Seorang anak lelaki bersama bapaknya di meja makan.

Anak kecil itu berlari-lari, membawa beberapa mainan untuk dimainkan: mobil-mobilan, jaring belalang, dan beberapa batu untuk dilemparkan ke kolam. Aktivitas sore itu membuat berbagai anak kecil berkumpul selepas sekolah, sementara ibu-ibu mereka senantiasa menjaga di sampingnya sambil membicarakan isu-isu negara terkini atau obrolan tentang pemerintah yang tak kunjung reda.

Di sudut, ada bocah kumal, matanya hanya melongok ke arah anak-anak yang bermain. Matanya tidak berkedip sedikit pun, seakan ada sesuatu yang ia pikirkan, entah apa itu. Ia tidak bersama anak-anak lain yang ceria dan bermain. Ia hanya duduk dengan tangan memeluk lutut, jongkok, dan wajahnya tampak kusam.

Di Indonesia, krisis ekonomi sedang melanda. Hal ini menyebabkan beberapa toko tutup, orang-orang marah, dan di berbagai daerah, mereka turun ke jalan menuntut beberapa poin untuk mendesak pemerintah segera mengambil tindakan.

Ucup, pria 57 tahun yang hidup sebagai petani sekaligus pedagang, merasakan betul dampak krisis tersebut. Sore itu, setelah selesai menyiram kebunnya yang hanya satu petak, ia merasa kaget. Setelah menengok ke kanan-kiri di dalam rumah, ia tidak melihat anaknya. Hanya ada tas yang tergeletak di samping kipas angin yang sedang berputar dan baju sekolah yang tercecer lusuh di kursi plastik.

“Alamak, di mana Dimas ini?” Ia bertanya dalam hati.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ia mencari ke kebun-kebun tetangga, ke empang ikan tempat anaknya biasa bermain, ke sungai yang airnya sedang pasang, hingga ke tempat anak-anak desa bermain kelereng, namun tak kunjung menemukannya. Wajah Ucup panik, ia terus mengusap keringat yang bercucuran. Dimas, anaknya, tampaknya sedang asyik menyaksikan anak-anak yang bermain di gedung pemerintah, ditemani orang tua mereka.

“Pak RT, tahu Dimas kemana?” tanya Ucup.

“Mana aku tahu, Cup. Anakmu itu sudah biasa seperti itu. Biasanya dia hilang, lalu pulang-pulang dengan tubuh basah kuyup karena terjun ke sungai atau nangis tanpa alasan yang jelas,” jawab Pak RT sambil mengelap motor tuannya.

Setelah mencari ke sana kemari namun tak kunjung menemukan, Ucup, ayah Dimas, akhirnya pulang ke rumah. Ia kembali dengan wajah sedikit panik, terus memikirkan keberadaan anaknya. Dua jam berlalu, adzan maghrib pun berkumandang. Dimas akhirnya pulang, tanpa alas kaki, dengan pakaian lusuh dan kusam, seperti anak desa yang hidup biasa-biasa saja.

“Alamak, Nak. Kau kemana tadi? Bapakmu ini mencarimu ke mana-mana.”

“Aku habis melihat gedung besar di sana, Pak. Di samping gedung besar itu,” jawab Dimas.

“Loh, kenapa kamu ke sana, Nak? Itu kan jauh, dan tempat orang-orang terhormat. Kamu pasti tak bisa masuk,” ujar Ucup dengan rasa penasaran.

“Apa itu orang terhormat, Pak? Bukannya semua manusia juga terhormat, Pak? Begitu kata ibu guru tadi pagi.”

“Betul, Nak. Manusia itu terhormat, tetapi dalam kehidupan bernegara, mereka lebih terhormat karena mereka itu pemimpin kita. Pemimpin yang Bapak pilih. Kau tahu kan, Nak, waktu Bapak ikut mencoblos beberapa bulan lalu bersama warga?” jawab Ucup, asal saja, karena ia juga tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan.

Dimas tak kunjung mengerti, ia masih kecil dan belum bisa berpikir terlalu jauh tentang obrolan kenegaraan yang diucapkan bapaknya itu. Ia lantas menghiraukan Ucup dan langsung masuk untuk makan, tetapi nasi belum juga ada.

“Ini kok nggak ada nasi, Pak. Bapak tidak memasak nasi?” tanya Dimas.

“Alamak, Nak. Bapak belum punya uang. Padi hasil kebun Bapak juga, bayam yang Bapak tanam, harganya turun terus. Bapak menjualnya hanya untuk membayar hutang. Bapak tak punya lebihan untuk membeli beberapa kilo nasi, apalagi lauk, Nak.”

“Negara ini sedang krisis, Nak. Semua orang juga sedang kesulitan,” tambah Ucup mencoba menjelaskan.

Dimas masih tidak mengerti tentang apa yang dijelaskan bapaknya. Yang jelas, ia hanya ingin makan, karena ia belum makan sejak siang tadi.

“Pak, aku lihat di sana, di gedung besar itu. Mereka kelihatan bahagia. Anak-anaknya punya mainan sendiri, ibu-ibunya membawa makanan sendiri-sendiri. Nampaknya aku lihat ada ayam, nasi yang banyak, dan minuman-minuman segar,” Dimas bertanya lagi.

“Iya, Nak. Mereka itu pejabat, berbeda dengan kita. Mereka itu pemerintah, beda dengan kita yang hanya rakyat biasa,” jawab Ucup mencoba memberikan pengertian.

“Aku kira kita sama-sama manusia, Pak. Mereka juga manusia, kenapa harus dibedakan seperti ini?” tanya Dimas.

Ucup terdiam. Kepalanya menunduk, ia meneteskan air mata, mengusapnya dengan baju yang ia pakai sejak pagi untuk berkebun. Ia berpikir, anaknya sudah sebesar ini, bertanya tentang hal-hal yang ia sendiri kesulitan menjelaskan. Ia merasa kehabisan kata untuk memberi penjelasan.

Ucup lalu pergi, bergegas untuk memastikan anaknya makan malam ini. Ia mencari hutang hanya untuk sekadar makan sore ini saja. Besoknya, ia harus mencari cara lagi untuk bisa menjual bayam-bayamnya ke pasar dan berharap harganya bisa stabil, agar ia mendapatkan lebihan uang untuk membeli beras.

“Pak, aku besok ingin jadi pejabat saja, ya Pak. Boleh, kan? Biar bisa makan enak, bermain dengan senang hati, dan tidak kelaparan seperti rakyat biasa ini,” kata Dimas.

Langkah kaki Ucup terhenti. Ia menengok sebelum benar-benar pergi untuk mencari hutang. Ucup tersenyum, membuka pintu, menengok Dimas sekali lagi, dan tersenyum. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan jejak. Hanya ada Dimas di rumah itu, menunggu, sementara Ucup pergi mencari hutang demi sesuap nasi.



Penulis: L Malaranggi, Pembelajar, Mahasiswa Aktif. Bisa disapa di @Malarangiii