Oleh: Dimas Setyawan*

Pada tahun 2013, saya memulai nyantri di Pesantren Tebuireng tepatnya di Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari. Kurang lebih sekitar 8 tahun lamanya, rasanya saya belum sama sekali mendapati mengaji secara langsung pada Gus Zaki. Baik berupa sorogan atau bandongan. Waktu selama itu, nama Gus Zaki hanya beberapa kali lewat di kehidupan saya, dari cerita satu santri ke santri lainnya.

Ketika covid-19 melanda negara kita, banyak sektor yang terkena dampak, baik dari segi ekonomi, sosial, dan juga pendidikan. Tidak ketinggalan pula pendidikan di lembaga pesantren terkena dampaknya.

Ketika Ramadan tiba dan Covid-19 masih melanda, beberapa pesantren di Indonesia tetap menyelenggarakan pengajian kitab (baik dilakukan dengan offline dengan membatasi peserta atau secara online melalui berbagai media seperti youtube atau instagram), mulai dari kitab yang kecil maupun kitab yang besar. Salah satu pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab adala Pesantren Tebuireng.

Pesantren Tebuireng, melalui kanal youtube tebuireng official mengadakan pengajian secara online agar tetap menjaga tradisi pengajian Ramadan dan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat dan tentunya pada santri-santri yang saat itu sedang berada di rumah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Disaat pengajian online tersebut, saya dipercaya oleh pesantren untuk mengelola live streaming pengajian. Dan saat itu pula, saya berkesempatan mengaji bandongan secara langsung kepada almarhum Gus Zaki.

Hampir setiap malam sesudah shalat tarawih, saya mempersiapkan alat-alat untuk live streaming, baik tripot hingga handycam. Dan karena saya juga yang menjaga akun live streaming, maka secara tidak langsung saya duduk di depan beliau dan jarak itu sangatlah dekat antara kami.

Pada suatu pengajian, beliau pernah bertutur tentang banyaknya kewafatan ulama di era covid yang sangat melanda ini, “hanya orang-orang fasiq yang tidak bersedih atas kewafatan ulama.” Tutur beliau.

Dan setelah 2 bulan dari Ramadan itu, saya mendapat suatu kabar duka yang mengejutkan. Gus Zaki meninggalkan dunia yang fana ini di rumah sakit. Pada saat itu pula air mata saya tak mampu menahan rintik yang mengalir.

Perasaan bingung tidak menentu, seketika itu pula teringat akan pesan beliau, “hanya orang fasiq yang tidak bersedih atas kewafatan ulama”. Bagaimana saya tidak bersedih, bilamana yang meninggalkan saya adalah beliau. Baru saja saya merasakan keluasan dan kedalaman ilmu beliau dipengajian Ramadan, teryata itulah pertama kali dan terakhir saya mengaji langsung pada beliau.

Saya meyakini bahwa saat ini beliau telah bersama-sama dengan para orang-orang yang beliau cintai.

Gus, izinkan saya menjadi santrimu, tolong sampaikan salam saya kepada Mbah Hasyim, Mbah Wahid, Mbah Yusuf, Mbah Nyai Khoiriyah, Mbah Kholik, Mbah Syansuri, Mbah Adlan, Mbah Ishaq, Mbah Cholil, Mbah Maksum Ali, Gus Dur, Gus Sholah, Gus Ya’qub dan seluruh Masyaikh Tebuireng.

Tolong sampaikan kepada beliau semua, izinkan saya menjadi santri Tebuireng. Santri yang nakal ini, merindukan dirimu dan para Masyaikh Tebuireng.

Tebuireng, 21 Juni 2021

*Mahasantri Tebuireng.