Oleh: Quratul Adawiyah*

Yang menarik untuk dicermati dan diteliti dalam kehidupan beragama pada umumnya tak terkecuali kehidupan beragama Islam adalah fenomena dan kenyataan yang menunjukkan bahwasanya kehidupan umat beragama, baik kaum awam maupun intelektualnya dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh teks-teks, nash-nash dan kepustakaan keagamaan yang mereka miliki, baik yang terkait dengan persoalan ibadah semata maupun tata hubungan social keagamaan, sosial ekonomi, dan budaya. Jika timbul persoalan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya, mereka tidak segera menyelesaikan persoalan tersebut secara “spontan” dengan menggunakan common sense tetapi selalu merujuk terlebih dahulu kepada uraian, wejangan, petuah, nasehat atau fatwa, ustadz, ulama, pendeta, pastor atau organisasi, pemuka-pemuka masyarakat dan orang-orang lain yang dianggap sebagai tokoh masyarakat. Para tokoh agama kemudian berkonsultasi terlebih dahulu dengan teks-teks dan kitab-kitab keagamaan (kitab kuning) yang mereka miliki dan yang pernah mereka telaah dan pelajari dahulu, tanpa mempertimbangkan lebih jauh dalam konteks dan situasi apa dan bagaimana teks, kitab-kitab atau fatwa-fatwa dahulu tersebut ditulis.

Untuk itu, strategis ide-ide pembaruan mungkin lebih tepat disebut perubahan dan pergeseran paradigma pemikiran dan cara pemecahan persoalan keagamaan dapat dilacak dari pemahaman para guru, dosen, kiai, ulama, para penulis kitab-kitab dan buku-buku keagamaan pada permasalahan dan persoalan tertentu. Dalam bahasan materi buku-buku keagamaan tersebut dapat menghubungkan antara teks dan konteks. Dalam filsafat Islam, yang paling menarik untuk dikaji adalah khazanah intelektual Muslim yang terkait dengan disiplin tafsir al-Qur’an.

Sejak semula tidak semua manusia muslim sepakat bulat apakah al-Qur’an itu baru (hadis, makhluq: diciptakan) ataukah kekal abadi (qadim, ghairu makhluq: tidak diciptakan)? Apakah ia merupkan bentuk “intervensi” Tuhan (hadis) terhadap perjalanan sejarah umat manusia era kerasulan Muhammad Saw ataukah al-Qur’an itu bersifat kekal, abadi, sehingga paralel dengan sifat keabadian Tuhan itu sendiri? Dalam arti bahwa pesan-pesan al-Qur’an turun ke bumi tanpa harus didahului oleh sebab-sebab alamiah yang muncul dari problem sosial-ekonomi-politik masyarakat Arab yang menjadi objek dakwah al-Qur’an saat itu. Ataukah ia qodim atau kekal-abadi, sehingga turunnya ayat-ayat selama 23 tahun tersebut tidak harus disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sosial-politik dan ekonomi masyarakat Arab saat itu. Apa yang disebut dengan sakralisasi teks atau nash dan desakralisasi teks atau nash bermula dari sini. Sakralisasi teks lebih menggarisbawahi tidak adanya hubungan kausalitas antara ayat-ayat al-Qur’an dan peristiwa-peristiwa sejarah sosial-budaya yang melatarbelakanginya sedang desaklarisasi teks menekankan adanya hubungan kausalitas antara keduanya.

Meskipun dalam ‘ulum al-Qur’an selalu disebut-sebut asbab al-nuzul (sebab-musabab turunnya ayat-ayat al-Qur’an), yang jelas-jelas menerangkan adanya hubungan kausalitas yang positif antara pesan-pesan atau norma-norma al-Qur’an dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik yang mengitarinya, namun uraian ini kurang begitu popular di lingkungan umat Islam. Uraian demikian dianggap kurang begitu religius atau kurang begitu suci karena dianggap kurang menghargai aspek masyi’atu, qudratu atau rahmatullah (kehendak mutlak Alah) yang kekal-abadi, tanpa harus didahului atau disebabkan oleh peristiwa alam atau sosial kemasyarakatan. Atau dianggap kurang selaras dengan transendensi dan keilahian Tuhan yang mengatasi, seluruh gejala dan fenomena alam dan sosial. Dengan begitu, dalam pemikiran keislaman agak sedikit tabu menjelaskan bahwa seluruh Nabi yang ada yang disebut-sebut dalam al-Qur’an adalah juga para pembaru sosial-keagamaan pada masanya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Konsep asbab al-nuzul, sebenarnya lebih terkandung makna bahwa al-Qur’an adalah sebagai dokumen kitab suci umat Islam yang bersifat historis dan terbuka sehingga terbuka peluang luas munculnya dialog dan berbagai kemungkinan pemaksaan yang baru. Namun, ketika konsep asbab al-nuzul kurang begitu menarik untuk dipahami sebagai proses sebab-akibat (kausalitas) berikut implikasi dan konsekuensinya, maka al-Qur’an menjadi dokumen kitab suci. Dimensi peristiwa keduniawiannya dan kekiniannya teredukasi seluruhnya menjadi semata-mata ketransendensian dan kesuciannya. Agak sulit jadinya mencari makna dibalik teks-teks yang tertulis secara historis.


Sumber: Buku Islamic Studies karya Amin Abdullah


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari