KH. Salahuddin Wahid (Foto: Akun facebook Ipang Wahid)

Oleh: Rara Zarary*

Hujan Bulan Februari belum tuntas juga

Air mata kalah, doa semakin renyah dikunyah

Kita hanya bisa menunduk

Mengembalikan doa-doa ke langit

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 

Sebenarnya apa yang masih tersisa

Bila waktu ke waktu sudah menyatakan kepergian yang luka?

Sebenarnya apa yang kita tunggu lagi

Jika kepergian tidak akan pernah mengenal kata kembali?

 

Kita hanya bisa berbisik, meyakini diri sendiri

Bahwa yang pergi pasti akan Tuhan ganti

Meski sesak di dada dan air mata tidak pernah menerimanya

Kita tidak boleh lemah di hadapan kehilangan orang istimewa

 

Sebenarnya apa yang masih kita tangisi

Bila yang pergi sudah menempati tahta di singgasana Surga?

Langkah kaki kita memang tertahan, hati masih pilu, hari-hari menjadi kelabu

Air mata semakin menghujam

 

Namun sebenarnya apa yang sedang kita getirkan

Bila kepergian adalah takdir yang harus diterima dari tangan Tuhan?

Barangkali kita adalah lorong kepasrahan

Yang harus belajar baik-baik saja dengan kehendak tak sesuai harapan

 

Pintu-pintu telah membuka diri

Kita dipersilakan melangkah lagi

Melupakan duka

Melanjutkan perjuangan yang belum tuntas ditata

 

Bukankah begitu, Yai?

Kehilangan tak perlu kita ratapi

Luka tak pantas dirawat terlalu lama dalam hati

Dan kita, harusnya melangkah lebih kencang lagi

 

Tidak melupakan impian

Tidak berhenti di pertengahan jalan

Tidak menyerah pada luka duka yang sering menghadang

 

Bukan kah begitu, Yai?

Untuk menjadi orang besar

Kita harus melalui jalan penuh duri yang begitu terjal

Seperti yang telah engkau lalui

Berkali-kali, begitu sabar hadapi ujian hidup selama ini

 

Bukankah begitu, Yai?

Harusnya kami berhenti menangis dan mulai mengaji lagi?

Harusnya kami berhenti menghukum diri

Lalu belajar lebih giat lagi

Harusnya kami tidak lagi berandai-andai

Namun berjuang menjadi penerusmu di masa depan

 

Bukan kah begitu, Yai?

Bukan kah begitu yang kau ajarkan pada kami

Biarlah doa-doa kami kembalikan pada semesta

Biarlah air mata dihempas hujan-hujan yang tak mengenal bagaimana warnanya luka

 

Biarlah, Yai

Biarkan segala di sini kami tanggung

Katamu, pada saatnya kami akan menjadi kesatria

Menjaga garda terdepan bangsa ini

 

Biarlah kami yang melanjutkan

Segala juang yang belum tuntas kau gapai

Tenanglah kau di sana

Saksikanlah juang kami yang tak akan pernah membuat kecewa

 

Terima kasih, Yai

Terima kasih, semesta

 

Kami biarkan luka ini bermuara

Menemui obatnya dalam perjalanan menuju keikhlasan

Kami biarkan derai air mata

Menjumpai samudera yang akan melapangkan dada

 

Yai,

Selamat jalan

Berjumpalah dengan Tuhan.

 

Kami akan hidup dengan penuh cinta

Seperti yang pernah kau ajarkan

 

Tebuireng, 2 Februari 2020