Ada sebuah hadits disampaikan oleh Imam az-Zarnuji dalam kitab ta’limul muta’allim. Dari isinya mengisyaratkan tentang pentingnya sikap wara’ dalam menuntut ilmu.
مَنْ لَمْ يَتَوَرَّعْ فِي تَعَلُّمِهٖ اِبْتَلَاهُ اللّٰهُ تَعَالَى بِاَحَدِ ثَلاَثَةِ اَشْيَاءَ : اِمَّا اَنْ يُمِيْتَهُ فِي شَبَابِهٖ اَوْ يُوْقِعَهُ فِيْ الرَّسَاتِيْقِ اَوْ يَبْتَلِيْهُ بِخِدْمَةِ السُّلْطَانِ
“Barang siapa tidak bersikap wara’ dalam menuntut ilmu, maka Allah akan mengujinya dengan salah satu dari tiga perkara: meninggal saat muda, tinggal di desa yang dikelilingi orang-orang bodoh, atau sibuk melayani raja.”
Wara’ adalah sikap menjaga diri dari hal-hal yang haram. Sikap ini tidak pernah lepas dari kepribadian ulama-ulama besar seperti Imam asy-Syafi’i, Imam al-Haramain, dan Imam al-Ghazali. Bagi mereka, menjauhi perkara syubhat terutama haram adalah hal yang wajib, hal ini semata-mata bertujuan agar mereka mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan diridhai oleh Allah SWT.
Ilmu adalah cahaya yang Allah berikan pada hati hamba-Nya. Cahaya ini tidak akan pernah didapat oleh orang yang berbuat maksiat. Orang yang hatinya tertutup maksiat akan kesulitan menerima ilmu.
Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya Imam Waki’ tentang hafalannya yang buruk. Gurunya lalu menjawab, bahwa penyebabnya adalah kemaksiatan. Cerita ini beliau sampaikan dalam sya’ir:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ# فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
“Aku mengadu pada guruku, Waki’, tentang buruknya hafalanku”
وَأَخْبَرَنِيْ بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ# وَنُوْرُ اللهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِيْ
“Ia memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah takkan pernah diberikan kepada pelaku maksiat”
Ada kisah lain yang tak kalah menarik, yakni kisah Imam Muhammad bin Fadhl seorang ulama’ besar, panutan umat pada masanya. Beliau memiliki seorang ayah yang sangat menjaga makanan dan tidak pernah memberi makanan kepada anaknya kecuali dari hasil tangannya sendiri.
Suatu saat ayah beliau pergi menghampirinya dan menemukan roti yang dibeli di pasar di atas meja, semenjak kejadian itu ayah beliau tidak menyapanya selama beberapa hari. beliau pun pergi ke rumah ayahnya dan memberi penjelasan:
“Wahai ayah, aku tidak membelinya dan aku tidak rela memakan roti tersebut, akan tetapi temanku mendatangiku dan memberinya”.
Ayahnya pun berkata:
“Jika engkau berhati-hati dan bersikap wara’ niscaya temanmu tidak akan memberi roti tersebut”.
Alasan ayah beliau marah saat mengetahui di rumahnya ada roti yang dibeli di pasar adalah karena makanan pasar kala itu rawan sekali terkena najis karena kelalaian para penjual. Banyak penjual kala itu yang tidak memperdulikan kebersihan dan kesucian barang, mereka hanya sibuk mencari keuntungan. Ia tidak ingin anaknya memakan makanan yang bercampur najis karna mengonsumsi najis adalah suatu kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menghalangi masuknya ilmu ke dalam diri manusia.
Meskipun belum dapat dipastikan najis, ayah beliau tetap berhati-hati dalam memilih makanan. Ini merupakan bentuk kesungguhan ayah beliau dalam bertakwa kepada Allah. Sehingga tidak heran jika pada akhirnya anaknya menjadi ulama terkemuka yang menjadi panutan umat, itu sebab keberkahan sikap wara’ yang diajarkan ayahnya kepada beliau.
Dari kisah-kisah di atas dapat kita ambil hikmah bahwasannya mencari ilmu saja tidak cukup untuk memperoleh kemanfaatan ilmu, akan tetapi juga harus disertai sikap-sikap yang baik seperti sikap wara’. Dengan keberkahannya dapat memberikan kemudahan dan kemanfaatan ilmu kepada penuntutnya. Sikap wara’ sendiri adalah satu dari banyak cara bertakwa kepada Allah SWT, dan orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan segala urusannya teruma dalam urusan ilmu.
Meski terbilang sulit untuk mengikuti tindak laku para ulama-ulama besar seperti kisah di atas, setidaknya kita bisa meniru meskipun hanya sebagian atau dengan cara yang lebih ringan, mungkin saja usaha dan kiat kita untuk meniru para ulama menjadi keberkahan sendiri yang akan memudahkan kita dalam menuntut ilmu dan memperoleh ilmu manfaat.
Baca Juga: 10 Etika Santri Terhadap Dirinya Sendiri Menurut Kiai Hasyim Asy’ari
Ditulis oleh Samsul Arifin, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang.