Buku: Bumi Yang Tak Dapat Dihuni (Foto: Dimas Setyawan)
  • Judul buku: Bumi Yang Tak Dapat Dihuni
  • Penulis: David Wallace-Wells
  • Penerbit: Percetakan PT Gramedia Jakarta
  • Tebal: 330 halaman
  • Isbn: 9786020632346
  • Peresensi: Dimas Setyawan*

 “Mengapa manusia harus menunggu bencana datang lalu melakukan perubahan?”

Kita sepakat bahwa Bumi yang kita tempati sudah mencapai umur ratusan ribuan tahun. Bahkan lebih. Sudah semestinya banyak hal yang telah terjadi dan terlewati dalam proses perjalan panjang tersebut. Salah satu proses yang sering kita dengar ialah sebuah teori Big Bang. Suatu teori yang diklaim sebagai bentuk awal mula terjadinya perbentukan bumi.

Teori Big Bang ini pertama kali dikenalkan oleh Georges Lemaître pada tahun 1927. Ia adalah seorang biarawan Roma Belgia. Tetapi ia menyebutnya sebagai hipotesis atom purba. Kerangka model teori Big Bang bergantung pada teori relativitas umum Albert Einstein dan beberapa perkiraan sederhana, seperti homogenitas dan isotropi ruang.

Dalam bentuk teori tersebut salah satu penyebab yang menjadi acuan ialah berdasarkan permodelan ledakan ini, alam semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus menerus dan terjadilah sebuah ledakan yang sangat besar dan dahsyat. Maka tak ayal, bumi dan semesta yang awalnya satu dalam kesatuan dan berkesinambung luluh latah dan tercerai berai lalu membentuk dataran di atas bumi.

Ledakan yang terjadi karena faktor hawa panas yang entah karena sebab apa dan dapat memorak-perandakan seisi bumi. Namun hari ini manusia berlomba-lomba saling bahu membahu membuat keadaan bumi semakin panas. Baik dimulainya indsutri pertama kali revolusi pada abad ke-18, manusia semakin saja menambah aktivitas pengelolaan industri secara aktif hingga melupakan efek atau becana yang telah mengintai sebab dari semua itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sayangnya, keadaan bumi yang saban hari semakin panas, bukan justru menyadarkan manusia tentang bencana yang akan datang. Malah, masih ada sebagian manusia yang lalai hingga tidak menganggap hal tersebut sebagai acaman serius. Mereka menyangka bahwasanya kerusakan bumi di masa depan bagaikan dongeng belaka. Cerita-cerita mengerikan akan munculnya sebuah bencana alam yang sangat dahsyat dan telah diramalkan akan benar-benar terjadi, mereka bungkus sebagai khayalan fiktif yang entah kapan terjadi. Dan masih dianggap sebuah halusinasi belaka.

Di samping industri yang sangat gencar memenuhi hiruk piruk kehidupan, manusia masih menambah hawa panas iklim dunia dengan mendirikan bangunan rumah kaca. Kemanfaatan efek rumah kaca tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.

Tapi yang lebih ironisnya lagi, mengapa manusia baru sadar ketika bencana telah melanda dan dirasakan. Bukankah manusia bisa mengambil langkah yang baik dengan mencegah jauh sebelum ramalan tersebut benar terjadi apa adanya.

Dalam buku “Bumi Yang Tak Dapat Dihuni” sangat jelas penulis memaparkan kerusakan-kerusakan becana alam, baik yang telah terjadi dan akan terjadi. “Dalam hal panas secara langsung, faktor pentingnya adalah sesuatu yang di sebut “suhu bola basah” (wet-bulb temperature), yang juga mengukur kelembapan dalam metode gabungan yang bisa dilakukan di rumah: suhu diukur dengan termometer yang dibungkus kain basah sambil diputar-putar di udara. Kini, sebagian besar daerah mencapai suhu bola basah maksimum 26 atau 27 derajat celsius; batas atasnya adalah 35 derajat, dan di atasnya manusia mati kepanasan. Artinya ada jarak 8 derajat. Yang disebut “stres panas” datang jauh lebih cepat.” (hal. 42)

Dengan gambaran perubahan iklim yang sangat cepat melebihi perkiraan manusia, sekali lagi hal tersebut belum bisa mengugah kesadaraan manusia bahwa diperlukan peranan penting untuk menjaga dan merawat keseimbangan bumi ini.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.