Oleh: Minahul Asna*

Idul Fitri menjadi salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat muslim se-Dunia. Hari dimana seluruh umat merayakan kemenangan menuju yang fitri, bersih. Semua orang berkumpul, canda gurau dan berbahagia, di saat semua hidangan kuliner aneka rupa menumpuk di meja makan. Ditengah-tengah kebahagiaan tersebut ada satu kisah yang jarang diketahui oleh banyak orang, yaitu kisah Keluarga Sayyiduna Ali Karromallahu Wajhah.

Kisah ini disaksikan oleh dua karibnya; Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali, termaktub pada dua buku; Sirrah Ashabu an-Nabi, karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam adz-Dzahabi.

Pada sore hari terakhir Ramadan, Sayyiduna Ali Karromallahu Wajhah seharian merasa sedih, karena bulan Ramadan akan segera berakhir, kemudian ia pulang dari masjid, sesampai di rumah ia disambut sang istri dengan pertanyaan yang bernada penuh perhatian.

“Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku?” demikianlah sapa Sayidah Fatimah, “tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Setelah terdiam beberapa saat Ali pun menjawab, “Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi…”

Usai diskusi tersebut sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali bin Abi Thalib terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya, seluruh simpanan makanan ia bawa, bukan sekedar 2,5 kg beras untuk memenuhi zakat fitrah.

Ia berkeliling dari pojok kota dan perkempungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu. Sementara istrinya, Sayidah Fathimah az-Zahra, sambil menuntun dua putranya Hasan dan Husein, nampak di tangannya memegang kantong plastik yang besar.

Esok harinya tiba salat Idul Fitri. Sayidina Ali naik mimbar dan berkotbah di Masjid Qiblatain, potongan isi khotbah itu di antaranya tentang beberapa tanda-tanda orang yang mendapatkan “taqwa” dari puasanya yang sebulan penuh:

“Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat…” Begitulah Sayidina Ali, beliau tak akan pernah mengucapkan, sebelum ia sendiri sudah melakukan dan memberi keteladanan.

Seusai Sholat Id, karib beliau, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung kerumah Ali. Sesampainya di sana, kedua hidung dua karib ini mencium aroma yang tak sedap, dari nampan yang berisi gandum dan roti kering yang sudah basi dan disantapnya makanan yang tak layak konsumsi itu dengan lahapnya. Seketika itu Ibnu Rafi’i dan dan Al Aswad ad-Du’ali berucap istighfar, sambil berpelukan dan menangis, karena kedua dada sahabat ini ada yang nyeri di sana.

Merasa tak kuat melihat pemandangan itu, mereka kemudian, berpamitan, sebelum berpelukan, merekapun pergi menjauh dari pemandangan yang menggetarkan itu, di sepanjang jalan mata Ibnu Rafi’i berlinang air mata, perlahan butiran itu menetes di pipinya dan jatuh ke tanah seperti mengukir sebuah jejak kesedihan sampai ke kediamannya. Idul Fitri yang seharusnya penuh suka cita, tapi pagi itu mereka bersedih.

Sementara Abu Al Aswad ad-Du’ali, terus bertakbir di sepanjang jalan, kecamuk dalam dadanya sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah saw. Tiba di depan Rasulullah, iapun mengadu “Ya Rasulallah. Putra baginda, putri baginda dan cucu baginda,” ujar ad-Du’ali terbata-bata. “Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah menenangkan.

“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, ya Rasulullah. Saya khawatir cucu baginda Hasan dan Husein akan sakit.”

“Ada apa dengan cucuku dan keluargaku?”

“Saya tak kuat menceritakan itu sekarang, lebih baik menengoknya…”

Tak berpikir lama, Rasulullah pun segera menuju rumah putrinya. Tiba sampai di halaman rumah, tak ada apa-apa yang dikhawatirkan oleh ad-Du’ali, keluarga itu tak merasa ada apapun yang aneh, justru tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayidina Ali, Sayyidatuna Fathimah dan kedua anaknya.

Mata ad-Du’ali sendiri menyaksikan, ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang datang. Mata Rasulullah pun sembab, beliau terharu, sebab ia sendiri melihat bekas-bekas makanan basi yang sudah disantap keluarga itu dan bauh anyirnya masih menyengat.

“Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah.” Bibir Rasulullah berbisik lembut. Sayidatuna Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, bapaknya sedang berdiri tegak. Gandum basi yang dipegangnya terjatuh ke lantai.

“Ya Rasulallah, kenapa engkau biarkan dirimu berdiri disitu, tanpa memberi tahu kami, oh, relakah engkau menjadikan kami anak yang tak berbakti?” Sayyidah Fatimah pun bertanya “Kenapa engkau menangis? Kenapa pula sahabat ad-Duali mengikuti di belakangmu?”

Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar, “Semoga kelak surga tempatmu Nak. Surga untukmu.” Mereka yang ada di situ lalu menjawab bersama-sama, Allahuma amin…

Dari kisah tersebut menunjukkan kemenangan yang sesungguhnya saat Idul Fitri, dimana kita mencapai kepedulian sosial tertinggi terhadap sesama. Ada 2 hal yang menjadikan kisah ini penuh hikmah yang patut diambil.

Yang pertama yaitu dimana posisi seorang hamba yang ia membutuhkan makan, namun ia mengerti tetangganya yang lebih membutuhkan. Sehingga menyedekahkan seluruh makanan yang tersisa di gudang kepada tetangga-tetangga yang membutuhkan.

Yang kedua yaitu sikap super hormatnya kepada tamu, meskipun sudah menyedekahkan seluruh sisa makanan di gudang, mereka menyisihkan beberapa kurma untuk disuguhkan kepada tamu yang hadir di kediaman beliau namun mereka hanya menyisihkan roti basi untuk dimakan sendiri.

Wallahu A’lam


*Santri Tebuireng