Oleh : Yayan Mushtofa
Mengkaji pesantren tidak akan lepas dari kitab kuning. Menariknya, kitab kuning bertuliskan dengan huruf Arab dalam pesantren bukan hanya karya ulama Timur Tengah saja, melainkan para kiai pesantren juga menuliskan pandangannya dalam bahasa Arab. Termasuk karya Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari yang satu ini, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sedikit membingungkan kenapa kiai Pesantren menuliskan pandangan mereka dalam bahasa Arab, sedangkan penduduk Indonesia yang seyogyanya diandaikan sebagai pembaca, disuguhi sesuatu yang mereka pasti tidak akan membacanya? Kemudian untuk apa karya yang mereka torehkan?
Jawabannya yang akan disodorkan oleh Martin Van Bruienessen sebagai salah satu pengamat pesantren tiada lain adalah untuk menambah nilai kehormatan. Kemegahan intelektual tersendiri bagi pengkaji ilmu keislaman, termasuk para kiai, ketika menorehkan opininya dengan bahasa Arab.
Ini yang membedakan antara intelektual pesanten sebagai ulama tradisional dengan ulama modernis sekitar tahun 1920-an. Ulama modernis, kata Martin, menorehkan pandangannya dengan huruf Melayu, itupun belajar dari karya-karya terjemahan.
Bukan berarti bisa disimpulkan bahwa pengaruh tulisan yang berbahasa Melayu terhadap gerakan massa mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada yang bertuliskan dengan Arab, termasuk pegon. Pesantren mempunyai strategi tersendiri dalam kekuatan basis massa walaupun karyanya bertuliskan bahasa Arab yang hanya dipahami oleh kalangan pesantren.
Zamakhsyari Dhofier menganalisa ada keterkaitan kuat antara sesama pesantren dari garis genealogi. Dengan pola mengajari santri mengelola pondok, menikahkan dengan perempuan pilihan kiai, membangun pondok untuk santri kadernya di tempat lain, sampai pada memberikan beberapa santri sebagai bekal awal.
Ternyata di lapangan, santri tidak hanya mengaji pada kiai, tapi juga melakukan propaganda kultural agar pemuda atau warga sekitar pondok juga ikut mengaji di pesantren. Terkenal dengan sebutan “santri kalong”, mereka yang berangkat mengaji tetapi tetap berdomisili di rumah.
Dari strategi seperti itu, karya kitab kuning juga mempunyai pembacanya tersendiri dengan bimbingan kiai pesantren. Mempunyai pengaruh lebih kuat daripada tulisan berbahasa Melayu, karena hubungan kiai dengan santri dalam pesantren adalah hubungan kekeluargaaan yang lebih kental dibandingkan tulisan lepas berbahasa Melayu dengan pembacanya. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa struktur pola kiai-santri adalah kerajaan. Titah kiai tidak bisa diganggu gugat, tapi tidak demikian halnya di lapangan.
Terbukti dari lima ratus karya ulama nusantara yang beredar, baik karya ulama modernis ataupun tradisional, dua ratusan berbahasa Melayu, seratusan berbahasa Arab, seratus lima puluhan berbahasa Jawa, selebihnya berbahasa Sunda, Madura, dan Aceh. Tidak menjamin kuantitas karya Melayu mendominasi gerakan massanya.
Lahirnya “Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”
Penuturan Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari dalam “Risalah”, munculnya golongan beraneka ragam keagamaan di tanah Jawa tahun 1330 H, atau bertepatan dengan 1926 M. Jauh sebelum itu, muslim Jawa masih mengikuti para pendahulunya, bermadzhab Imam Syafi’i dalam fiqih, Abu Hasan al-Asy’ari dalam teologi, Imam al-Ghazali dan Abu Hasan al-Syadzili dalam tasawuf.
Sepertinya kitab ini lahir setelah kongres Islam ke-IV di Bandung 1926. Dhofier mengatakan bahwa dalam kongres itu para kiai tradisional mengusulkan untuk terpeliharanya praktik-praktik keagamaan tradisional, khususnya bermadzhab. Peserta kongres yang dipimpin oleh kebanyakan ulama modernis mengabaikan usulan para kiai tradisional. Hadratussyaikh kecewa besar tentang kebijakan itu.
Hasyim Asy’ari lantas membentengi diri dari serangan ajaran-ajaran baru yang beredar ketika itu. Dibantu oleh santri-santri beliau seperti KH. Wahab Hasbullah, Kiai Ilyas, KH. Ma’sum, dan lainnya mendirikan organisasi (NU) dan perluasaan pesantren guna menanamkan lebih gencar lagi Ahlus Sunnah Wal Jamah (Aswaja).
Ada enam kegiatan yang dicanangkan untuk membumikan Aswaja dalam paparan Dhofier. Pertama, memberkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia dengan ajaran bermadzhab. Kedua, memberikan bimbingan yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penyebaran ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan madzhab empat. Kempat, memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya. Kelima, membantu pembangunan masjid, langgar dan pondok pesantren. Terakhir, membantu mengurusi anak-anak yatim piatu dan fakir miskin. Di samping itu mengusahakan pendirian badan-badan dagang untuk memajukan ekonomi para anggota NU.
Sebenarnya, kehawatiran Mbah Hasyim bukanlah perkembangan keilmuan keislaman yang semakin beraneka ragam dalam tanah Jawa. Melainkan “nakhussu ikhwana ‘awa al-muslimin”, kebelumsiapan kaum awam untuk beragama dengan menggali langsung dari sumbernya.
Martin van Bruinessen mengungkapkan bahwa Hadratussyaikh M.Hasyim Asy’ari adalah salah satu penggemar tafsir Muhammad Abduh. Akan tetapi beliau melarang santri-santrinya membaca tafsir tersebut bukan karena pandangannya yang nasionalis, melainkan ejekan-ejekannya terhadap ulama tradisional yang parah.
Dari sini, Kiai Hasyim berusaha menengarai antara kesiapan muslim-jawa dan perkembangan keilmuan keislaman yang masuk tanah Jawa. Tetap menjaga praktik keagamaan para pendahulu, tanpa alergi dengan kemajuan keilmuan. Simpelnya, beliau memahami ilmu yang perlu diterapkan karena memang sudah siap, mana ilmu yang masih perlu dalam wacana, dan bagaimana menyikapi problematika yang berkembang.
Dengan mengambil contoh ulama sekaliber Imam Bukhari masih bermadzhab Syafi’i, Imam al-Syibli bermadzhab Maliki, al-Jariri bermadzhab Hanafi, dan seterusnya. Dalam artian, bermadzhab bukanlah sebuah kekeliruan yang lantas ditinggalkan dan beralih secara membabi buta menggali hukum dengan “nalar” sendiri seperti beberapa golongan yang disebutkan dalam “Risalah”.
“An Yanfa’a Bihi Nafsi wa Amtsali min Al-Juhhal,” semoga memberikan manfaat bagi saya dan yang sepadan saya dari golongan orang bodoh. Penggalan statemen pembukaan itu seakan diselorohkan pada ulama Indonesia baik yang modernis maupun tradisional agar bisa memahami waktu kapan ilmu itu dibumikan, ilmu itu sebatas wacana atau perlu ditetapkan, dengan siapa ilmu itu perlu dibicarakan, dan seterusnya. Bukan gegabah pamer ilmu dan menyodorkan pada semua orang.
Output Pesantren
Risalalah ahlus sunnah wal jamaah ini memberikan beberapa pelajaran yang perlu dipertahankan oleh kalangan pesantren. Antara lain tradisi menulis, baik berbahasa Arab maupun berbahasa Melayu. Perbedaan bahasa ketika itu menggambarkan perbedaan golongan modernis dan tradisional, tapi hari ini, tulisan berbahasa Melayu (Indonesia) bukanlah sebuah tanda perbedaan golongan.
Kedua, kalangan pesantren tidak lepas dari kitab kuning. Menjadi wagu apabila seorang santri atau lulusan pesantren menjadi awam dengan literatur Arab. Ketiga, kajian pesantren bersinggungan secara langsung dengan realita yang ada. Sehingga santri tidak diandaikan mengkaji keilmuan yang melangit tanpa mengenali problematika yang ada dalam masyarakat.
Keempat, tidak berhenti dalam jawaban wacana yang beredar dan diedarkan dalam tulisan dan lisan, melainkan pada gerakan riil semacam organisasi, pembangunan lembaga pendidikan, atau lainnya yang menangani problematika yang beredar.
Kelima, menyikapi masalah dengan bijak. Menjaga tradisi baik yang ada, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (al-Muhafadzah ‘ala al-Qadimi al-Shalih, wal akhdu bi al-Jadid al-Aslah). Masih banyak lagi list yang bisa kita ambil dari kitab risalah dan sejarahnya. Allahu A’lam!
Penulis : Yayan Musthofa, Alumni Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari
Penulis ulang artikel : Masnun Muhammad
Publisher : M. Ali Ridho