Afrika Selatan merupakan negeri yang dulu tersohor dengan praktik apartheidnya, sejatinya di sana merupakan bangsa yang memiliki tingkat keragaman tinggi. Tak hanya keragaman budaya, masyarakat negeri ini juga memiliki latar belakang bahasa dan agama yang berbeda-beda. Tak terkecuali umat Islam, ikut pula berkontribusi dalam memberi warna keragaman di Afrika Selatan.
Memiliki puluhan juta penduduk, sebelas bahasa, sembilan provinsi, dan wilayah yang luas mencakup padang pasir, savana, dan pegunungan bersalju, Afrika Selatan memiliki hampir semua aset yang boleh jadi tak dimiliki banyak negara lain.
Berdasarkan sensus terakhir, terdapat lebih dari 40 juta orang yang hidup dan menetap di Afrika Selatan. Dari jumlah tersebut, 76,7 persen di antaranya digolongkan sebagai bangsa asli Afrika. Sementara, sisanya merupakan bangsa kulit putih, India, dan Asia lainnya.
Penduduk negeri ini terdiri dari beberapa kelompok, di antaranya bangsa Nguni yang merupakan penduduk pribumi dari suku Zulu, Xhosa, Slowakia, dan Swazi. Bangsa ini mengisi dua pertiga dalam komposisi penduduk Afrika Selatan. Selain bangsa Nguni, ada pula bangsa Sotho-Tswana, Tsonga, Venda, Inggris, India, serta bangsa-bangsa lainnya yang bermigrasi ke Afrika Selatan dengan tetap mempertahankan identitas budaya mereka.
Meski jumlah umat Islam tak sampai dua persen dari keseluruhan populasi, komunitas Islam berkontribusi besar dalam memberi warna terhadap keragaman penduduk Afrika Selatan. Sejarah mencatat, masuknya Islam ke Afrika Selatan terjadi dalam dua tahap imigrasi. Imigrasi tahap pertama berlangsung pada 1652 hingga pertengahan 1800-an. Pada tahap ini, imigran Muslim yang masuk ke negara ini adalah para budak, tahanan politik, dan pelaku tindak kriminal dari Afrika dan Asia.
Bangsa Melayu yang melayani pejabat Belanda dalam perjalanan kembali dari Timur (Asia) termasuk salah satu kelompok Muslim yang ikut pada tahap pertama imigrasi Muslim ke Afrika Selatan. Para pelayan ini memilih menetap di Cape Town. Tak heran, hingga saat ini Cape Town dikenal sebagai rumah bagi Muslim Melayu.
Setelah kedatangan para imigran Muslim dari Melayu, Islam pun menyebar dengan cepat di Afrika Selatan. Hal itu juga sebagai imbas dari kemajuan dunia pendidikan dan kesusastraan. Ada pula faktor lain yang mendorong perkembangan Islam, yakni perpindahan agama, adopsi, pembebasan budak, serta perkawinan.
Ketika sistem perbudakan dihapuskan pada 1838, Pemerintah Inggris mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja. Pemeritah Inggris lalu membawa orang-orang dari India untuk dipekerjakan sebagai buruh ladang tebu di Natal. Kala itu, antara 1860 hingga 1911, banyak warga India dari berbagai latar belakang agama, termasuk Islam, dibawa ke Afrika Selatan, utamanya di Provinsi Natal. Diperkirakan, sebanyak 7-10 persen pekerja yang dibawa dari India adalah Muslim.
Kehadiran para pekerja Muslim dari India menandai tahap kedua imigrasi Muslim ke Afrika Selatan. Kaum Muslimin dari India ini umumnya berasal dari Malabar, pantai barat India Selatan, dan Hyderabad.
Pertahankan Identitas Budaya
Meski bertahun-tahun hidup di negeri seberang, para imigran Muslim itu tak lantas lupa akan budaya dan bahasa asal mereka. Muslim dari India misalnya, meski hidup sebagai minoritas di negeri orang, mereka tetap menggunakan bahasa Urdu atau Gujarat untuk berkomunikasi antarsesama mereka.
Pada sekitar 1860-an, setiap buruh kontrak yang beragama Islam didampingi oleh imigran Muslim lainnya yang berstatus bebas di antaranya Syekh Ahmad yang dikenal sebagai pemimpin Islam pertama di Natal.
Tokoh Islam berikutnya di Natal hadir pada 1895, yakni Soofie Saheb. Ia melihat, umat Islam dari India yang tingkat kesejahteraannya rendah berisiko untuk “ditarik” masuk ke agama Hindu. Soofie Saheb lalu mencari cara agar kaum pekerja Muslim yang miskin ini tidak terpengaruh oleh agama lain. Upaya pertama yang ia lakukan adalah mengadakan festival rakyat Islam dan mendirikan madrasah bagi para buruh Muslim India dan keluarganya.
Setelah menyelesaikan tugas sebagai buruh kontrak, imigran Muslim di Natal bebas untuk hidup di pedalaman Afrika Selatan. Beberapa dari mereka memilih tinggal di Cape Town, Transvaal, dan Kimberley.
Meski antara Muslim Melayu dan India memiliki perbedaan ideologi, budaya, dan bahasa, mereka hidup damai. Alhasil, komunitas Muslim di Afrika Selatan pun terus mekar. Perkembangan ini tak lepas dari peran dan kerja keras para ulama dan tokoh masyarakat Muslim. Mereka giat mendirikan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan untuk mendorong pertumbuhan Islam di Afrika Selatan.
Saat ini, di Afrika Selatan terdapat lebih dari 500 masjid dan 408 lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi di sana yang menawarkan program studi bahasa Arab dan studi Islam.
Meski merupakan kelompok minoritas, umat Islam dilibatkan dalam setiap bidang profesi dan usaha. Mereka juga memainkan peran penting dalam perjuangan anti-apartheid (politik membedakan masyarakat berdasarkan warna kulit). Pada pemerintahan pasca-apartheid pun, Muslim tetap diberikan ruang untuk memberikan sumbangsih bagi negara.
Untuk menyebarkan dakwah Islamiyah, komunitas Muslim diperbolehkan mendirikan stasiun radio. Stasiun radio Islam swasta ada di hampir semua provinsi di Afrika Selatan, seperti Radio Islam di Johannesburg, Radio 786 di Cape Town, dan Radio Al-Anshar di Durban.
Tak hanya radio, komunitas Muslim juga menerbitkan sejumlah surat kabar. Selain untuk berdakwah, surat kabar itu juga bermanfaat untuk menyebarluaskan informasi-informasi keislaman. Surat kabar itu, di antaranya Al-Qalam, the Muslim Digest, Ar-Rasheed, Views Muslim, Al-Ummah, dan the Majlis.
Di bidang sosial kemanusiaan, organisasi Muslim lokal telah melakukan berbagai aksi sosial kemanusiaan. Lembaga kemanusiaan, seperti The Gift of the Givers Foundation, Africa Muslim Agency, Crescent of Hope, dan the Islamic Medical Association of South Africa telah banyak memberikan bantuan kepada komunitas Muslim dan non-Muslim yang terjebak dalam konflik bersenjata, bencana alam, dan pergolakan politik.
Di bidang pendidikan, para mahasiswa Muslim di Afrika Selatan membentuk komunitas dan asosiasi mahasiswa Muslim di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Pembentukan komunitas Muslim itu tak hanya dilakukan oleh mahasiswa Muslim laki-laki, tapi juga wanita (Muslimah).
Komunitas Muslim di kalangan mahasiswa antara lain Islamic Da’wah Movement dan Women’s Wing di Cape Town, Islamic Women’s Association, dan Jama`at-un-Nissa di Durban, serta Muslim Women’s Federation.
Ada pula gerakan kepemudaan yang turut mewarnai dinamika perkembangan Islam di Afrika Selatan. Beberapa asosiasi kepemudaan yang didirikan adalah Fordsburg Muslim Youth Organisation di Johannesburg, Laudium Islamic Youth Awareness Movement di Pretoria, Muslim Youth Unity di Cape Town, Nur-ul-Islam Yield Youth Association di Cape Town, the Kauther Youth Circle di Johannesburg, dan Saut-us-Shabaab di Cape Town.
Jejak Nusantara
Afrika Selatan tercatat berpenduduk muslim lebih dari 1 juta orang. Basis umat muslim terbesarnya berada di Kampung Macassar, sebuah perkampungan yang berada tak jauh dari Jalan Baden Powell, Cape Town. Adalah Syekh Yusuf Al Makasari Al Bantani, ulama asal Makassar yang berjasa menyebarkan Islam di sana.
Syekh Yusuf bersama lebih dari 400 pengikut dan kerabatnya dibawa oleh Belanda yang saat itu menjajah Indonesia, ke Afrika Selatan pada 21 April 1694 karena gigih menentang kolonial Belanda di Tanah Air.
“Syekh Yusuf diasingkan karena gigih melawan belanda. Dia sempat ditahan di Batavia selama setahun. Karena pengaruhnya yang besar melawan kolonial, dia diasingkan ke Srilanka selama 10 tahun. Kebanyakan buku dan karya tulisannya diselesaikan di sana,” beber Adam Philander, Imam Besar Kampung Macassar di Cape Town.
Di Srilanka, Syekh Yusuf justru makin gigih menyebarkan Islam. Dia kerap menanamkan perjuangan melawan penjajah kepada jamaah haji Indonesia yang singgah di Srilanka. Kegigihan Syekh Yusuf pun terdengar hingga ke pelosok Nusantara.
“Syekh Yusuf memberikan motivasi untuk melawan penjajah saat jamaah kembali dari haji. Karena itu rakyat Indonesia makin termotivasi melawan Belanda. Alhamdulllah, Indonesia akhirnya merdeka,” tutur Adam.
Khawatir pengaruhnya yang begitu besar, Syekh Yusuf akhirnya diasingkan dari Srilanka ke Afrika Selatan. Di Cape Town, dia pernah ditahan di salah satu wilayah yang kala itu didiami oleh para pastur dan didominasi kaum kristiani. Kedatangan Syekh Yusuf ditentang keras, bahkan mereka mendesak Syekh Yusuf dikristenkan.
“Tapi Allah punya rencana lain. Malah budak-budak yang bekerja di sana justru memeluk Islam. Sekarang jumlah umat Islam sudah lebih dari satu juta orang,” kata Adam.
Islam merupakan agama termuda di Afrika Selatan, usianya baru 325 tahun. berdasarkan sejarah, sebelum Syekh Yusuf, ada sejumlah ulama lain yang dasingkan dan menyebarkan Islam di Afsel antara lain adalah Syekh Abudrahman Abdussalam dan Syekh Mahmud dari Malaka, serta Syekh Madura dari Madura. Syekh Madura sendiri pernah diasingkan di Pulau Robben.
Syekh Yusuf hanya lima tahun menyebarkan Islam di Cape Town dan meninggal pada 23 Mei 1699. Karena pengaruhnya mengajak penduduk Afsel melawan penjajah, Syekh Yusuf dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Makam Syekh Yusuf di Kampung Macassar hingga kini dijadikan tempat kramat bagi warga sekitar. Sebelum berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, biasanya muslim Afsel selalu berziarah ke makam Syekh Yusuf.
Tak jauh dari makam Syekh Yusuf, terdapat masjid Nurul Latief. Masjid ini dibangun atas bantuan pemerintah Indonesia. Menurut Adam, Presiden kelima RI Megawati Sukarnoputri dan Wapres Jusuf Kalla ikut berjasa dengan menyumbangkan interior masjid, salah satunya adalah mimbar untuk imam salat jumat.
Masjid Auwal di Bookap
Seratus tahun setelah kepergian Syekh Yusuf, Abdullah Kadi Abdus Salam, seorang pangeran asal Tidore diasingkan ke sebuah kepulauan kecil di Cape Town. Oleh penduduk setempat, Abdullah Kadi Abdus Salam dijuluki Tuan Guru.
Selama dalam pengasingan, Tuan Guru menuliskan ayat suci Al Quran hanya berdasarkan ingatannya saja. Ajaibnya, kesalahan isi Al Quran tersebut sangat minim. Hingga kini Al Quran tulisan tangan Tuan Guru tersimpan rapi di dalam Masjid Auwal.
Tuan Guru adalah orang pertama yang mendirikan masjid di Bookap yang berada di jalan 34 Dorp Street, Cape Town yang diberi nama Masjid Auwal. Hingga kini masjid tersebut masih berdiri megah dan digunakan untuk beribadah oleh penduduk muslim setempat. Wilayah Bookap dikenal sebagai salah satu destinasi wisata Cape Town karena rumah bercat warna-warni.
Bookap merupakan daerah yang sejak awal berdirinya dikenal sebagai perkampungan muslim di Cape Town selain kampung Macassar. Tidak heran, jika penduduk setempat mengaku masih memiliki keturunan Indonesia.
Masjid Auwal merupakan masjid pertama sekaligus tertua yang dibangun di Afrika Selatan. Tuan Guru merupakan imam pertama di masjid tersebut. Masjid ini dibangun pada 1794 saat Afrika masih diduduki Inggris. Menurut penduduk setempat, masih banyak warga Bookap yang memiliki garis keturunan langsung dari Tuan Guru.
Disusun oleh Hanivan (Mahasiswa PBA Unhasy Tebuireng)
Dikutip dari berbagai sumber.