kecil yang berada di samudra luas, yang dapat menyelami dan mengarungi ribuan ilmu di sini, bak seluas laut membentang. Di sinilah aku diajari untuk hidup bersama dan mengerti antara satu sama lain. Berbagai macam kesan pun muncul ketika menghadapi orang-orang dari berbagai macam daerah. Di sinilah pula aku diuji untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan apapun keadaannya, misalnya dengan diuji seberapa besar kesabarannya. Aku ingat, ketika aku antri di antara ribuan santri yang hanya merebutkan tiga kantin kecil setiap ba’da Isya, aku menerobos tanpa malu. Ha ha, jadi lucu rasanya ketika terbayang ingatan itu. Memang seringkali sebuah kenakalan-kenakalan kecil dapat menjadi kenangan indah di masa kemudian.

Terkadang, terbesitlah sebuah pertanyaan yang biasa bersembunyi dalam memoriku ini, “Udah dapet apa aja aku di sini selama ini?” sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa aku jawab.

Allahu akbar Allahu akbar… Oh! Aku tersadar dari lamunanku ketika azan maghrib berkumandang. Kini, matahari benar-benar telah tenggelam ditelan gelapnya malam di ufuk barat. Aku segera turun dari loteng wisma menuju tempat wudu. Sebelum itu, sekilas aku melihat sehelai putih di pojok gelap loteng dekat tandon. Rasa penasaran pun tak terbendung dan akhirnya aku mengambil suatu itu yang ternyata adalah sebuah surat.

“Astaga! Surat ini bertujukan kepadaku!? Tertuliskan nama Hasan, namaku. Lantas, Aku baca surat tersebut,” aku hanya mampu bergumam pada diri sendiri.

Bacalah akhir surat al-kahfi selalu, always do your best, and let God do next

Setelah tenggelam lagi dalam lamunan, azan pun selesai dan aku langsung menuju ke masjid untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Seraya aku terus memikirkan siapa tokoh di balik pengirim surat misterius ini.

**

Beberapa tahun kemudian…

Angin pagi membawa kehangatan di bawah teriknya sinar mentari. Acara prosesi wisuda purna siswa pagi hari ini berjalan lancar hingga pembacaan wisudawan-wisudawati terbaik seluruh unit tingkat SLTA di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari.

“Hadirin wal hadirat, Wisudawan terbaik, tahun 2016 adalah ananda…” suara pembawa acara itu menggetarkan dadaku. Entahlah kenapa, seperti akan ada sesuatu yang terjadi.

“Muhammad Hasan bin Suharto, Lampung,” benar. Air mataku berlinang membanjiri kedua pipiku dan lantas aku peluk kedua orang tuaku.

“Nak, kau hebat Nak. Kau membuat kami bangga Anakku,” aku mendengar dalam dekapanya seraya menangis bahagia.

“Allah tidak akan menyia-nyiakan usahakau selama ini Nak,” Ayahku menimpali kata-kata bijaknya sembari mengelus kepalaku.

“Terima kasih Ayah, Ibu, semua ini berkat doa kalian,” aku akhiri tangisku dan maju ke panggung kehormatan untuk menerima hadiah penghargaan bersama kedua orang tuaku. Aku merasakan sensasi kebahagiaan yang luar biasa ketika ribuan teman-temanku melambaikan tangan seraya menangis beriring ucapan selamat kepadaku.

Ingin sekali lagi kuteriakkan untaian puji syukur kepada Dzat Sang Pemberi semua nikmat ini. Alhamdulillah, kini, kumenyandang gelar alumnus yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakatku yang sekarang sedang menunggu di rumah sana. Mungkin juga bukan hanya di desa, bahkan di seluruh penjuru dunia. Mereka semua menaruh sebuah harapan besar di pundakku. Begitulah yang dituturkan kedua orang tuaku kepadaku.

Seringkali banyak orang yang bertanya kepadaku, “Bagaimana caramu agar jadi sukses seperti ini?” aku tak bisa membalas lebih banyak, kecuali sebuah jawaban yang sering aku lontarkan, “Semua ini berkat Allah. Keputusanya mutlak tak ada yang dapat mengelak. Tetapi tentunya Ia tidak asal memutuskan suatu perkara. Ia meliat, menelisik bagaimana dan seberapa keras si kecil hambanya berusaha. Dan dari usaha itulah, muncul keputusaNya yang bijak. Hingga aku menjadi seperti ini,” ungkapku pada siapapu yang bertanya soal keberhasilanku.

Segala pertanyaan yang dahulu sempat terbesit pun seluruhnya terjawab, “Dapat apa aja aku selama ini?” aku telah menjawabnya, “Sebuah kesuksesan serta ridho orang tua,” itulah yang penting.

Aku ingat, ketika awal kumenemukan sehelai surat, lantas aku menuruti apa yang ada di surat itu, yaitu membaca akhir ayat dari surah al kahfi. Kuulang-ulang setiap hari seraya kupanjatkan doa agar diberi kecerdasan dalam belajar, bisa membanggakan kedua orang tua, dan bisa sukses dunia akhirat. Seiring kujalani rutinitas ini, aku merasakan semakin lama semakin mudah aku dalam menyerap ilmu, prestasi pun membanjiri ruang kamarku dangan teman-teman. Halangan dan rintangan selalu ada menghadang, tapi tetap teguhku dengan bantuan doa orang tua yang setiap hari tidak lupa untuk kupinta doanya. Dan akhirnya hingga kini aku baru merasakan manisnya madu kesuksesan dari pahitnya sebuah perjuangan yang diawali dengan surah al-kahfi. Andaikan waktu itu tiada terbesit pun pemikiran ayah untuk memasukanku ke pondok pesantren, apakah hasilnya juga akan seperti ini?

Tapi sekarang sebuah pertanyaan yang masih bergentayangan di otakku, “Dari siapakah surat itu?”

The End


*Siswa kelas XI MAK di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang

SebelumnyaBulan Ramadan, Rijalul Ansor akan Gelar Hataman Khazanah Aswaja
BerikutnyaSepuluh Hari Terakhir Ramadan