Oleh: Hilmi Abedillah*
Beberapa orang masih beranggapan bahwa shalat li hurmatil waqti ialah shalat yang bisa dilakukan seenaknya saja. Bisa duduk, membelakangi kiblat, atau tanpa bersuci. Orang yang tidak bisa memenuhi syarat-syarat sah shalat, diperintah untuk tetap shalat ketika sudah masuk waktunya.
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisa’: 103)
Saking wajibnya, shalat harus ditunaikan setiap hari lima kali dalam keadaan apapun, selama tidak haid atau nifas. Meskipun ia sakit, meskipun bepergian, meskipun tidak menemukan air, meskipun tidak mampu berdiri, dan seterusnya. Selain wajib, shalat merupakan ibadah yang ditentukan waktunya. Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’, dan Subuh ialah waktu di mana umat Islam diharuskan menjalani shalat dengan jumlah rakaat tertentu. Dalam keadaan bepergian, shalat (selain Subuh) bisa dijamak sehingga dua shalat dapat dilakukan pada satu waktu.
Ketika ia tidak bisa memenuhi syarat sah shalat yang meliputi: [1] suci badan dari najis dan hadats, [2] menutup aurat dengan pakaian suci, [3] melaksanakannya di tempat suci, [4] mengetahui masuknya waktu, [5] menghadap kiblat, maka shalat dilakukan li hurmatil waqti. Begitu pula jika keadaan tidak mengizinkan ia berdiri dan rukuk-sujud. (al-Hawi, II, 232; Raudlatut Thalibin, I, 31)
Shalat li hurmatil waqti ialah shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna (karena tidak memenuhi syarat sah dan rukun) untuk menghormati waktu shalat. Beberapa contoh orang yang shalat li hurmatil waqti, pertama, Orang yang bepergian naik kereta api yang menghabiskan lebih dari dua waktu shalat (misalnya 14 jam perjalanan), dan khawatir ketinggalan saat kereta berhenti di suatu stasiun.
Kedua, orang yang habis operasi dan bekas operasinya belum boleh terkena air (masih mengandung najis). Ketiga, pendaki gunung yang pakaiannya terkena najis dan tidak membawa pakaian lain yang suci. Keempat, Orang yang berada di tengah hutan yang tidak bisa wudlu karena air tidak terjangkau dan tidak bisa tayamum karena tanahnya lembab. Kelima, Orang yang ditahan di tempat najis. Keenam, Orang yang tidak bisa menghadap kiblat padahal ia tahu arah kiblat. Masih banyak contoh yang lainnya.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidatina ‘Aisyah yang mendasari model shalat ini:
أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ قِلَادَةً مِنْ أَسْمَاءَ فَهَلَكَتْ ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنَاسًا فِي طَلَبِهَا ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسُوا عَلَى وُضُوءٍ ، وَلَمْ يَجِدُوا مَاءً فَصَلُّوا وَهُمْ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ
“Sesungguhnya ia (‘Aisyah) meminjam kalung dari Asma’ lalu hilang, kemudian Rasulullah saw mengutus beberapa orang untuk mencarinya. Lalu datanglah waktu shalat dan mereka tidak punya wudlu dan tidak menemukan air. Maka, mereka shalat tanpa wudlu, kemudian Allah menurunkan ayat tayamum.” (al-Jami’ ash-Shahih, VII, 106; Hasyiyata Qolyubi wa ‘Umairah, I, 493)
Shalat li hurmatil waqti adalah shalat yang sah dan menggugurkan kewajiban. Namun, masih diwajibkan i’adah (mengulangi) setelah keluar dari keadaannya menurut madzhab Syafi’i, sebab udzur yang langka. Jadi, andaikan seseorang meninggal sebelum keluar dari keadaannya, ia sudah tidak punya dosa tanggungan shalat. Karena ini shalat yang sah, maka harus dilakukan semampu mungkin. Bukan berarti saat kita shalat li hurmatil waqti kita bisa menghadap ke mana saja. Selama mampu menghadap kiblat, ya harus menghadap kiblat. Selama mampu bersuci, ya harus bersuci. (Nihayatul Muhtaj, II, 36; V, 15)
Nabi SAW bersabda:
إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkanmu sesuatu, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu.”
Bagi faqidut thahurain (orang yang tidak menemukan air dan debu untuk bersuci), hanya boleh melakukan shalat wajib saja, tidak boleh shalat sunnah, dan tidak boleh pula membawa mushaf. Apalagi jika junub, yang dibaca dalam shalat hanya sebatas yang rukun saja, karena tidak ada paksaan dalam membaca bacaan sunnah. (Fiqh Ibadat, I, 171).
Namun bagi orang yang tidak menemukan pakaian, ia shalat secara telanjang dan tidak wajib i’adah. Berbeda dengan muhdits (orang yang hadats) dan orang yang di badannya ada najisnya. (Nihayatul Muhtaj, I, 17).
Shalat li hurmatil waqti merupakan ciri khas Madzhab Syafi’i. Begitu juga dalam pewajiban i’adah. Maka tak boleh bagi kita memahami bahwa sejatinya shalat ada di i’adah-nya itu, sehingga shalat yang li hurmatil waqti boleh dilakukan seenaknya saja. Shalat demikian bukanlah shalat yang dilakukan ngawur, namun dilakukan semampunya, sesuai keadaan orang yang melakukannya. Betapa Allah murah hati kan?
*Redaktur Majalah Tebuireng dan alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng